Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal lukisan Goenawan Mohamad.
Menampilkan drawing dengan lebih banyak obyek tunggal.
DRAWING atau seni gambar dalam dunia seni rupa Indonesia tak hendak terlupakan. Mungkin seni gambar "hilang" beberapa lama ketika dunia pameran seni rupa didominasi seni lukis. Dewan Kesenian Jakarta, misalnya, memiliki program pameran besar seni lukis dua tahunan yang dimulai pada 1974, yakni Jakarta Biennale. Sebagaimana namanya, yang dipamerkan hampir semuanya adalah lukisan—karya rupa dua dimensi dengan media cat minyak atau akrilik pada kanvas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada satu pun yang lazim dinamakan seni gambar—karya seni rupa dua dimensi dengan media pensil, arang, pena dan tinta, serta sejenisnya pada kertas—diikutsertakan. Padahal sejumlah perupa menekuni seni gambar dengan sungguh-sungguh. Sebut saja Priyanto S., Harjadi Soeadi, T. Sutanto, S. Prinka, dan Satyagraha. Mereka tak lalu berpangku tangan. Mereka membentuk kelompok yang dinamakan Persekutuan Seniman Gambar Indonesia (Persegi), lalu tampil berpameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1978.
Persegi tak berlanjut, tapi seni gambar tetap berjaya di tangan-tangan generasi berikutnya, seperti Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Agus Suwage, Samuel Indratma, S. Teddy, dan Popok Triwahyudi. Di pelbagai tempat pun kita menyaksikan pameran-pameran yang menampilkan karya gambar sebagai sajian utama. Persaingan dalam Biennale Jogja rupanya berlanjut. Seni gambar tak hanya bertahan, tapi juga tampil dan masuk ke seni rupa kontemporer. Pada zaman ini, tidaklah mudah menarik garis pemisah yang tegas antara seni gambar dan seni lukis. Sebab, pengertian dan batasan seni rupa kontemporer sedemikian longgar dan cair.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anjing Panjang karya Goenawan Mohamad.
Dalam masa persaingan tanpa pidato itulah muncul seorang perupa yang agaknya ingin berkarya seni gambar seperti sedia kala: karya yang spontan, umumnya menampilkan karya hitam-putih, serta menggunakan media “sederhana”, seperti pensil, tinta, konte atau arang, pastel, bolpoin, dan kertas. Namanya tidak asing dalam dunia kesenian Indonesia, karena ia sudah dikenal sebagai penyair dan esais andal: Goenawan Mohamad. Karya gambarnya kini dipamerkan di Jiwa Gallery di Bantul, Yogyakarta, hingga 24 September 2023.
Goenawan Mohamad—disapa GM—menempuh "jalan gambar" konvensional, tapi tampak mengeksplorasi atau mengolah berbagai corak dan gaya melalui bermacam-macam media dengan mengutamakan elemen dasar gambar, yakni garis. Spontanitas gambar GM menjadikan bidang gambar sebagai ruang berekspresi yang kaya nuansa, termasuk membiarkan jejak proses kerja sapuan bidang ataupun goresan garis tanpa "koreksi".
Dalam catatan sejarah seni rupa kita, karya-karya gambar hitam-putih pernah sangat populer di kalangan pelukis, terutama ketika bahan lukis susah diperoleh dan tak terjangkau. Periode subur karya hitam-putih ini terjadi pada masa transisi dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, karya-karya gambar makin tersisih dari peredaran dan tampak kurang peminat. Dunia seni rupa kita kembali dipenuhi seni lukis dengan medium cat akrilik dan cat minyak.
Peri karya Goenawan Mohamad.
Namun, seperti sudah dikatakan di awal tulisan ini, seni gambar tidak benar-benar lenyap dan tetap “hidup” pada setiap zaman. Sebab, antara lain, media atau material yang dipakai mudah diperoleh dan terjangkau—tinta, pensil, konte atau arang, pastel, dan kertas. Sementara itu, tak demikian untuk medium cat minyak, cat akrilik.
Sebab lain (dan utama) datang dari dalam diri senimannya. Ada semacam tantangan dan keasyikan tersendiri dalam menghasilkan karya gambar yang kelihatannya sederhana tapi memiliki prasyarat tinggi dalam proses berkaryanya. Terutama terkait dengan kemampuan menangkap “momen” dan pengendalian perasaan (kontrol) saat mewujudkan emosi dan gagasan melalui goresan, sapuan, atau corengan berbagai material pada bidang kertas atau bahan lain.
Kemampuan seperti itu hanya bisa dimiliki manakala seniman senantiasa mengasah kepekaan melalui pengamatan yang intens terhadap karakter obyek karyanya. Ia harus konsisten dan berdisiplin melatih diri dalam mengenali karakter material serta paham secara intuitif kapan mengikuti "rencana", kapan pula melepaskan emosi dan menggores semata karena dorongan dari "dalam". ia ibarat pesilat yang selalu melatih setiap gerak untuk menangkap kelebatan serangan lawan serta kemampuan mempergunakan senjata guna melancarkan serangan balik yang cepat dan tepat sasaran.
Tanpa kemampuan itu, karya gambar seperti tidak memiliki jiwa. Ia tak ubahnya sebatas “laporan visual” yang kering atas obyek yang digambarnya.
Singa karya Goenawan Mohamad.
“Saya senang mengerjakan drawing karena mudah, bebas, dan jujur,” ucap GM pada suatu kesempatan. Barangkali kata “mudah” dalam pernyataan itu merujuk pada kepraktisan saat berkarya. Misalnya perkakas atau material yang dibutuhkan tidak membuat proses berkarya ribet, bisa dikerjakan di mana saja dan kapan saja. Adapun “bebas dan jujur” lebih pada pengertian "spontan" dalam menangkap dan mewujudkan gambar: cepat dan tanpa pretensi melalui coretan, sapuan karya. Spontan juga berarti tanpa rencana, semata mengikuti dorongan jiwa hasil persepsi seluruh indra pada obyek.
Perhatikan belasan karya drawing yang terpasang pada pameran tunggalnya kali ini, "Arang dan Bukan”, di Jiwa Gallery, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya-karya gambar GM lebih banyak menampilkan obyek yang tunggal. Dia seperti tak berkehendak menyuguhkan satu peristiwa yang mengalirkan rangkaian cerita (naratif). Obyek yang hadir pada karya-karya kebanyakan sosok atau makhluk yang tak mudah dikenali rumpun atau jenisnya. Makhluk-makhluk aneh itu tampil menyerupai larva sekaligus binatang purba. Tentu tidak semuanya demikian. Ada pula obyek yang lebih jelas, misalnya pada karya yang menampilkan citra monumen, binatang serupa anjing, singa, juga sosok manusia yang memakai jūnihitoe, pakaian berlapis yang dikenakan oleh kaisar Jepang.
Sosok manusia yang memakai jūnihitoe karya Goenawan Mohamad. Dok. Pribadi
Kecenderungan pada karya-karya GM seperti ini menunjukkan cara kerja yang spontan, mengikuti naluri dalam proses berkarya. Dia spontan menangkap apa saja yang berseliweran dalam kepala dan dengan cepat menerjemahkan melalui keterampilan tangan dalam memainkan medium yang dipilihnya—seperti tidak direncanakan dulu untuk menampilkan kerja jiwa yang sebenarnya. Kecenderungan untuk leluasa, spontan, dan bersikap membiarkan terhadap proses di kertas atau kanvas terjadi “sendiri”, tidak banyak dicampuri oleh "kehendak" dirinya.
GM lebih banyak mengeksplorasi garis dan arsiran yang secara berangsur-angsur berubah menjadi wujud serta permainan gelap-terang (cahaya) obyeknya hingga membangun sosok yang bervolume atau berdimensi. Dalam kerja seni rupa, GM tampaknya melepaskan keinginan untuk menjadi “juru bicara” alam sadarnya, apalagi bertendensi memberikan pencerahan tentang banyak soal. GM mencoba memberikan keleluasaan kepada proses berkarya tahap demi tahap yang mengalir dari tangan, hati, dan pikirannya. Dari ketiga elemen yang seimbang inilah proses berkarya GM.
Karya-karya gambar GM pada masa awal kariernya, beberapa tahun lalu, tampak masih terbilang sederhana dengan garis-garis yang masih kaku. Kemudian karya-karyanya terasa lebih lentur dan berdimensi. Perkembangan ini terhitung cepat, meloncat dari satu media ke media yang lain. Perkembangan ini dicapainya dengan kerja yang konsisten, berdisiplin dalam praktik, serta mempelajari sesuatu yang berkaitan dengan menggambar. Bagi GM, seolah-olah tak ada hari tanpa menghasilkan karya.
Mungkin juga, tentang konsistensi dan disiplin berkarya, karena GM banyak menerima undangan untuk mengikuti pameran. Walhasil, dia menjelma menjadi sosok seniman yang berkiprah dalam gelanggang seni rupa dengan semangat, kecintaan, dan kedisiplinan yang tinggi. Mungkin itulah yang memberinya jalan, misalnya, diundang mengikuti Artjog 2023, pameran yang menghadirkan karya-karya yang dianggap "mewujudkan isi dan keterlibatan di dalam dunia yang tanpa batas".
Karya-karya gambar Goenawan Mohamad bisa dikatakan menghadirkan kembali seni gambar seperti sedia kala dan sekaligus dalam perspektif yang "baru", mengeksplorasi garis untuk segala kemungkinan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seni Gambar dan GM, Kembali ke Masa Depan: Eksplorasi Garis untuk Segala yang Mungkin"