Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN ranting pohon dengan panjang bervariasi--paling panjang dua meter--disusun secara melingkar. Berdiameter sekitar tiga meter, tumpukan ranting itu membentuk semacam sangkar burung raksasa. Di tengahnya, berdiri sebuah patung manusia berduri yang terbuat dari bahan keramik setinggi sekitar setengah meter.
Instalasi ranting pohon dengan berat mencapai satu ton itu diberi judul Menganyam Sendi-sendi Diri. Pembuatnya, Andrita Yuniza Orbandi, perupa perempuan kelahiran 1994 asal Bandung. Sepanjang 26 Februari lalu hingga 16 Maret mendatang, karya Andrita tersebut dipajang di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. Ia menjadi salah satu karya seni rupa yang ditampilkan dalam pameran karya 21 perupa perempuan Indonesia bertajuk “Indonesian Women Artists: Into the Future”. “Manusia juga membutuhkan ‘sangkar’ sebagai tempat untuk melindungi diri dan hatinya,” ujar lulusan Visual Arts Institut Teknologi Bandung itu.
Selama tiga hari Andrita menyusun ribuan ranting pohon itu. Dia memperolehnya dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Bandung, yang bertugas mengumpulkan batang ranting yang berjatuhan dari pohonnya. “Saya memang menggunakan limbah kayu untuk karya instalasi ini,” ucap Andrita.
Pameran “Indonesian Women Artists: Into the Future” merupakan bagian dari rangkaian peluncuran buku dengan judul serupa yang diterbitkan Cemara 6 Galeri-Museum. Penulisnya, Carla Bianpoen, jurnalis senior, kritikus seni, dan kurator yang telah berusia 83 tahun tapi masih energetik dan terus aktif menulis. Para perupa perempuan itu berasal dari tiga kota, yakni Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Mereka adalah Andrita Yuniza Orbandi, Ayu Arista Murti, Cecilia Patricia Untario, Dita Gambiro, Elia Nurvista, Erika Ernawan, Etza Meisyara, Fika Ria Santika, Irene Agrivina, Kinez Riza, Maharani Mancanagara, Maradita Sutantio, Natasha Tontey, Octora, Prilla Tania, Restu Ratnaningtyas, Sanchia Tryphosa Hamidjaja, Syagini Ratna Wulan, Tara Astari Kasenda, Theresia Agustina Sitompul, dan Yaya Sung.
Carla Bianpoen memilih sendiri nama-nama perupa yang ditulis dalam buku tersebut. Usia mereka kebanyakan masih 20-an tahun. Selain pertimbangan konsep berkarya yang out of the box, Carla menganggap para perupa itu memiliki spirit berkarya yang menarik dan kuat serta tidak pernah “stuck” dalam berkarya. “Saya menyebutnya seni rupa yang dihinggapi roh perempuan,” katanya. Karena itu, menurut Carla, “Sudah waktunya para perempuan muda itu diangkat ke permukaan.”
Di luar itu, buku Indonesian Women Artists: Into the Future sebenarnya menjadi jawaban atas kekosongan literatur mengenai perupa perempuan Indonesia. Pada 2007, Carla, bersama Farah Wardani dan Wulan Dirgantoro, membuat buku tentang para perupa perempuan Indonesia berjudul Indonesian Women Artists: The Curtain Opens. Namun, setelah itu, tak ada lagi buku dengan tema serupa yang diterbitkan. “Buku Indonesian Women Artists: Into the Future adalah satu arsip dan dokumentasi yang sangat penting setelah 12 tahun tidak ada buku dengan tema perupa perempuan Indonesia,” ujar Ketua Yayasan Cemara Enam Inda Citraninda Noerhadi.
Selain Menganyam Sendi-sendi Diri karya Andrita Yuniza Orbandi, misalnya, ada instalasi air tajin dan berbagai bakteri bikinan perupa perempuan asal Yogyakarta, Irene Agrivina. Dalam karya berjudul Tajin itu, dia menggunakan proses biologis dengan open source perangkat lunak dan perangkat keras untuk membuat pakaian yang melindungi tubuh perempuan terhadap polutan berbahaya yang biasanya dipakai dalam industri fashion modern. Melalui proses air tajin, Irene membuat selulosa, kemudian menambahkan sejumlah bakteri, seperti Acetobacter xylinum, dan bunga bakteri dari alat kelamin perempuan. “Ini merupakan inovasi perempuan yang perlu dicatat dalam penulisan sejarah seni rupa,” ucap Carla Bianpoen.
Lalu ada karya Cecilia Patricia Untoro yang menggelitik. Cecilia memasang replika belasan “kondom” kaca memetaforakan cetakan produksi massal kondom. Dalam keterangannya, inspirasi karya itu didapat tatkala Cecilia kuliah di Italia. Sang teman bercerita, sejak sekolah menengah atas, ia sudah diantar ibunya melihat-lihat alat kontrasepsi yang cocok baginya. Perbincangan dan pendidikan demikian, tulis Cecilia, masih sangat jauh terjadi di Indonesia. Terlihat minat 21 perempuan itu beragam, dari masalah urban, tabu, sejarah, sampai imigrasi.
Karya video animasi yang cerdas ditampilkan oleh Elia Nurvista berjudul Fruchline. Dia merefleksikan masalah pengungsi di Eropa. Pendatang dan pengungsi di Eropa cenderung dicurigai. Tapi, secara paradoks, buah tropis dari negeri-negeri pengungsi atau imigran dianggap keren, menyehatkan, dan kaya vitamin. Elia membuat video animasi yang menampilkan berbagai buah dari luar Eropa yang masuk ke benua itu dan dianggap berguna bagi tubuh, dari kiwi sampai buah naga. Visual memperlihatkan buah-buah itu menggelinding dari pertanian. Melalui sebuah mesin, buah-buahan itu lalu mengalami screening. Ada yang diterima dan ada yang ditolak.
PRIHANDOKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo