Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran kolaborasi perupa Eggy Yunaedi bersama para petani dan nelayan Lasem, Rembang.
Mengambil tema kehidupan petani nelayan Lasem dalam kehidupan sehari-hari dengan dasar sistem kalender tradisional, pranata banyu.
Pranata banyu merupakan pengetahuan lokal masyarakat Desa Dasun tentang sistem kalender musim yang lestari dari satu generasi ke generasi lain.
SEKAWANAN wideng bertubuh kristal-kristal garam berwarna monokrom seperti sedang merayap, meninggalkan sarangnya. Wideng adalah sebutan penduduk Dasun, desa di pesisir utara Pulau Jawa, untuk kepiting hitam yang berumah di lumpur hutan bakau. Dari segala penjuru, semut datang berputar-putar menyerbu. Di sungai, ikan-ikan bergerak oleng layaknya orang mabuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan berbahan garam berteknik stilisasi itu tampak hidup. Perupa Eggy Yunaedi berkolaborasi dengan sembilan petani garam menyulap lantai Sangkring Art Project, Yogyakarta, menjadi hamparan garam. Hasil kolaborasi itu membentuk obyek-obyek yang lekat dengan kehidupan sehari-hari petani dan nelayan di Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Pameran bertajuk “Pranata Banyu” tersebut berlangsung pada 8-30 Maret 2024. Eggy bertugas membuat sketsa berdasarkan cerita para petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pranata banyu merupakan pengetahuan lokal masyarakat Desa Dasun tentang sistem kalender musim yang lestari dari generasi satu ke generasi lain. Sistem kalender itu berguna untuk menghitung pergantian musim, mengamati perubahan pergerakan air sungai dan laut, mengelola tambak bandeng dan garam, serta mengetahui tanda alam yang mempengaruhi musim. Cuaca mempengaruhi segala sendi kehidupan warga untuk bertahan hidup. Warga Dasun menjaga harmoni dengan alam dan unsurnya.
Saat musim kemarau, nelayan Dasun membudidayakan bandeng menggunakan sistem irigasi tradisional. Sebaliknya, bila musim hujan tiba, warga memproduksi garam di 70 tambak. “Pranata banyu menjadi adaptasi dan mitigasi iklim Desa Dasun yang bertahan ratusan tahun,” kata Eggy, Ahad, 10 Maret 2024.
Eggy dan lima petani tersebut membentuk 4 kuintal garam menjadi dua lukisan yang diberi judul Mangsa Labuh dan Mangsa Mareng. Keduanya menggambarkan pancaroba yang datang di tengah ketidakpastian. Dua lukisan tersebut berukuran 9 x 4,5 meter. Mangsa labuh berarti pergantian musim kemarau menjadi musim hujan.
Datangnya musim itu ditandai perilaku binatang yang khas, yakni munculnya wideng atau yuyu yang keluar dari sarangnya dan masuk perkampungan. Ada juga kerumunan semut mubal atau semut yang berputar-putar dan ikan yang mengambang karena perubahan salinitas. Figur manusia digambarkan mengambang atau tidak tegak berdiri.
Melalui karya ini mereka ingin menyampaikan falsafah Jawa yang berbicara mengenai cara orang Jawa beradaptasi menghadapi perubahan-perubahan dalam hidup. “Orang Jawa mengenal filosofi ngeli ning ojo ngeli, yang artinya laku menghadapi perubahan seperti air yang mengalir,” tutur Eggy.
Pada lukisan berjudul Mangsa Mareng terdapat gambar daun-daun jati yang meranggas, munculnya bintang atau lintang wunoh, kincir berputar, dan datangnya gangsir atau jangkrik. Ada juga gambar manusia yang memegangi perut, alat kelamin, badan, dan kepala.
Pada bagian itu, perupa dan petani ingin menyampaikan pentingnya laku manusia untuk selalu ingat dan waspada. Misalnya orang yang memegangi badan dan kepala mengajak manusia menghadapi perubahan menggunakan olah pikir dan rasa.
Petani garam Desa Dasun, Mulyono, mengatakan garam menjadi hasil bumi Lasem yang menghidupi warga. Semula garam hanya menjadi komoditas yang dijual. Tapi kini garam menjadi karya seni yang punya nilai penting bagi kebudayaan.
Suasana pameran lukisan garam bertajuk "Pranata Banyu" di Sangkring Art Project. Yogyakarta, 8 Maret 2024. Tempo/Shinta Maharani
Eggy dan petani Dasun tahun lalu menciptakan lukisan garam raksasa di Tambak Gede. Tujuannya adalah mengungkapkan doa dan syukur petani atas hasil garam selama 2023. Lukisan berukuran 34 x 21 meter yang menggunakan 4 ton garam itu merupakan lukisan terbesar dengan medium garam di Indonesia. Lukisan bertajuk Bancaan Rupa tersebut tercatat sebagai lukisan terbesar versi Museum Rekor Dunia-Indonesia atau Muri. Plakat rekor Muri itu terpajang di Galeri Sangkring bersama foto-foto lukisan garam di tambak.
