Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPASANG janur kuning dipasang melengkung seperti gapura yang mengapit gerbang terali besi. Pada Sabtu malam, 24 September lalu, itu, sekitar 40 tamu berkumpul di kantor pusat kebudayaan Jerman, Goethe-Institut Bandung. Mereka diundang secara terbatas untuk menyaksikan pernikahan fiktif Tina Kosasih dan Joi Rumengan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimulai pukul 19.00 WIB, pembawa acara menyambut para tamu di pelataran parkir. Tempat itu disulap meriah oleh pancaran lampu warna-warni. Pun tirai rumbai tali plastik yang ditata membentuk ruang dan atap sedari pintu masuk. Namun kesan semarak itu kontras dengan suasana pelaminan. Tempat itu hanya diisi dua kursi tanpa sandaran punggung yang diapit sepasang janur kuning pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosesi mendekat. Seorang lelaki berambut gondrong sambil meniup klarinet berjalan untuk menjemput dan mengantar pengantin. Dari arah belakang, muncul Tegar Pratama yang membawa sepatu wanita berwarna putih. Sementara itu, Suina Latersia, yang berada di samping Tegar dan berkacamata hitam, membawa sepatu lelaki berwarna hitam. Sesuatu yang ganjil mulai terasa.
Setiba di pelaminan, Tegar dan Suina meletakkan dua pasang sepatu itu berdampingan di lantai. Mereka lalu seolah-olah memberi selamat kepada mempelai seperti umumnya dalam acara resepsi. Setelah itu disambung pidato sambutan dari tuan rumah. Pembawa acara menyilakan para tamu untuk bersalaman dengan pengantin yang “gaib” tersebut. “Kirain beneran ada pengantinnya,” kata Dania, seorang tamu yang keheranan.
Tanpa menggunakan selop mempelai yang lazimnya seragam dari tempat penyewaan, Joi diwakili oleh sepatu bot pendek, sementara Tina oleh sepatu hak bertali. Tanpa satu pun gambar atau foto pengantin, sosok keduanya hanya muncul dalam imajinasi hadirin. Pembawa acara kemudian meminta para tamu menuliskan ucapan kepada Tina dan Joi pada layang-layang yang dibagikan. Setelah dikumpulkan, tulisan itu dibaca satu per satu secara bergantian oleh dua lelaki bertopeng superhero sambil marah-marah. Mereka mengaku sebagai mantan kekasih Tina.
Setelah keduanya puas berteriak-teriak karena kecewa, lalu melempar dan menyobek layangan dengan pukulan, pembawa acara memanggil tamu undangan untuk berfoto bareng mengapit pelaminan. Acara selanjutnya adalah pertunjukan dari sekelompok seniman yang berjudul Momang, lalu hadirin dipersilakan mencicipi hidangan pesta yang bercita rasa kuliner khas Manado.
Acara pernikahan yang ajaib itu merupakan lanjutan kisah dari cerita pendek karangan Tegar Pratama dan Suina Latersia yang berjudul “Tina Kosasih & Joi Rumengan”. Penulisannya dilakukan secara estafet atau disambung bergantian yang dimulai oleh Tegar sejak Maret hingga akhir April lalu. “Kami respons tulisan satu sama lain,” kata Tegar, Jumat, 23 September lalu. Tegar dan Suina saling mengenal saat ikut Kotaton, sebuah program yang diinisiasi Goethe-Institut Bandung dan Rakarsa Foundation pada 2021. Tujuannya untuk memperkuat kolaborasi interdisipliner serta penciptaan koneksi artistik dan aktivis baru di Bandung. Menurut Direktur Goethe-Institut Bandung Caroline Brendel, pihaknya berusaha mendukung seniman dan ide-ide baru yang muncul dengan memberikan ruang. “Kami senang menjadi tuan rumah proyek kreatif dan eksperimental oleh mantan peserta Kotaton,” ujarnya.
Dalam cerita pendek sepanjang 13 halaman itu, awalnya mereka mengisahkan seorang perempuan bernama Tina Kosasih yang berprofesi penyiar sebuah stasiun radio di Jakarta. Joi Rumengan, kekasihnya selama sepuluh tahun sejak masa kuliah, juga bekerja di stasiun radio itu sebagai sound engineer. Selain itu, mereka mengelola toko herbal bersama yang dinamakan Always Joi and Tina dengan plang bercat merah dan putih. Setelah mengalami konflik, Joi melamar Tina untuk menikah. “Habis itu aku ajak Tegar bagaimana kalau kita bikin pernikahan fiktif dari kelanjutan cerita pendek tersebut,” kata Suina, Sabtu malam, 24 September lalu.
Ide itu lalu digarap keduanya sambil menggaet beberapa teman seniman menggelar pernikahan Tina dan Joi. Mereka diminta berkarya setelah menginterpretasikan cerita pendek Tegar-Suina. Dea Widya, misalnya, membuat karya instalasi rumbai tirai plastik. “Inspirasinya dari hiasan layang-layang,” tutur arsitek, seniman, dan dosen di Bandung itu. Kemudian ada Kristi Muliagan Robot dan kawan-kawan yang menampilkan tarian adat.
Seniman lain yang terlibat adalah Agung Yandistira, Ari Nugraha, Andhika Y. Prakasa, Dhimasvani Erwin, dan Cisya Paramita. Karya seni rupa dan musik yang menjadi semacam hadiah bagi mempelai dipamerkan di ruang perpustakaan Goethe-Institut Bandung sejak 26 September hingga 1 Oktober 2022. Artefak resepsi pun masih dipertahankan hingga akhir acara. “Selama dua minggu ini kami mengambil alih tempat,” ujar Tegar.
Pertunjukan ini sesungguhnya hendak mengkritik hajatan pernikahan di mana-mana yang sering mengambil ruang publik, seperti menutup jalan. Lokasinya dari gang kecil sampai jalan raya. Tadinya mereka ingin melakukan hal serupa dengan menggelar pernikahan fiktif Joi dan Tina di lingkungan rumah warga. Setelah ide itu batal dieksekusi karena berbagai pertimbangan, mereka menyasar kantor Goethe-Institut Bandung. Akibatnya untuk sementara kantor Goethe tersamarkan sebagai tempat pernikahan. Kendaraan anggota staf Goethe pun tidak bisa lagi parkir di halaman, melainkan di tempat lain selama dua pekan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo