Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SWISS tidak pernah menyelenggarakan pesta olahraga Olimpiade. Namun di Kota Lausanne, Swiss, sejak 1993 malah berdiri Musée Olympique. Pendirian museum ini diinisiasi oleh Juan Antonio Samaranch, Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) 1980-2001. Isi museum adalah segala benda penting Olimpiade, sejak pertama kali pesta ini diselenggarakan di Athena pada 1896. Termasuk kaus seragam dan raket badminton Susi Susanti yang dipakai kala dia menjadi juara di Barcelona, Spanyol, pada 1992.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memajang benda dan foto kenangan, museum ini menampilkan karya seni ciptaan perupa berbagai negara. Semua karya itu tentu menggambarkan keseruan olahraga Olimpiade. Lukisan Shahabuddin Ahmed, yang mengabstraksikan adegan gulat, dan lukisan “posteristik” Hans Erni tentang voli sampai tenis hadir menarik. Begitu juga lukisan Oleg Tselkov, yang menggambarkan seorang atlet gigit jari lantaran kalah bertanding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, di luar gedung museum, ada taman patung yang mempresentasikan ketangkasan olahragawan dalam berbagai gaya seni. Tampak patung berwarna karya Vasko Lipovac tentang atraksi pembalap sepeda dan terjungkalnya pemain sepak bola. Pematung Jaroslav Broz menghadirkan legenda lari maraton dari Cekoslovakia, Emil Zatopek. Terserak juga sejumlah artwork yang menggambarkan pemain hoki, jagoan taekwondo, dan pemain ski. Yang susah terlupa mata adalah patung logam Nag Arnoldi tentang empat sosok perkasa sedang mengibarkan bendera Olimpiade.
Desain yang sangat indah dengan latar belakang Danau Leman yang luas dan tenang menjadikan taman seperti sumber kenangan. Itu sebabnya, brosur dan pemandu wisata selalu mendorong wisatawan untuk mengunjungi taman patung ini. Sampai akhirnya statistik mencatat bahwa pengunjung Musée Olympique nomor dua terbanyak di jajaran semua museum di Swiss, bahkan menyaingi Le Musée des Arts et Sciences.
Namun, seberapa pun menariknya taman seni rupa di atas, yang paling membanggakan adalah The Olympic Sculpture Park di Seoul, Korea Selatan. Pasalnya, di taman patung ini bertegak dua karya seniman Indonesia, yakni patung karya RM Suarsono alias Arsono (kelahiran 1940), Circle, serta patung Gregorius Sidharta Soegijo, yang biasa dipanggil Dharta (1932-2006), Tumbuh dan Berkembang. Taman patung ini menjadi bagian dari Olympic Park, yang berluas 1,45 juta meter persegi dan diresmikan pada 1988 saat Korea Selatan menjadi tuan rumah Olimpiade XXIV.
Patung Arsono dan Dharta berdiri bersama 190 karya pematung kenamaan dunia. Misalnya Fernando Botero dari Kolombia, Bruce McLean dari Inggris, Park Chong Bae dari Korea Selatan, dan Dennis Oppenheim dari Amerika Serikat. Juga karya Cezar dari Prancis, yang secara provokatif memonumenkan jempol manusia dalam gaya realis. Jempol emas setinggi 6 meter itu disebut sebagai penghormatan langsung kepada para Olimpian, yang juara atau yang belum juara.
Patung-patung di taman ini memang diposisikan sebagai monumen dan diletakkan di bawah keluasan langit terbuka sehingga formatnya serba besar. Patung Dharta bertinggi 3,4 meter. Sedangkan patung Arsono, yang dibikin dari pelat baja setebal 0,8 sentimeter, melingkar 2 meter.
Kurasi karya untuk taman patung olahraga ini berwawasan mendalam dan luas. Thomas Messer, Yusuke Nakahara, Ante Glibota, Gerard Xuiguera, dan Pierre Restany, yang bertindak sebagai kurator, tidak membatasi patung harus bertema olahraga. “Lebih menarik apabila setiap karya seniman menyimpan cerita lapisan budaya negaranya, bukan sekadar olahraganya,” kata mereka. Setelah konsep kurasi disepakati, tim kurator segera berburu patung ke seluruh dunia selama beberapa tahun.
Lantas, ditemukanlah patung Dharta, yang semula terpajang di ruang masuk Gedung Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Patung itu diminta untuk digubah kembali dalam format monumental. Dharta pun memilih medium cetak bubuk batu yang diikat dengan epoksi, sehingga julangan patung dijamin bertahan seratus tahun.
Circle larya RM Suarsono alias Arsono./Dokumentasi Agus Dermawan T
Patung Dharta menggambarkan tulang belakang manusia dengan ruas-ruas membulat. Makin ke atas, ruas itu makin besar sehingga bisa diasosiasikan sebagai pertumbuhan hayati. “Sebetulnya ini masih berhubungan dengan olahraga yang memprioritaskan kekuatan tubuh dan perkembangan prestasi,” ujar Dharta suatu kali. Patung ini lantas dipasang di halaman Olympic Tennis Courts. Ia berada di lokasi yang dirindukan karena banyak orang selalu tampak berkumpul dan berpotret-ria di situ.
Adapun patung Arsono ditemukan di Kantor Gubernur Aceh, kala itu difungsikan sebagai ikon perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran. Inspirasi patungnya adalah motif hias Aceh yang disebut bungong awang-awang atau gumpalan awan berarak, yang dijunjung sebagai “bunga semesta”. Motif yang termaktub dalam beberapa prasasti Kerajaan Samudera Pasai ini menyimbolkan maraknya hubungan dagang internasional di kawasan Aceh pada abad ke-13. Kerajaan Islam pertama yang berkedudukan di Lhokseumawe itu memang mampu mengundang pebisnis dari Arab, Persia, India, dan negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara.
Marcopolo, yang berkunjung ke Aceh Timur pada 1292, menulis bahwa Kerajaan Samudera Pasai adalah negeri yang sanggup membina hubungan perdagangan dalam suasana yang selalu sportif dan damai. Maka disimpulkan konten motif hias bungong awang-awang adalah gambaran persahabatan antarnegeri di dunia. Ya, seperti yang dihasratkan oleh penyelenggaraan Olimpiade. Lalu Arsono pun diminta menggubah patung stilisasi geometris itu dalam format monumen. Karya Arsono terpajang di area Picnic Garden yang asri dan banyak dihiasi aneka bunga.
Kita boleh bangga atas patung Dharta dan Arsono. Meskipun, di balik itu, kita boleh agak kecewa: mengapa setelah 1988 undangan semacam itu tidak pernah datang lagi ke Indonesia? Adakah karena dunia melihat bahwa ternyata seni rupa Indonesia belum berhasrat menyentuh olahraga? Buktinya, di Indonesia, patung tentang olahraga dan olahragawan sangat jarang didirikan. Padahal cukup banyak olahragawan legendaris kita yang pantas diangkat dalam seni rupa, bahkan dimonumenkan. Selain itu, Bung Karno telah lama mengisyaratkan perlunya dibangun patung monumen keolahragaan.
Kesadaran Bung Karno ini muncul setelah dia membaca kisah wayang, yang selalu memperlombakan keterampilan olahraga memanah untuk menetapkan seseorang sebagai kesatria. Pemanah sejati dianggap sebagai wujud dari manusia yang cinta negeri dan menjunjung prestasi. Ia dianggap sebagai manusia yang memegang prinsip madep-karep-mantep (menatap ke depan, memiliki kemauan, punya ketetapan hati dan pikiran).
Ingatan atas wayang makin hidup ketika, pada 1943, Bung Karno menemukan lukisan Henk Ngantung, Memanah. Semangat olahraga itu berlanjut pada 1960 saat dia memesan patung besar kepada seniman Hungaria, Zsigmond Kisfaludi Strobl, yang menggambarkan lelaki kekar (atlet Yunani) sedang memanah. Pada 1962, bersamaan dengan pendirian Gelanggang Olahraga Senayan, Bung Karno memasang patung Arjuna Memanah di halaman stadion.
Walhasil, monumen keolahragaan perupa Indonesia mutakhir hanya terpajang di Korea.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo