Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada temuan penting dari dugaan korupsi Rp 700 miliar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata, begitu banyak titik lemah dalam sistem pengawasan di kementerian itu. Salah satunya, inspektorat jenderal, organ internal kementerian yang menjalankan pengawasan, tak punya akses melaporkan dugaan korupsi ke penegak hukum.
Dalam kasus indikasi korupsi Rp 700 miliar tadi, misalnya, kelihatan jelas kelemahan mencolok. Hasil investigasi inspektorat jenderal—yang sekarang dipimpin Haryono Umar, mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi—hanya boleh dilaporkan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Menteri Mohammad Nuh memang punya kewenangan mempelajari rekomendasi inspektorat jenderal atas temuan itu. Tapi ia terlihat kurang bergegas melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK, apalagi temuan itu menyangkut Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti. Di sinilah titik paling lemah itu: inspektorat tak punya pilihan apa pun selain menunggu tindakan menteri.
Kelemahan itu bersumber pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah, yang mengatur soal peran inspektorat jenderal. Pasal 54 memerintahkan inspektorat jenderal hanya menyampaikan hasil pengawasannya ke pimpinan instansi pemerintah yang diawasi. Bentuk laporan pun hanya rekomendasi, tak lebih dari itu. Berbagai temuan pelanggaran pidana, umpamanya korupsi, juga hanya boleh direkomendasikan.
Pembatasan ini berpotensi mengundang masalah. Misalnya, indikasi korupsi tak bisa diusut lebih lanjut bila menteri tak melaporkannya ke penegak hukum. Hasil audit inspektorat bisa menguap begitu saja, lebih-lebih lantaran menteri tak terikat untuk menjalankan rekomendasi itu.
Kemungkinan lain, menteri bisa "membatasi" kasus tak keluar dari lingkup kementeriannya, dengan cara memberikan sekadar "sanksi administratif" atas pelanggaran yang ditemukan inspektorat. Boleh jadi menteri akan membentuk tim baru, yang hasil kerjanya "mengklarifikasi" alias mementahkan temuan inspektorat jenderal. Yang terparah, temuan inspektorat masuk laci pemimpin kementerian, untuk waktu yang tak bisa ditentukan.
Pemerintah dan wakil rakyat bisa menambal lubang itu lewat Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Nasional yang sedang digodok. Misalnya, menambah kewenangan inspektorat jenderal untuk melapor ke penegak hukum jika dalam audit ditemukan dugaan pelanggaran hukum, dan kasus yang ditemukan inspektorat tidak ditindaklanjuti menteri yang bersangkutan. Dalam rancangan undang-undang itu bisa ditambahkan batas waktu bagi menteri untuk melapor ke penegak hukum.
Dengan menambah "gigi" inspektorat, fungsi pengawasan dalam tubuh kementerian diharapkan bisa lebih baik. Temuan atas penyimpangan dalam proyek kementerian juga bisa lebih cepat ditelusuri penegak hukum. Inspektorat jenderal mesti diperkuat agar menjadi "mata" bagi aparat penegak hukum untuk meneropong kegiatan penggunaan bujet negara di kementerian.
Tanpa kewenangan melapor ke penegak hukum, hasil audit inspektorat akan percuma. Kesia-siaan ini pun sudah merupakan pemborosan anggaran negara. Niat menegakkan pemerintahan bersih akan berantakan bila mekanisme pengawasan internal kementerian tak jalan. Siapa pun yang masih bercita-cita memberantas korupsi semestinya tidak membiarkan inspektorat sekadar menjadi "stempel" atas segala penyelewengan di kementerian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo