Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni rupa di Can's.
Seniman TuTu menampilkan visual jalanan.
Menjadi dekorasi yang menarik.
TuTu mengkomposisi blok-blok warna dalam kanvasnya yang berbentuk tak beraturan. Blok-blok warna itu, apabila diperhatikan, membentuk wajah seseorang dengan susunan raut yang tidak karuan. Hidung dan mulutnya berada dalam susunan yang meleset. Sedangkan matanya yang sayu tampak lari dari fisiognomi. Lalu di antara kepalanya terlihat dua tangan yang berusaha membetulkan susunan elemen raut yang bergeser ke sana-kemari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya yang mengimajinasikan seseorang sedang bingung ini diberi judul Solitude (Kesendirian). Pelukis memang menggambarkan situasi psikologis orang sekarang yang pusing merenungkan keadaan. Chaos individual itu selanjutnya disimbolisasi dalam format lukisan yang aneh dan mengesankan bergoyang. Kayu-kayu pigura dibiarkan nyelonong kosong, miring ke kanan dan ke kiri. Sedangkan bentuk spanram lukisan antara persegi dan jajaran genjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Solitude menggambarkan kekalutan. Namun, dalam manifestasinya, karya tersebut hadir dalam gambaran rasa halus. Blok warna itu muncul dalam gradasi lembut, dengan tiada garis yang membatasi. Karena itu, ditilik dari tema dan visual, presentasi ini memunculkan kontradiksi. Tapi itulah yang dikehendaki konsepsi TuTu. Sebab, karyanya yang ditampilkan dalam pameran tunggal di Galeri Can’s, Jakarta, sampai 7 November mendatang ini mentransformasi street art (seni jalanan) ke dalam seni dinding ruangan.
Kita tahu, tema karya seni jalanan seperti Solitude itu sering muncul pada dinding ruang publik yang dicoretkan oleh “orang luar kandang” baik dalam bentuk grafiti, poster, stensil, maupun stiker. Namun, oleh TuTu, ekspresi itu dijinakkan, distilisasi, dan bahkan disofistikasi menjadi seni dekorasi. Ia pun memposisikan diri sebagai pencipta street art yang bermetamorfosis menjadi seniman seputar interior.
Petunjuk bahwa ia adalah street artist ditampilkan dalam karya Game on #1 dan Game on #2. Pada bongkahan dinding semen ia mencoretkan warna-warna yang membentuk wajah-wajah murka. Bongkahan itu lalu dipajang dengan elitis dan gaya sehingga dinding bermotif grafiti tersebut mirip pecahan Tembok Berlin, yang sejak 1990 menjadi koleksi prestisius peminat sejarah.
TuTu, atau Anak Agung Gde Airlangga, adalah pelukis yang amat tertarik pada street art. Sebagai lelaki yang dewasa di Jakarta, ia tahu benar soal corat-coret jalanan yang melambar di semua sisi kota, dari gambar liar bergaya rock, metal, dan hip-hop sampai grafiti “boedoet” yang narsistis dan vandalistis. Studinya di Jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung mengajaknya menyadari gambar dan coretan liar di jalanan adalah bagian dari ekspresi kebudayaan. Bahkan, di satu sisi, hal itu merupakan ekspresi kesenian yang tidak teralokasi dan yang tidak terkendali. Ia pun ingin masuk ke sana dan sekaligus mengelolanya sebagai seni publik, sebagai street art, bukan sekadar seni jalanan yang terlarat-larat.
Namun ia baru bergelora terlibat secara total dalam street art setelah melihat respons tak terduga banyak orang atas karyanya. Syahdan, pada suatu waktu, ia melihat tembok besar di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Iseng, ia melukisi tembok itu dengan obyek wajah temannya. Setelah lukisan jadi, hampir semua orang terpesona. Begitu juga ketika teman yang dilukis melihat karya itu. “Teman gue kaget, takjub dan merasa kena prank!” kata TuTu.
