Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Lebah Raksasa dari Halmahera

Lebah terbesar di dunia yang diduga telah punah ternyata masih ada di Halmahera, Maluku Utara. Satwa ini rentan punah dan diburu kolektor.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBEKAL petunjuk yang digambarkan dalam makalah Adam Catton Messer, entomolog dari University of Georgia, Amerika Serikat, Clay Bolt akhirnya menemukan apa yang ia cari selama berminggu-minggu menjelajahi hutan Maluku Utara, akhir Januari lalu. Fotografer asal Negeri Abang Sam itu yang pertama membuat foto dan video lebah raksasa Wallace yang diduga telah punah. “Itu momen yang luar biasa. Tapi kami belum yakin bahwa itu lebah raksasa Wallace,” ujar Bolt dalam surat elektronik kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Satwa itu dinamai lebah raksasa Wallace (Wallace’s giant bee) karena yang pertama kali menemukannya di alam adalah penjelajah dan naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, pada 1859. Wallace menemukan seekor lebah betina dengan panjang sekitar 4 sentimeter di Pulau Bacan. Ia mendeskripsikannya sebagai serangga mirip tawon, berwarna hitam, dan berukuran besar dengan rahang yang sangat besar seperti milik kumbang rusa jantan.

Koleksi spesimen lebah eksentrik Wallace- itu menarik perhatian Frederick Smith, entomolog di British Museum spesialis serangga ordo Hymenoptera. Pada 1861, Smith pun melakukan identifikasi dan mengumumkan bahwa lebah raksasa Wallace itu adalah spesies baru dengan nama Megachile pluto. Sejak itu, keberadaan lebah ini di luar radar kajian para peneliti serangga dunia sampai tim Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkannya ke “daftar merah” dengan status rentan.

Adam Messer termasuk peneliti yang tak sependapat dengan penetapan IUCN itu. Ia pun berhasil menemukan kembali lebah raksasa Wallace saat melakukan penelitian di Halmahera, Tidore, dan Bacan pada Februari 1981. Dalam makalahnya yang terbit dalam Journal of Kansas Entomological Society edisi 1984, Messer menyebutkan lokasi penemuannya yang pertama di Halmahera lengkap dengan titik koordinat lintang dan bujur. Namun, saat Clay Bolt datang, lokasi tersebut ternyata telah berubah menjadi perkebunan.

Bolt mengungkapkan, pencarian itu tergolong tak mudah. Ia bersama rekannya dari American Museum of Natural History, New York, Eli Wyman, dan pemandu lokal, Iswan Maujud, menjelajahi hutan demi hutan selama berminggu-minggu. Mereka mengamati setiap pohon yang mungkin memiliki sarang rayap jenis Microcerotermes amboinensis karena lebah tersebut berbagi sarang dengan rayap itu demi perlindungan. Satu sarang diamati dengan teliti selama 20-30 menit.

Menurut Bolt, mereka memeriksa sekitar 30 sarang rayap sebelum akhirnya menemukan sebuah sarang yang berada di pohon yang tingginya sekitar 2,4 meter dari tanah. Di dalam sarang rayap itulah Bolt menyaksikan seekor lebah besar yang hidup di habitat alaminya.

Untuk memastikan lebah itu benar lebah raksasa Wallace, Bolt harus memeriksa sebuah garis pita putih di perutnya yang menjadi salah satu ciri khasnya. Lanta-ran lebah itu tak kunjung meninggalkan sarangnya setelah lama ditunggu, Bolt akhirnya memancingnya dengan sepotong rumput hingga keluar dan berjalan masuk ke tabung.

“Dari situlah kami tahu bahwa itu benar-benar dia. Kami menaruhnya di dalam kotak untuk pengamatan selama beberapa menit sebelum kemudian mengembalikannya ke sarang. Itu momen yang tidak akan pernah saya lupakan,” ucap Bolt, yang mengaku tahu pertama kali tentang lebah raksasa Wallace 20 tahun silam, setelah membaca kisah ekspedisi Wallace di Maluku.

Temuan Bolt itu dipublikasikan organisasi pelestarian lingkungan Konservasi Margasatwa Global (GWC) pada 22 Februari lalu. Menurut GWC, lebah raksasa Wallace- merupakan spesies kedua yang dapat ditemukan dari 25 spesies yang paling dicari dalam program Search for Lost Species.

Setelah penemuan itu, Bolt lebih khawatir akan keberlangsungan hidup lebah raksasa tersebut. Ia bahkan meminta Iswan Maujud merahasiakan lokasi sarang temuan agar tidak diganggu. Apalagi ada perubahan beberapa wilayah kawasan hutan menjadi perkebunan dan maraknya perburuan.

Ukurannya yang empat kali ukuran lebah biasa dengan rahang besar yang unik, habitat yang terbatas, serta sangat jarang ditemukan membuat kolektor berani membelinya dengan harga sangat tinggi. Pada Maret tahun lalu, di situs lelang online eBay, satu spesimen lebah raksasa Wallace terjual US$ 9.000 atau sekitar Rp 127 juta.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia mengakui bahwa lebah raksasa Wallace belum termasuk spesies yang dilindungi. “Kami sudah bersurat kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengkaji status kelangkaan dan dasar penetapan menjadi dilindungi,” tutur Indra melalui pesan WhatsApp kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Sebagai upaya perlindungan terhadap satwa tersebut, kata Indra, pihaknya telah meminta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku memantau dan mengawasi pemanfaatan satwa ini.

Profesor riset bidang zoologi yang juga entomolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosichon Ubaidillah, mengatakan telah mendapat tanggapan dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem bahwa spesies itu harus dilindungi. “Ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu mengawasi ketat perburuan, mencegah peneliti asing tanpa izin, dan melakukan ekspedisi gabungan untuk mengetahui populasi dan biologi Megachile pluto yang belum lengkap diketahui,” ucapnya.

Menurut Rosichon, data ilmiah dari ekspedisi itu dibutuhkan untuk mengajukan usul kepada Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES) dalam sidang CoP18 di Kolombo, Sri Lanka, 23 Mei-3 Juni mendatang. “Kita harus mengusulkan agar statusnya masuk ke Appendix I,” katanya. Spesies yang masuk Appendix I adalah flora dan fauna yang dilarang diperdagangkan secara internasional dalam segala bentuk.

Penelitian tentang lebah di Indonesia, khususnya untuk bidang taksonomi, Rosichon menambahkan, bisa dibilang tidak ada. Ini dapat dibuktikan dari jumlah spesimen yang dimiliki Indonesia. Dari 1.390 nama spesies dalam marga Megachile yang dikenal di dunia, yang dimiliki Museum Zoologicum Bogoriense hanya 20-25 dan baru 17 spesies yang teridentifikasi. “Sebagai entomolog, saya memperkirakan ada 400-500 jenis Megachile di Indonesia.”

Rosichon mengatakan kenyataan ini menjadi pelajaran berharga bagi peneliti dan perguruan tinggi yang mempunyai jurusan biologi untuk mengembangkan lagi ilmu taksonomi guna mengungkap berbagai spesies yang belum diketahui.

Sultan Tidore Husain Sjah tak percaya lebah raksasa Wallace yang dikenal masyarakat Tidore sebagai raja ofu atau raja lebah itu adalah spesies yang sudah dinyatakan punah. Ia pun kaget lebah tersebut bisa laku dijual seharga hingga Rp 127 juta. “Memang banyak jenis ofu (lebah) di hutan Tidore, terutama di daerah Oba. Ada yang kecil hingga besar, tapi saya tidak tahu banyak soal lebah ini,” ujar Husain, Ahad pekan lalu.

Menurut dia, masyarakat Tidore di Halmahera umumnya melihat lebah hutan sebagai hewan yang bermanfaat secara ekonomi sehingga banyak orang menjaga keberadaannya. “Saya minta masyarakat Halmahera tidak mengusik keberadaan lebah hutan, termasuk raja ofu. Kita perlu jaga dan lestarikan populasinya,” ucap Husain.

DODY HIDAYAT | BUDHY NURGIANTO (HALMAHERA)


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Lebah Raksasa Wallace 

Megachile Pluto


Panjang: 3,8 sentimeter (betina), 
2,3 sentimeter (jantan)

Rentang sayap: 6,35 sentimeter

Kelompok: serangga penyerbuk

Ciri: warna hitam, rahang besar mirip kumbang rusa jantan

Sarang: berasosiasi dengan rayap (Microcerotermes amboinensis)

Sumber resin: pohon dipterocarpus (Anisoptera thurifera)

Status IUCN: daftar merah – rentan (vulnerable)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus