Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POSISI Bali kini makin mirip posisi Paris-London-Berlin di mata kaum atas Iran: tempat kaum borju “tercerahkan” berlindung bila ingin pamer tubuh dan berpameran tubuh. Memang! Belum ada polisi moral di Jakarta. Kaum perempuan masih bisa lalu-lalang dengan rambut terurai. Paling-paling mereka dijanjikan neraka, tapi tidak ditahan polisi. Namun bila ingin berwacana secara visual dengan berseni erotis ria, atau hendak mempertanyakan nasib wanita dan kelancangan pria dengan tubuh sebagai sarana, janganlah di Jakarta. Maka tidak mengherankan bila banyak borju kita beropsi mencari surga di Bali, tempat undang-undang “pornografi” ditolak diimplementasikan oleh gubernur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, di negeri ini terdapat situasi multikultural dengan tafsir terkait yang berbeda menurut daerah dan lingkungan sosial masing-masing. Yang dipandang pornografi oleh sebagian besar masyarakat di Jakarta dianggap wajar di Bali. Di Jakarta, visualisasi tubuh tidak boleh ada, tubuh harus takluk pada hukum suratan. Mutlak, tak perlu lagi dipertanyakan. Di Bali, sebaliknya, tubuh boleh hadir sebagai bagian dari alam, sebagai unsur proses lahir-hidup-mati (utpeti-stiti-pralina) yang membentuk semesta. Maka tubuh dianggap wajar bila dihadirkan dalam simbolisme visual—terutama melalui lingga atau alat kelamin. Menariknya, seakan-akan kontradiksi-kontradiksi kultural ini tidak cukup, datanglah satu kontradiksi lagi: bersikap modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita melihat adanya jarak kultural kalangan elite kultural Jakarta terhadap sistem suratan ataupun utpeti-stiti-pralina. Tubuh tidak lagi pantang diperlihatkan, atau tidak lagi sekadar wajar sebagai unsur alam biasa, tapi dipertanyakan posisi dan perannya, terutama dalam kaitan dengan hubungan pria-wanita. Namun posisi ini adalah posisi elite, yang kian terasing secara kultural di lingkungan kotanya. Setiap kali ingin betul-betul “berani”, anggotanya hijrah ke tempat-tempat terlindung, terutama ke Pulau Bali, yang tradisi simbolisnya mampu menerima apa saja sebagai bagian dari kewajaran “alam”.
Karya Syakieb Sungkar The Cat Family.
Fenomena tersebut dapat dengan jelas dilihat pada kaum elite yang turut serta dalam pameran “Erotika” di Galeri Sika, Ubud, yang dibuka pada Sabtu, 8 Oktober lalu. Di antara seniman peserta pameran terdapat dua orang elite yang terkenal di Jakarta: Goenawan Mohamad alias GM, tokoh terkemuka dunia pers dan sastra Indonesia yang sudah lama terus mencari ruang batas baru pada ekspresinya, dan dalam proses itu menjadi pelukis; serta Syakieb Sungkar, bekas jagoan manajemen seni rupa yang, setelah mencoba menjadi kolektor, mencari cakrawala baru dalam dunia seni lukis dan bahkan dalam filsafat. Pokoknya dua figur khas elite yang mampu “melampaui” dan menjaraki.
Lainnya adalah pelukis-pelukis profesional: Kemalezedine, Aswino Aji, Ketut Sumadi, Linkan Palenewen, Wayan Mandiyasa, dan Wayan Upadana. Yang langsung tampak adalah kecanggihan intelektual dari tokoh elite kita di atas. Yang melandasi gambar adalah ide. Ide dulu, dengan sangat jelas. Bentuk memang hadir, tapi sebagai sarana. Prioritas ini sangat kentara dalam karya Hasrat.
