Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas tari kolaborasi penari Jepang dan Mangkunegaran, Surakarta.
Penari Jepang berasal dari beberapa sanggar tari.
Pentas digelar untuk merayakan peringatan hubungan Indonesia-Jepang.
KEEMPAT penari itu melangkah perlahan dari pintu kiri pendapa Prangwedanan Pura Mangkunegaran, lalu ke bagian tengah. Gerakan mereka gemulai dengan diiringi suara gending "Montro" dan "Ladrang Asmaradana". Gerakan yang gemulai mereka perlihatkan di pendapa di depan pintu berkosen dan bercat hijau tua. Dua foto "si empunya rumah" dipasang di bagian kanan dan kiri pintu di antara jendela. Di bawah lampu gantung klasik yang mewah, para penari seperti menyambut para tamu yang hadir pada Selasa malam, 29 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan tari tersebut memperlihatkan para putri yang sedang berhias atau mempercantik diri menyambut para tamu agung kerajaan. Itulah tari Golek Montro ciptaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VIl (1855-1944) yang ditampilkan pertama kali di hadapan penonton. Itulah alasan tarian ini sering ditampilkan untuk acara penyambutan tamu-tamu penting Pura Mangkunegaran di Surakarta, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyusul tari Golek Montro, tampillah tujuh penari perempuan yang berkostum ungu. Mereka membawakan tarian ciptaan Adipati Arya Mangkunegara IV, Bedhaya Bedhah Madiun. Tarian itu mengangkat tema peperangan antara Mataram dan Madiun. Kisah yang diangkat adalah peperangan Raja Mataram, Panembahan Senapati, dengan Retno Dumilah, putri Adipati Ronggolumpeno dari Kabupaten Madiun. Kisah peperangan itu berakhir dengan luluhnya hati Retno Dumilah yang akhirnya menjadi istri Panembahan Senapati.
Meskipun menceritakan peperangan, gerakan tari Bedhaya Bedhah Madiun berbeda dengan cerita perang lain yang biasanya menampilkan adegan perang yang cenderung penuh ketegangan. Koreografi karya ini justru menampilkan gerakan-gerakan nan lembut. Yang istimewa dari penampilan tari bedaya ini adalah para penarinya. Tiga dari tujuh penari adalah penari dari Jepang, sedangkan yang lain penari Kawedanan Panti Budaya Praja Mangkunegaran. Mereka adalah Suguri Hariu, Mirai Kawashima, dan Kaori Okado. Penampilan mereka juga sangat luwes, tak kalah dari para penari Mangkunegaran.
Ketiga penari dari Negeri Sakura ini juga ikut menari bersama penari lain dalam tari Golek Lambangsari. Selain penari dari Jepang, yang merupakan guru dan beberapa murid sanggar tari di Jepang, Hariu dkk berkolaborasi dengan para penari lain yang merupakan abdi dalem Pura Mangkunegaran. Koreografi ini cukup panjang, hampir 40 menit, dengan gerakan yang anggun dan luwes mengikuti iringan gending "Lambangsari".
Persembahan tari lain dalam acara peringatan 65 tahun hubungan Indonesia-Jepang ini adalah Gatotkaca Dadungawuk, yang diciptakan pada masa Adipati Arya Mangkunegara V. Kali ini giliran para penari laki-laki yang unjuk kebolehan. Tarian ini merupakan pethilan atau penggalan cerita atau lakon Parta Krama yang menceritakan perkawinan Arjuna dengan Subadra.
Dalam tarian ini dikisahkan keponakan Arjuna, Gatotkaca, yang gagah dan sakti berhadapan dengan Dadungawuk yang berwujud raksasa seram. Raksasa ini bertaring panjang dengan mata melotot dan rambut menjuntai. Keduanya beradu kesaktian. Gatotkaca harus mengalahkan Dadungawuk yang menjaga Kebo Pancal Panggung milik seorang dewa. Kebo Pancal Panggung merupakan syarat Arjuna untuk menikahi Subadra.
Malam itu, Selasa, 29 Agustus lalu, Pura Mangkunegaran sukses menggelar pentas seni tari klasik kolaborasi dengan Dewandaru Dance Company, Sanggar Ajisai, dan Kaori Okado. Dewandaru Dance Company dan Sanggar Ajisai merupakan sanggar tari dari Jepang. Tak kurang perhelatan ini dihadiri seratusan warga yang didominasi anak-anak muda, delegasi Jepang, abdi dalem, dan undangan. Mereka tampak begitu antusias menyaksikan pertunjukan malam itu.
Pemimpin Pura Mangkunegaran, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara X, hadir langsung dan membuka serangkaian acara tersebut. Ia didampingi Gusti Raden Ajeng Ancillasura Marina, kakaknya. Ia menyebutkan kebudayaan merupakan suatu identitas yang sangat unik. Kebudayaan, salah satunya seni tari, berperan sebagai identitas untuk sarana komunikasi, diplomasi, dan karya. “Saya berharap sajian ini menjadi pengalaman budaya yang bisa dinikmati bersama, terutama anak muda,” katanya.
"Program ini sebagai tindak lanjut pertemuan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara X dengan Duta Besar RI untuk Kerajaan Jepang di Tokyo pada tahun lalu,” ucap Rianto, pendiri Dewandaru Dance Company, kepada Tempo, menjelang pertunjukan. Rianto adalah delegasi yang ditunjuk oleh Kedutaan Besar RI untuk Jepang menjembatani Pura Mangkunegaran dengan Kerajaan Jepang. Rencananya tahun depan pihak Pura Mangkunegaran akan berkunjung ke negeri tersebut.
Rianto menuturkan, para penari dari Jepang ini sudah lebih dari 20 tahun mempelajari tari gaya Mangkunegaran. Beberapa dari mereka sebelumnya juga pernah belajar menari di Surakarta dan kali ini mereka kembali untuk menggelar pentas bersama. Ia menyebutkan guru mereka di Jepang sudah tidak ada, tapi pembelajaran tariannya dilanjutkan oleh generasi muda sekarang. “Selain konsisten mengembangkan tari, khususnya gaya Mangkunegaran di Jepang, mereka mempelajari gaya Surakarta yang lain,” ujar Rianto.
Penari asal Banyumas, Jawa Tengah, itu menyebutkan para penari di sanggar di Jepang tersebut justru bukan penari profesional, melainkan warga Jepang yang mencintai dunia tari. Mereka ikut belajar menari di sanggar untuk menyegarkan pikiran, membuang stres dari rutinitas mereka sehari-hari di rumah atau di tempat kerja. “Mereka ini karyawan kantor dan ibu rumah tangga yang mencintai tari,” tuturnya.
Empat penari membawakan tari Golek Montro di pendapa Prangwedanan Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, 29 Agustus 2023. Tempo/Septhie Ryanthie
Mereka setiap bulan berlatih bersama di Tokyo karena para penari berasal dari berbagai kota yang berjauhan, seperti Osaka dan Nagoya. “Jadi hanya bisa berkumpul untuk berlatih sebulan sekali.” Karena mereka sudah mempelajari gaya Mangkunegaran, tak terlalu sulit bagi mereka untuk melatih gerakan lain. Rianto menjelaskan, secara koreografi, dari bentuk tubuh dan keluwesannya, mereka sudah sangat Jawa. “Luwes, madep, mantep,” ujarnya.
Ditemui sebelum pentas, Suguri Hariu, salah seorang penari dari Sanggar Ajisai, mengaku sangat senang bisa menjadi bagian dari pertunjukan seni tari di Pura Mangkunegaran itu. Ia merasa amat dekat dengan Indonesia melalui kesenian tari. Terlebih karena dia beranggapan ada kesamaan antara budaya Indonesia dan budaya Jepang. Hariu menceritakan pengalamannya mempelajari budaya Indonesia, khususnya seni tari dan karawitan. "Saya belajar di ISI (Institut Seni Indonesia Surakarta, yang dulu bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau STSI) selama tiga tahun, sejak 1997 hingga 2000, lalu balik ke Jepang,” tuturnya.
Sekembali ke Jepang, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah universitas dari seorang temannya. Ia diminta mengajarkan tari Jawa dan gamelan. Ia pun mengajari ibu-ibu yang mengikuti ekstrakurikuler tari. “Mereka sehabis bekerja biasanya ikut berlatih hari Sabtu," ujarnya. Muridnya pun beragam, dari yang berusia 24 hingga 70 tahun, juga perempuan pekerja dan ibu rumah tangga.
Penari Jepang lain, Mirai Kawashima dan Kaori Okado, juga mengaku senang bisa berpartisipasi dalam pertunjukan malam itu. Kawashima mempelajari tari Jawa karena merasa jatuh cinta pada keindahannya. "Saya belajar tari Jawa karena bentuk kostum dan karyanya indah dan anggun. Saya langsung jatuh cinta," tuturnya. Tak mudah baginya menguasai tarian Jawa dan membutuhkan waktu lama. Ia pun pernah belajar di ISI Surakarta pada 2001 dan belajar di Mangkunegaran.
Sementara itu, Kaori Okado mengakui kecintaannya pada kesenian Jawa telah muncul lebih dari 20 tahun lalu. Dengan tarian Jawa, ia merasakan ketenangan batin seperti ketika sedang berdoa atau bermeditasi. "Saat menari saya merasa tenang, senang, bisa mengobati hati dan pikiran, mengurangi stres, serta badan juga bisa kuat," ucap Okado.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhia Ryanthie dari Surakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bedhaya Bedhah Madiun Bersama Tiga Penari Jepang"