Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah kelap-kelip lampu panggung, tubuh sepuluh penari lengger bergerak lincah dan trengginas. Koreografer Rianto menjadi pusatnya. Rianto menari di barisan paling depan, memimpin sembilan penari lain. Dia tampil bertenaga, tapi juga lembut dan anggun. Maestro tari lintas gender (cross gender) Didik Nini Thowok tampil bersama Rianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan sampur berkelir mencolok lengkap dengan jarit, stagen, dan berbagai aksesori lain, semua penari banyak menampilkan gerakan mengangkat tangan. Dalam kesenian tradisi lengger, gerakan ini berarti hubungan alam dengan Sang Pencipta. Di Banyumas, Jawa Tengah, ketika hendak menggelar upacara ritual, masyarakat menanggap lengger sebagai media interaksi dengan Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat Banyumas, yang sebagian besar bekerja sebagai petani, mengenal tradisi mapag mangsa atau peralihan waktu masa tanam. Menanggap lengger berlangsung sebelum petani menanam atau memanen hasil bumi. “Gerakan itu ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta,” kata Rianto ketika ditemui Tempo sebelum menari.
Selama 15 menit, musik calung dari bambu wulung dan gamelan mengiringi penari pada malam berpayung bulan purnama. Pesinden membawakan “Eling-eling”, tembang khas Banyumas yang biasa ditampilkan untuk mengiringi pentas lengger. Pentas malam itu, Sabtu, 22 Juni 2024, bagian dari pertunjukan tari kolosal bertajuk 10.000 Lengger Bicara di Gelanggang Olahraga Satria Purwokerto, Banyumas. Sembilan belas penari lengger lanang dan ribuan penari lain mengikuti gerakan Rianto.
Sore pada hari yang sama, seribu lebih orang tampil menari untuk memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia atau Muri dengan jumlah penari terbanyak. Hari itu sekaligus ditetapkan sebagai Hari Lengger Sedunia.
Rianto dan Didik Nini Thowok memandu 10 ribu penari yang berasal dari siswa sekolah dasar hingga menengah, mahasiswa, dan masyarakat. Sebagian mahasiswa datang dari Aceh dan Pulau Kalimantan, yang mengenakan pakaian adat masing-masing.
Pertunjukan lengger kolosal itu mendapat sokongan dana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beserta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rianto bersama Andy F. Noya, pembawa acara Kick Andy, menjadi penggagas dan produser acara tersebut. Mereka juga berjibaku menghimpun dana dari sejumlah sponsor demi terwujudnya acara. Dana yang dibutuhkan untuk menggelar pertunjukan itu sebesar Rp 2,5 miliar.
Pemerintah Kabupaten Banyumas, menurut Rianto, tidak mengalokasikan dana untuk acara tersebut. Mereka hanya membantu memobilisasi siswa sekolah melalui Dinas Pendidikan Banyumas, menyiapkan tempat, dan berkoordinasi dengan polisi untuk menjaga keamanan acara.
Rianto menjadi tulang punggung dalam suksesnya acara tersebut. Pendiri Rumah Lengger itu dikenal punya perhatian dalam melestarikan tari tradisi tersebut. Dia telah berkeliling dunia memperkenalkan lengger dan mendirikan studio tari di Jepang.
Menurut Rianto, tari kolosal 10.000 Lengger Bicara bertujuan mengajak masyarakat mengenal lebih dekat lengger. Ide awal pertunjukan kolosal lengger muncul dua tahun lalu ketika Rianto tampil dalam acara Kick Andy.
Semula acara itu akan digelar pada Hari Tari Sedunia atau peringatan hari lahir Banyumas. Rianto merancang acara itu di Menara Pandang karena pemandangan langitnya bagus. Tapi rencana tersebut batal dengan sejumlah pertimbangan.
Sebagai persiapan menuju pertunjukan kolosal, Rianto merekam tari dan musik sebagai tutorial. Kemudian ia membagikan rekamannya kepada sanggar-sanggar tari di Banyumas dan sejumlah sekolah supaya penari yang terlibat dalam tari kolosal bisa berlatih dengan mudah.
Melalui pentas kolosal itu, Rianto berharap lengger menjadi perbincangan masyarakat di tengah stigma terhadap penari lengger. Stigma yang Rianto maksudkan adalah cap buruk terhadap penari lengger lanang karena laki-laki menari dan berdandan seperti perempuan. Lengger lanang dengan gerakan gemulai dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Padahal Banyumas punya Dariah, maestro lengger kebanggaan yang membawa spirit bagi banyak orang untuk menjaga kesenian lengger.
Pada 1930-1960-an, Dariah menjadi bintang dan primadona Banyumas. Dia lahir sebagai laki-laki bernama Sadam. Ia meninggal pada 12 Februari 2018 pada usia 97 tahun. Tubuh Dariah melebur sehingga ia tidak bisa disebut sebagai perempuan ataupun laki-laki. “Lengger mendamaikan yang maskulin dan feminin,” tutur Rianto.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penari lengger lanang di Banyumas makin sedikit. Budayawan Banyumas, Yusmanto, pernah menyebutkan lengger lanang ada sejak kejayaan Kerajaan Majapahit. Kesenian itu disebut bagian dari ritus kesuburan. Masyarakat Banyumas menganggap ada hubungan seksual yang suci tentang dewi bumi sebagai dewi kesuburan.
Pertunjukan tari kolosal bertajuk 10.000 Lengger Bicara di Gelanggang Olahraga Satria Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, 22 Juni 2024 Tempo/Shinta Maharani
Setelah Perang Diponegoro pada 1830, lengger yang sakral menjadi pemuas nafsu seks. Belanda yang datang ke Banyumas menggunakannya sebagai pemuas nafsu. Lalu tragedi politik 1965 berimbas pada redupnya lengger karena kesenian ini dianggap dekat dengan komunis.
Belakangan, konservatisme agama makin menggencet penari lengger lanang. Bukan hanya itu, penari lengger perempuan juga kerap mendapat label sebagai perempuan gampangan dan menjurus ke prostitusi. Situasi itulah yang membuat penari lengger makin tak mendapat tempat.
Rianto menyatakan tak mudah mengatasi stigma terhadap lengger lanang yang masih kuat. Dia mencontohkan, menjelang pentas tari kolosal itu, seorang pejabat Banyumas berpesan kepada Rianto agar penari laki-laki tak melakukan gerakan yang aneh-aneh seperti perempuan. Pesan bernada merendahkan lengger juga diterima koreografer tari kontemporer yang berakar dari lengger, Otniel Tasman. Menurut dia, sejumlah pejabat daerah kerap meminta penari lengger yang cantik dan bertubuh seksi pada saat ada pementasan. “Permintaan yang seksis dan merendahkan,” kata Otniel.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Banyumas Setia Rahendra tidak menampik anggapan ihwal stigma terhadap lengger yang masih kuat, termasuk di kalangan pejabat. Melalui tari kolosal itu, dia optimistis stigma terhadap lengger lambat laun terkikis. Untuk memutus stigma, Pemerintah Kabupaten Banyumas berencana memasukkan lengger sebagai muatan lokal di sekolah. “Citra positif terhadap lengger perlu terus ditanamkan,” ujar Setia.
Gemerlap tari kolosal hari itu terasa kurang magis dibandingkan dengan Festival Kendalisada, yang berlangsung pada September 2018 untuk mengenang Dariah di Bukit Kendalisada, Banyumas. Tari kolosal itu tampak seperti acara pariwisata yang dikemas meriah, tapi kurang berjiwa spiritual.
Untungnya, Otniel melengkapinya dengan acara bertajuk Jagat Lengger, yang digelar di kampung-kampung lengger pada 28-30 Juni atau sehari seusai pertunjukan lengger kolosal. Dia membuat konsep acara ziarah ke makam Dariah serta pertunjukan lengger dan ebeg di kampung-kampung yang menjadi basis lahirnya penari lengger. Otniel mempertemukan komunitas-komunitas lengger dengan koreografer dan komposer musik berbagai daerah serta seniman film visual dari Australia. Mereka berkolaborasi mementaskan tari.
Selain itu, Otniel merancang sesi tentang indang atau kewahyon. Indang merupakan wahyu pemberian Tuhan. Melalui indang, orang mahir menari tanpa belajar kepada siapa pun. Orang-orang lantas berburu indang. Ide itu muncul ketika Otniel mengamati jual-beli indang yang marak melalui media sosial dan berbagai situs online.
Otniel berharap, melalui kegiatan itu, komunitas lengger di desa-desa mampu bertahan menjaga warisan leluhur. Menurut dia, kebanyakan penari lengger berada dalam situasi hidup sekarat, mati pun enggan di tengah perkembangan zaman. “Merawat lengger tak mudah dan perlu upaya serius,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rianto dan Lengger Kolosal"