Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cara Putu Wijaya Tetap Menulis Meski Stroke

Produktivitas Putu Wijaya dalam menulis istimewa. Di tengah kondisinya yang terbatas karena stroke, ia tetap aktif menulis.

24 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH buku tebal bertumpuk di meja televisi di samping tempat duduk Putu Wijaya. Dramawan pendiri Teater Mandiri ini memamerkan karya-karyanya yang ditulis sejak dia terkena stroke pada akhir 2012. Deraan stroke membuat fungsi tangan dan kaki kirinya terganggu. Ia pun hanya mengandalkan tangan kanan untuk berkegiatan, termasuk menulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan keterbatasan itu, Putu tetap mampu melahirkan tujuh buku tebal yang masing-masing berisi 600 halaman tersebut. Ia menuliskannya melalui telepon seluler pintar. Buku-buku yang antara lain berjudul Tontonan Teror Mental, Tradisi Baru, dan 100 Monolog tersebut tidak dikomersialkan, tapi dijadikan hibah. Tahun ini, ia menyiapkan buku hibahnya yang kedelapan yang akan diberi judul Misteri Proses Kreatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain menggarap buku hibah, Putu menulis beberapa lakon drama, novel, dan kumpulan cerita pendek serta esai. “Selama 10 tahun di rumah, apa yang saya tulis lebih banyak dari sebelumnya,” ucap Putu kepada Tempo, 12 Maret 2024.

Sastrawan yang akan genap berusia 80 tahun pada 11 April 2024 ini menuturkan, sejak mengalami stroke, mobilitasnya terbatas. Tubuhnya pun harus ditopang kursi roda. Dunianya menyempit sebatas rumah. Daya penglihatannya pun menurun sehingga tidak bisa membaca koran atau buku, juga bekerja dengan komputer.

Namun, Putu mengungkapkan, kesegaran pikirannya tak terganggu. Ia menerima kondisinya yang terbatas dengan mencoba menikmatinya. Itulah yang membuat Putu terus produktif menulis. “Sesuai dengan jiwa konsep kerja kreatif dengan formula bertolak dari yang ada,” ujarnya.

Putu Wijaya mementaskan monolog dalam acara pembukaan pameran lukisan Putu Wijaya di Bentara Budaya Jakarta, 3 April 2014. Tempo/Amston Probel

Putu mengisi hari-hari dengan menulis. Awalnya ia menggunakan ponsel BlackBerry. Tapi, karena kapasitas memori datanya penuh, ia beralih ke Android layar sentuh. Ia juga terus berupaya memulihkan kondisinya dengan rajin mengikuti terapi di rumah sakit.

Ada atau tidak ada ide, Putu terus aktif menulis. Sepanjang hidupnya, ia telah membuat sekitar 30 novel, 40 lakon drama, lebih dari 1.000 cerita pendek, serta ratusan esai dan skenario sinetron. Buku fiksinya yang cukup populer di antaranya Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-tiba Malam, Sobat, dan Nyali.

Ia juga telah menulis puluhan skenario film, antara lain Perawan Desa (meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 1980) dan Kembang Kertas (menyabet Piala Citra FFI 1985). Sejumlah karyanya, baik cerpen, novel, maupun drama, telah diterjemahkan ke bahasa asing, di antaranya Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Jepang.

Produktivitas Putu memang istimewa. Ia pun tak ragu menyebut dirinya bak pabrik menulis. Bagi Putu, kerja kreatif sudah seperti kebutuhan bernapas.

Sejak kecil, pria yang lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, ini gemar membaca. Buku cerita adalah favoritnya. Setiap kali ada kegiatan bercerita di sekolah, ia tidak sadar telah berbicara panjang dan membuat teman-teman sekelasnya tertawa. “Itu mungkin sudah bakat, tapi tidak saya sadari,” katanya.

Hobi membaca itu kemudian memacu Putu untuk menulis cerita pendek. Cerpen pertamanya berjudul “Etsa” terbit di harian Suluh Indonesia. Cerpen yang dia tulis sewaktu duduk di sekolah menengah pertama itu bercerita tentang laki-laki yang menyatakan cintanya kepada seorang perempuan. Perempuan itu meminta laki-laki tersebut menunggu sampai ujian sekolah berakhir untuk mendapat jawaban. Tapi, setelah ujian selesai, si perempuan menyatakan cinta agar laki-laki itu tidak sakit hati saja.

Dulu Putu beranggapan mengarang harus menunggu ilham. Ketika sudah mendapatkan ide, ia baru akan menulis sesuai dengan suasana hatinya. Tapi, saat duduk di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja dan bertemu dengan sastrawan Kirdjomulyo, pandangannya berubah. 

“Mengarang itu harus berjuang,” tuturnya, mengutip ucapan Kirdjomulyo. “Perjuangan yang dimaksud adalah mencari ide. Bukan menunggunya.” 

Putu menggunakan seluruh pancaindra untuk memulung ide. Ia mendapat ide mengarangnya dari berita-berita, cerita orang, persoalan orang, hingga pengalaman pribadi. “Tapi tidak yang 100 persen perbuatan saya. Intinya saja,” ujarnya.