Foto-foto itu memuat lukisan jumbo bergambar petani garam Lasem. Ada empat unsur alam yang mempengaruhi mereka, yakni bumi, air, matahari, dan angin. Ada juga elemen kultural, yakni budaya Jawa, Cina, dan Islam. Lukisan itu menyimbolkan naga dan burung hong atau phoenix. Keduanya lekat dengan mitologi Cina. Ada juga gunungan yang menggambarkan simbol Islam.
Lukisan-lukisan itu menjelaskan bahwa warga Dasun hidup saling menghormati dan bergantung pada alam. Alam harus lestari untuk mendukung petani memproduksi garam dan membudidayakan bandeng.
Pameran di Sangkring merupakan kelanjutan pameran sebelumnya yang membetot perhatian publik. Menurut Eggy, petani garam Dasun mendapat undangan dari pengelola Sangkring untuk berpameran. Masalahnya, ruangan galeri tak cukup representatif sehingga pengelola dan perupa mencari akal agar butiran garam tak lekas mencair. CAranya, mereka menggunakan pemanas yang biasa digunakan di peternakan ayam saat malam hari atau ketika tak ada pengunjung.
Atap galeri itu bocor sehingga air yang masuk merusak lukisan karena garam tak tahan air. Para petani garam, salah satunya Supadi Nurcholis, kemudian menggambar ulang lukisan tersebut.
Menurut Supadi, petani garam bersama Eggy harus belajar menggambar dengan cara menabur garam secara rapi dan menghidupkan obyek yang digambar, misalnya manusia. “Gambar seperti orang sungguhan,” ujar Supadi.
Mereka menggunakan sendok kecil, kuas, dan timba untuk menyusun butiran garam menjadi lukisan. Mereka juga harus teliti memisahkan garam yang kasar dan lembut untuk menghasilkan gambar yang rapi.
Eksekusi lukisan itu terwujud berkat peran Eggy. Dia terpantik menggunakan media baru untuk berekspresi dalam seni rupa. Garam memiliki warna, tekstur, dan karakter yang mudah dibentuk menjadi garis, bidang, dan gradasi guna menciptakan citra dua dimensi.
Garam menjadi produk budaya yang berhubungan dengan produk budaya lain dalam membentuk peradaban. Rembang yang dijuluki Kota Garam justru tidak memiliki narasi tentang garam.
Alumnus Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu membutuhkan waktu dua bulan untuk merampungkan lukisan garam tersebut. Dia aktif bertemu dengan petani untuk berdiskusi dan mematangkan konsep melalui sambungan telepon dan telekonferensi Zoom. Para petani itu berkumpul di balai desa dalam setiap diskusi menggunakan Zoom dengan Eggy yang tinggal dan bekerja di Jakarta.
Dia juga menguji coba garam beberapa kali di ruangan-ruangan tertentu. Garam bisa bertahan selama tiga pekan saat ditaruh di ruangan dengan penyejuk udara. Di tempat tanpa penyejuk udara, garam hanya bertahan sepekan. “Tergantung kelembapan udara,” kata Eggy.
Sebelum mengerjakan lukisan garam raksasa di tambak dan galeri, Eggy menciptakan karya monumental. Pada 2023, dia bersama komunitas Sedulur Sikep atau masyarakat Samin berkolaborasi membuat seni instalasi menggunakan hampir 2.000 obor. Instalasi seni bertajuk Suluh Samin itu membentuk wajah Samin Surosentiko, tokoh Sedulur Sikep yang legendaris karena melawan Belanda. Obor itu dinyalakan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, untuk mengenang perjuangan Samin Surosentiko.
Kolaborasi itulah yang mempertemukan Eggy dengan petani garam Dasun. Sekretaris Desa Dasun kerap berjumpa dengan Eggy dalam sejumlah pertemuan yang mendukung perjuangan petani Kendeng menolak pembangunan pabrik semen. Eggy, yang juga lahir di Rembang, sering mengobrol dengan sekretaris desa dan warga setempat. “Enggak lama dan kami nyambung,” ucapnya.
Petani garam juga aktif mendokumentasikan foto-foto pameran lukisan di tambak yang diunggah di situs web sistem informasi desa pemerintah Desa Dasun. Petani garam desa setempat, Angga Hermansyah, bahkan telah menulis buku berjudul Pranata Banyu. “Para petani garam yang membuat kisahnya sendiri,” ujar Eggy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Garam Pancaroba Petani Lasem"