Unsur dan dampak prank dalam karya street art itu lalu melekat dalam benak penciptaan TuTu. Ia pun memberangkatkan penciptaannya dari “prank-ologi” itu. Upaya prank ini—yang tidak diartikan semata sebagai lelucon—agaknya berhasil. Karya-karya street art-nya mendapat apresiasi secara nasional dan internasional lantaran dianggap melahirkan hype, sensasi visual yang luar biasa. Warna-warna vibran yang merupakan ciri khas karya TuTu disimpan publik dalam ingatan. “Gaya retrofuturistic deco realism yang dianut menyebabkan profil Tutut dipublikasi di berbagai buku,” ujar Bambang “Toko” Wijaksono, kurator pameran.
Dari kepopulerannya itu, ia lantas dilirik berbagai institusi untuk menggambar pada produk yang sangat publik. Ia pun melukisi dinding mobil, melukisi sepatu, menghiasi kacamata, dan sebagainya. Keahliannya dalam menggunakan media, terutama cat semprot—media yang paling banyak dipakai street artist—menjadikannya “saksi ahli” atau pengukur kualifikasi produk spray paint.
Sebagai penggemar dan penyanjung seni publik, TuTu sangat tertarik pada seni animasi, komik, kartun, dan segala cerita yang beraroma science fiction. Maka ia pun mengangkat seni itu ke dalam street art gubahannya. Pada masanya, gubahan seni jalanan bertema itu ia transformasikan ke dalam seni dekorasi ruang yang elitis.
Dalam tiga kanvasnya yang berukuran besar, ia menggambarkan tokoh superhero yang ada dalam komik, kartun, dan game. Ia mendeformasi pahlawan super itu sebebasnya lewat susunan warna yang melintas-lintas sehingga sosok itu, seperti Gunmom dan Ultra Gal (Gadot), hadir sebagai superhero baru.
Astro Babe, Gunmom dan Ultra Gal karya Tutu, di Cans Gallery, Jakarta. Dok. @tutugraff
Dalam seri ini, TuTu juga melukis Astro Babe, atau Astro Boy, yang di Indonesia dikenal sebagai Atom Boy, tokoh manga karya Ozamu Tezuka. Komik Jepang ini dimuat di Weekly Shonen Magazine pada 1952-1968, sementara film animasinya diputar pada 1963-1966. Mengapa TuTu mendadak teringat pada fiksi petualangan Atom Boy? Kok, tidak pada tokoh superhero Marvel masa kini yang malang-melintang di jagat film dunia? Dan mengapa Atom Boy dalam lukisan TuTu menjadi perempuan? Konsepsi street art yang semau-maunya tidak ingin ada pertanyaan itu, dan tak ingin menjawab pertanyaan itu.
Dalam pameran, ia juga menghadirkan patung instalasi Tango Down yang dibuat dari serangkaian bor dan aneka perkakas rumah tangga. Instalasi ini membentuk senjata tembak general-purpose machine gun. Senjata infanteri ini ditembakkan dengan bipod (dua kaki) dan biasa dipasang pada kendaraan tempur seperti jip. Karya instalasi senapan mesin ini menyindir perang Rusia-Ukraina yang tak berkesudahan, dan meremukkan semua aspek kehidupan rumah tangga orang per orang.
Patung instalasi kartya Tutu berjudul “C://Config”. Agus Dermawan T
Di sisi lain juga tertaruh patung instalasi C://Config berupa kepala manusia dipenuhi instrumen teknologi ultramodern, seperti kacamata penolak cahaya, kabel penyadar ingatan, antena, dan alat deteksi suara. Elemen instrumen itu terbuat dari bagian-bagian pompa air dan sebagainya. Menurut TuTu, menyeret masuk benda-benda yang terserak di jalanan ke seni rupa ruangan adalah keniscayaan. Dan hasrat itu ia sebut sebagai "Future Wisdom" (Kebijaksanaan Masa Depan), judul pameran ini.
Buku Crossing the Wall: The Stories of 20 Indonesia Muralists (susunan Seno Joko Suyono, Hilmi Faiq, dan Samuel Indratma; 2023) dengan apik menceritakan kisah 20 muralis Indonesia, dari Wild Drawing, Taring Padi, Apotik Komik, Sinta Tantra, Popo Triwahyudi, sampai Geger Boyo. Setelah membandingkannya dengan karya street art TuTu, lengkap dengan metamorfosisnya, sosok dan karya seniman tersebut patut diselipkan ke sana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Prank TuTu Menghias Ruang"