Tokoh perempuannya digambarkan sedemikian rupa agar mewujudkan “keliaran” wanita sebagaimana hadir dalam konstruksi kultural Indonesia-Jawa: rambut terurai seperti tukang sihir, kaki mengangkang, tak terlihat raut ekspresi wajahnya. Seolah-olah ia adalah kebalikan dari perempuan yang beradab. Di tangannya dia memegang patung atau boneka yang menyiratkan representasi pria tua. Patriarki. Keliaran sebagai akibat patriarki…. Gambar satu lagi memberikan kunci lain. Yang kita lihat adalah representasi dari Venus “primitif”, apakah Venus Heidelberg atau Venus Hottentot, tidak penting, tapi Venus sebagai figur ibu yang feminin, dan menderita “burut” karena terus melahirkan. Katakanlah ibu. Di depannya terdapat sepatu hak tinggi, sebagai pertanda kecantikan dan kecanggihan yang diharapkan dari wanita.
Jadi, di mata GM, citra perempuan terbagi menjadi aneka konstruksi kultural yang dipaksakan kepadanya: keliaran, keibuan, dan kecantikan. Dia menutupi kebaruan kuasa teknisnya dengan kepingan-kepingan puzzle intelektual yang canggih. Karya Syakieb Sungkar tak kurang ambisius. Dia menguasai dengan baik bahasa visual pasca-ekspresionis dan pop art. Dalam The Cat Family, dia mampu menciptakan bahasa surealis dengan pria-kucing sebagai predator “berakar” dan “bercakar”, kucing predator yang dimakan, dan perempuan yang agaknya mengandung unsur predator pula. Yang lebih personal, meski lebih klasik, adalah karya berjudul Passion, yang menunjukkan adegan sanggama dengan perempuan menempati posisi “di atas”. Bukan hasrat pria yang ditampilkan, melainkan hasrat perempuan. Dia pun berbagi. Menarik.
Karya Linken Paneleven: I Intentionally Provoke You.
Yang tak kalah mengesankan adalah karya Linkan Palenewen, I Intentionally Provoke You. Lingkungan sekeliling adalah keliaran alam imajiner, kaya warna, dengan, di tengahnya, seorang wanita berwarna merah, dengan kaki terbuka. Warna, posisi kaki sudah memprovokasi, tapi dipertegas dengan pisang yang dilahap dengan semangat. Di situ Linkan melanggar semua kode kesopanan. Tapi dialah pelakunya, bukan sebagai penampung hasrat pria. Itulah pernyataannya.
Pantas dicatat juga Di antara puncak kenikmatan karya Kemalezedine. Namun dengan catatan yang berbeda. Sanggama di sini diasosiasikan dengan kesuburan alam, juga dengan disorder. Nafsu hadir dengan keterputusan persepsi tubuh partner sebagai keutuhan fisik. Seolah-olah sang seniman mengalami hasrat sebagai sesuatu yang menghilangkan kuasanya atas dirinya.
Karya Kamalazedine Di antara puncak kenikmatan.
Hadir di Bali, para seniman modern tersebut juga menghadirkan erotika berwajah Bali dalam karya Ketut Sumadi yang menampilkan dasar seksual proses penciptaan manusia sebagai bagian dari dinamika alam. Karya lain, dari Aswino Aji, Wayan Mandiyasa, dan Wayan Upadana, lebih jauh berkaitan langsung dengan erotika. Ada keliaran persepsi payudara wanita, keliaran warna sebagai lambang hasrat, dan penis sebagai pohon dan kesuburan alam. Namun, betapapun menarik visualitas yang kita peroleh dari seniman-seniman lokal, karya dari “tamu” kota memiliki keunggulan. Karya-karya itu menyatakan bahwa seksualitas tidak sekadar hadir di tubuh dan seputar “permainan” tubuh kita, tapi menghantui seluruh sistem sosial kita. Dengan begitu, sistem sosial bereaksi dengan menetapkan aturan dan orde, yang selama ini disebut patriarki.
Tamu dari Jakarta adalah penyadar akan hal itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo