Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU-BUKU bekas berserakan di sebuah meja. Di atas meja itu tergantung papan nama bertulisan Bibliophile. Di depan meja terdapat tiang gantungan topi. Di sisi kiri, ada sebuah sofa yang agak usang. Set sederhana yang ditata di Studio Garasi Performance Institute, Yogyakarta, 24-25 Juni 2024, itu menggambarkan suasana sebuah toko buku sastra dan filsafat yang dimiliki seorang tua berusia hampir 70 tahun bernama Itok dalam naskah Take Me in Your Hands (Bimbinglah Aku) karya dramawan Slovenia, Evald Flisar, yang dimainkan Jamaluddin Latif dan Nunung Deni Puspitasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah menarik ini bercerita tentang dua orang kesepian di sebuah toko buku yang berusaha memahami jiwa satu sama lain. Toko buku itu tak laku, tak terurus, dan menunggak sewa kontrakan selama enam bulan. Itok, seorang duda sakit-sakitan yang sehari-hari terobsesi membuat esai mengenai Jose Luis Borges, sastrawan Argentina yang ia kagumi karena tatkala buta tetap menulis sajak, berusaha mati-matian mempertahankan toko bukunya. Ia memasang iklan untuk mencari seorang asisten yang bisa bekerja dua kali seminggu, tiga jam sehari. Ia akan membayar Rp 200 ribu per jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datanglah mahasiswi bernama Maya (Nunung Deni Puspitasari). Ia tak memiliki pengetahuan tentang sastra ataupun filsafat, tapi bersedia bekerja bahkan dengan jam kerja lebih, asalkan Itok mengajari dia tentang dunia buku. Percakapan dua orang yang umurnya terpaut jauh itu berkaitan dengan buku, dari hal-hal kecil, seperti penataan buku di rak, sampai yang menukik dalam ke masalah hidup, cinta, dan kematian. Percakapan mereka menjadi materi dialog naskah Evald Flisar dan itu bisa dimainkan oleh duet Jamal-Nunung dengan cukup mengesankan selama lebih-kurang dua jam.
Nama Evald Flisar pertama kali dikenal oleh publik teater Indonesia saat naskahnya yang berjudul What about Leonardo? diterjemahkan Rangga Riantiarno menjadi Kenapa Leonardo? dan dipentaskan oleh Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2008. Saya ingat, Teater Koma yang biasanya mementaskan naskah-naskah sarat guyonan tiba-tiba bermain serius dengan akting realis.
Pementasan teater dari naskah Take Me In Your Hand (Bimbinglah Aku) yang dimainkan Jamaluddin Latif dan Nunung Deni Puspitasari, di Studio Garasi Perfomances Institutem Jakarta, 24 Juni 2024. Dok. Arya Suksma
Naskah itu bercerita tentang seorang penderita amnesia akut bernama Martin yang dirawat di sebuah rumah sakit saraf. Seorang dokter bernama Da Silva bereksperimen mengembalikan ingatan Martin yang hilang. Dokter itu berhasil. Bahkan Martin tiba-tiba menjadi seorang jenius seperti Leonardo da Vinci. Namun kejeniusan Martin itu tidak diimbangi dengan kematangan jiwanya. Ia seperti robot.
Naskah kedua Flisar yang diterjemahkan Rangga adalah Antigoneo (Antigone Now). Naskah yang dipentaskan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta pada 2011 itu merupakan tafsir Flisar atas Antigone karya dramawan Yunani kuno, Sophocles. Naskah itu bercerita tentang seorang perempuan yang menolak penggusuran sebuah kuburan untuk dijadikan kasino. Dua naskah itu, Leonardo dan Antigoneo, menunjukkan bobot Evald Flisar.
Tak banyak yang tahu bahwa setelah kedatangannya ke Indonesia, beberapa karya lain Flisar diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari di Yogyakarta. Tatkala Flisar bekerja sama dengan Teater Koma pada 2010-an itu, Nunung tengah menjalani magang sebagai sutradara di Teater Koma. Nunung sering berdiskusi dengan Flisar, kemudian dia diizinkan menerjemahkan karya-karyanya.
Naskah drama Flisar yang berjudul Eleventh Planet atau Planet Kesebelas (selain novelnya, seperti Pesona Odysseus dan Alice di Tanah Gila), misalnya, diterjemahkan Nunung. Naskah Planet Kesebelas yang bercerita tentang kehidupan tiga gelandangan pernah dipentaskan Teater Amarta di Kedai Kebun, Yogyakarta, pada 2014. Kini Nunung menerjemahkan karya Flisar tentang toko buku filsafat yang hendak tutup, Take Me in Your Hands, dan memainkannya sendiri.
“Maya, membaca itu berbahaya,” kata Itok. “Kenapa?” Maya bertanya heran. “Karena membaca mengalihkan perhatian kita dari dunia nyata. Memaksa kita mengalami hidup dengan kata-kata. Lalu kehidupan itu sendiri hanya menjadi sebuah kata dan tetap menjadi kata,” ujar Itok.
Jamaluddin Latif mampu memerankan sosok orang tua yang sabar menghadapi segala kecerewetan, tindakan, dan obsesi Maya yang tak ia mengerti. Kalimat-kalimat yang dikeluarkan Jamal selalu tenang dan terkontrol. Gestur dan langkahnya wajar, tidak berlebihan, baik saat adegan mengenakan kruk maupun tidak. Dengan rambut disemir putih, Jamal mampu menampilkan sedikit demi sedikit perubahan halus karakter lelaki tua eksentrik yang tadinya mencintai buku lebih dari apa pun menjadi terbuka hatinya dengan kehadiran seorang wanita.
“Sesekali aku berpikir untuk jual diri,” kata Maya. Permainan Nunung memerankan karakter seseorang yang berulang kali berganti pasangan, agresif, dan yang pemikiran-pemikirannya untuk menyelamatkan toko buku mengagetkan Itok cukup lumayan. Maya suka menyalin kalimat-kalimat dari buku yang direkomendasikan Itok. Ia menganggap Itok mentornya.
Dialah yang memiliki ide agar nama toko buku Bibliophile diganti dengan Bimbinglah Aku agar menarik pembeli. Maya menyusun buku-buku yang biasanya campur aduk menjadi tematik sesuai dengan abjad, yang justru membuat Itok kesulitan menemukan buku puisi Borges yang ia sayangi.
Pementasan teater dari naskah Take Me In Your Hand (Bimbinglah Aku), di Studio Garasi Perfomances Institutem Jakarta, 24 Juni 2024. Dok. Hengga Tiyasa
Maya melakukan strategi penjualan yang membuat Itok bingung. Dia menjual vas-vas bunga cantik dan yang membeli mendapat hadiah buku. “Jadi bukunya gratis?” Itok mengeluh, tak menyetujui strategi itu.
Naskah ini dari awal penuh percekcokan kecil antara Itok dan Maya, yang melihat buku dan toko buku dari sudut pandang masing-masing. Cara pandang mereka tidak bertemu, tapi beririsan dan melahirkan cinta. Naskah ini tak menampilkan kejadian-kejadian besar yang membalik nasib seseorang, melainkan perubahan hati seseorang dari percakapan-percakapan situasional yang membuat makna. Tatkala Maya menemukan vodka yang bertahun-tahun disembunyikan Itok di buku berjudul Cara Menghindari Sirosis Hati dan Itok hendak meneguknya, tampak perubahan dalam sikap Itok.
Di akhir, terdapat kejutan tak terduga. Hal itulah yang membuat naskah tersebut memiliki akhir mengesankan dan terasa kualitas tragisnya. Itok merasa bahwa hidupnya tak berlangsung lama. Dia membuka rahasia kepada Maya bahwa ia mengidap kanker hati stadium akhir yang telah menjalar ke kelenjar, tulang belakang, paru-paru, dan di mana-mana. Tapi ia harus melunasi utangnya dan membayar gaji Maya.
Dia lalu meminta Maya mengambil sebuah kotak yang terkunci. Di dalamnya, Itok menyembunyikan buku-buku langka lusuh berjudul Waiting for Godot karya Samuel Becket edisi cetak pertama pada 1952, Ulysses karya James Joyce edisi pertama pada 1922 yang ditandatangani penulisnya sendiri, The Flower of Evil karya Baudelaire cetakan 1857, Leaves of Grass kumpulan puisi Walt Whitman edisi 1855, dan selembar Alkitab dari cetakan asli Gutenberg.
Semua itu dibeli Itok di pelelangan dengan harga mahal. “Ulysses kubeli 140 juta. Hari ini nilainya 207 juta. Leaves of Grass kubeli 225 juta. Semuanya bila ditotal, jumlahnya lebih 695 juta,” kata Itok. Karena merasa maut sudah dekat—tidak ingin berobat—Itok memberikan semua buku itu kepada Maya beserta nomor-nomor kolektor yang mau membelinya.
Pementasan yang dihadiri anak dan istri Flisar dari Slovenia (Flisar urung datang ke Yogyakarta karena sakit) ini mungkin akan lebih dramatis bila setnya tidak sesederhana meja dan sofa, melainkan panggung ditata dengan dinding rak-rak tinggi penuh buku. Juga lantai yang penuh luberan tumpukan buku, di mana-mana ada buku, hingga aura toko buku bekas terasa.
Pementasan dengan hanya dua aktor ini saya bayangkan mudah dibawa ke mana-mana. Bahkan bisa dipentaskan di toko-toko buku alternatif yang menjamur di kota-kota seperti Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang, dengan jumlah penonton terbatas. Di Suryodiningratan, Yogyakarta, misalnya, ada Kebun Bibi Artbook Coffee dan di Jakarta ada Baca Tebet, yang memiliki ruangan dengan buku-buku yang ditata di rak sampai langit-langit.
Adegan terakhir cukup membekas. Itok duduk di sofa. Menjelang kematiannya, dia meminta Maya membacakan puisi Borges yang disukainya. Puisi itu tentang penderitaan yang ditulis Borges saat matanya buta. Borges menulis tentang penderitaan yang bahkan tak bisa ditolong Yesus ataupun Sidharta: Saat ini kita berada di tengah labirin. Penderitaan Yesus atau Socrates tidak akan menyelamatkanmu, begitu pula kekuatan Sidharta emas….
Dan lampu pun padam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seorang Lelaki Tua dan Toko Buku"