Salah satu novel yang berangkat dari refleksi persoalan pribadinya adalah Bila Malam Bertambah Malam. Novel yang mengangkat masalah perbedaan kasta itu dia tulis sebagai upaya menenangkan kecemasan seorang gadis yang terteror melihat keadaan kakak perempuannya yang menikah dengan pemuda dengan kasta lebih tinggi.

Kendati begitu, Putu menegaskan, karangan fiksinya bukanlah kisah hidupnya, melainkan refleksi pikirannya. Hal itu ia sampaikan lantaran banyak yang mengira karangannya menceritakan kisahnya sendiri.

Pengalamannya bekerja sebagai wartawan majalah Tempo juga sangat berpengaruh pada kepengarangannya. Ia menyebut karyanya makin taktis. Hal-hal yang dia pelajari dari Tempo adalah menuliskan sesuatu yang menarik dan mudah dipahami. Dengan demikian, dari presiden sampai tukang becak bisa mengerti akan tulisannya. 

“Jangan sebaliknya. Hal gampang dibuat ruwet. Sastrawan banyak yang begitu,” tutur penerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers & Readers Festival 2023 ini.

Putu Wijaya di antara tumpukan buku di ruang kerjanya di Jakarta, 2004. Dok. Tempo/Ali Said

Di samping itu, Putu bisa menulis dengan cepat. Meski demikian, ia tak menganggap menulis dengan cepat sebagai kelebihan. Itu lebih karena kebiasaan. Menurut Putu, boleh jadi dia bisa menulis cepat karena terbiasa dengan ritme gamelan Bali yang cepat.
 
Sama dengan pementasan teaternya, karangan-karangan Putu juga bertujuan meneror mental pembaca. Ia mengungkapkan, karya kreatif itu bukan sekadar klangenan atau hiburan, tapi rembukan yang mengajak penikmat berpikir, merenung, memeras otak, dan mengambil keputusan sendiri. Putu mengibaratkan karangannya itu anggur. “Tidak penting anggur itu. Yang penting apa akibatnya pada orang itu,” ucap penggemar musik dangdut, rock, jazz, dan klasik ini.

Menurut sastrawan Yoseph Yapi Taum, gaya penulisan Putu inovatif, eksperimental, dan dikenal dengan model absurd, yakni menggunakan elemen yang tidak masuk akal. Elemen tersebut kadang bertentangan dengan logika konvensional.

Pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini menjelaskan, dalam karya fiksi Putu ada ketidakpastian kompleksitas serta tidak linear dan tidak beraturan. Ada peristiwa yang tak terduga dan tidak masuk akal. “Karya Putu Wijaya modelnya seperti itu,” kata dosen yang pernah meneliti cerpen-cerpen Putu Wijaya ini.

Salah satu karya Putu yang menggambarkan model ini adalah novel Lho. Dalam novel itu, Yoseph menyampaikan ada seseorang yang berkeinginan dalam hati untuk mendorong temannya agar terserempet mobil. “Itu hal tidak realistis dan agak absurd.” 

Selain itu, Yoseph mengamati karya-karya Putu mengandung banyak kritik sosial. Ada pula kritik terhadap aspek adat istiadat masyarakat hingga budaya konsumerisme yang mempengaruhi nilai kemanusiaan. Sebagai bangsawan yang lahir dan besar di puri, Putu dinilai Yoseph mampu melihat kebobrokan dan ikut kecewa atas ketidakadilan sosial. Hal itu terlihat dalam novel Bila Malam Bertambah Malam.

Karya Putu juga menggambarkan situasi yang bila dibaca akan memberi kritik kepada pembacanya seperti teror. Tapi kritik itu dia sampaikan seperti jalin-menjalin antara realitas dan imajinasi. “Ada situasi riil, tapi karya-karya dia campurkan dengan imajinasi non-riil yang saya sebut absurd. Namun sasaran dia itu pada kritik sosial,” ujarnya.

Selain menulis, Putu Wijaya produktif melukis. Kegemarannya melukis tumbuh saat ia kecil. Ia bahkan sampai membeli buku-buku belajar melukis. Pernah juga ia meminta saudaranya menjual lukisannya ke studio, tapi tak ada yang membeli.

Saat di Yogyakarta, Putu juga pernah kuliah seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Tapi ia hanya bertahan setahun. Ia tidak betah karena yang dipelajari tak sesuai dengan tujuannya melukis. Di ASRI, ia mempelajari teori dan teknik melukis. Sementara itu, Putu tak ingin terpaku pada hal tersebut. “Saya ingin melukis menjadi alat berekspresi. Ketika jadi alat berekspresi, ya ini jadi alat saja. Jangan sampai alat itu memperalat ekspresi kita,” tuturnya.

Pada 2014, Putu menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta. Sebelas lukisannya terjual. Setelah itu, ia terus melukis. Sebagian lukisannya dibingkai dan dipajang di dinding rumahnya. Tapi kebanyakan lukisannya disimpan di gudang karena istrinya mengeluh lantaran tak ingin rumahnya menjadi seperti galeri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Pengembaraan Dramawan di Jagat Kata-kata"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus