Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah dua kali dalam tiga tahun ini majalah Tempo memilih kota sebagai Tokoh Arsitektur. Isu perkotaan memang seperti tidak ada habisnya dibahas. Apalagi bumi semakin sesak. Tahun lalu penghuninya sudah tujuh miliar. Lebih dari setengahnya tinggal di kota. Penataannya pun semakin kompleks.
Tahun ini kami ingin menyoroti hal yang berbeda: arsitektur berciri khas Indonesia. Bukan tanpa sebab pula pemilihannya. Kota yang semakin padat telah membuat penduduk seperti kehilangan jati diri. Tradisi dan budaya semakin pudar, tergantikan oleh keseragaman akibat informasi global.
Begitu pula arsitekturnya. Bentuk bangunan semakin seragam. Mana yang jadi tren ditiru dengan buruk di mana-mana. Arsitektur yang awalnya tumbuh dari budaya dan alam sekitar menjadi bangunan yang asing.
Kalau hal tersebut terus terjadi, tentu arsitektur tradisional Nusantara akan hilang. Identitas bangsa yang berbeda-beda tapi tetap satu ini pun ikut hilang. Dari pemikiran itulah kami memilih arsitektur Nusantara sebagai topik untuk Tokoh Arsitektur Tempo 2011.
Ada dua tipe arsitektur berciri khas Indonesia, yaitu kolonial dan tradisional. Diskusi dengan tiga juri, yaitu arsitek Bambang Eryudhawan; ahli lanskap Universitas Trisakti, Nirwono Joga; dan arsitek Yori Antar, pada pertengahan November tahun lalu berlangsung alot.
Untuk arsitektur kolonial, pemilihannya akan sulit. Pertama, kami tidak dapat memilih sebuah kota hanya karena memiliki banyak peninggalan kolonial. Hal tersebut membuat pemilihannya hanya berfokus pada bangunan, bukan peradaban kota dan manusia di dalamnya. Padahal yang hendak kami tonjolkan adalah arsitektur Nusantara yang mampu mempertahankan tradisi dan budaya.
Kedua, bisa saja penilaian berdasarkan apa yang dilakukan pemerintah kota untuk melestarikan bangunan lama tersebut. Namun hal ini membuat kota-kota yang tiga tahun belakangan masuk Tokoh Arsitektur Tempo terpilih kembali.
Sempat pula muncul ide soal jantung-jantung kota terbaik. Sebuah kawasan yang selama ratusan tahun bisa menyuplai kehidupan sebuah kota. Namun tema ini juga hanya akan memunculkan nama-nama kota serupa dengan tokoh arsitektur sebelumnya. Lagi pula sulit mengukur keaslian kawasan tanpa terjebak sikap tradisional dan komitmen pemerintah setempat untuk mempertahankan jantung kotanya.
Pada akhirnya, pilihan jatuh pada arsitektur tradisional. Kami ingin pilihan ini tidak hanya menjadi etalase kampung-kampung adat dengan arsitektur indah di Indonesia. ”Jangan jadi dead monument,” kata Yudha—begitu Bambang Eryudhawan dipanggil.
Tim edisi khusus ini pun melanjutkan diskusi internal—tanpa kehadiran tiga juri. Kami kemudian memikirkan gerakan arsitektur yang menonjol sepanjang 2011. Gerakan yang berkomitmen untuk melestarikan arsitektur tradisional. Sengaja yang kami pilih bukanlah tokoh, melainkan gerakan supaya lingkupnya dapat tersebar ke berbagai tempat di Indonesia. Selain itu, kami ingin mengapresiasi peran masyarakat setempat di dalam aksi tersebut.
Empat gerakan pun terpilih dengan tiga jenis aksi. Pertama, organisasi yang berusaha menyelamatkan wajah dan tradisi arsitektur Nusantara, yaitu Program Rumah Asuh bentukan Yori Antar. Kedua, kampung yang melakukan aksi penyelamatan swadaya di Sindangbarang, Bogor. Ketiga, kampung yang mendapat partisipasi dari universitas, yaitu Program Arsitektur Hijau Universitas Parahyangan dan Koin untuk Rumah Adat Karo Universitas Negeri Medan.
Pertengahan Desember tahun lalu, tim bertemu kembali dengan para juri. Kali ini Yori Antar tidak dilibatkan karena dia masuk daftar kandidat. Ini dilakukan agar keobyektifan dalam pemilihan tokoh-tokoh itu tetap terjaga. Dua juri yang tersisa—Bambang Eryudhawan dan Nirwono Joga—memberi masukan nama-nama. Keduanya sepakat empat kandidat itu layak masuk dalam Tokoh Arsitektur Tempo. ”Ada titik kritisnya,” kata Nirwono. ”Menyelamatkan bangunan adat yang hampir punah.”
Selain gerakan-gerakan itu, kami tidak melupakan kampung-kampung lama yang terus menjaga tradisinya. Menurut Yudha, kampung tersebut mampu membuat keseimbangan dengan laju urbanisasi saat ini, ketika banyak orang menilai kehidupan kota lebih baik ketimbang desa. Justru mereka mampu bertahan menjaga tradisi dan budayanya di desa. ”Ini bisa jadi seperti gerakan gas dan rem,” kata Yudha. ”Hidup di desa tidak jelek-jelek amat.” Karena itu, kami juga menulis soal Kampung Tenganan (Bali), Kampung Naga (Jawa Barat), dan Kampung Bawomataluo (Nias).
Pilihan-pilihan tersebut memang jauh dari sempurna. Mungkin saja ada gerakan yang lebih layak terpilih. Kami tidak menutup mata akan banyak pro dan kontra yang muncul setelah tulisan ini terbit. Namun semangat dari gerakan ini yang kami harap bisa menjadi pemicu aksi serupa dan reaksi yang lebih besar terhadap penyelamatan arsitektur Nusantara.
Tim Tokoh Arsitektur Tempo 2011.
Penanggung Jawab: Qaris Tajudin Kepala Proyek: Sorta Tobing Penyunting: Qaris Tajudin, Hermien Y. Kleden Penulis: Sorta Tobing, Qaris Tajudin, Ahmad Taufik, Ninin P. Damayanti, Purwani Diyah Prabandari Penyumbang Bahan: Anwar Siswadi (Bandung), Arihta U. Surbakti (Bogor), Rofiqi Hasan (Bali), Sigit Zulmunir (Garut), Soetana Monang Hasibuan (Medan) Bahasa: Iyan Bastian, Uu Suhardi Foto: Nita Dian A. Desain: Eko Pambudi, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo