Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PHILIPPE Pirotte adalah seorang kurator seni asal Belgia dan mantan pengajar di Staatliche Hochschule für Bildende Künste Städelschule, Frankfurt, Jerman. Ia adalah anggota Documenta Finding Commission dan badan penasihatnya bersama Ute Meta Bauer, Charles Esche, Amar Kanwar, Frances Morris, Gabi Ngcobo, Elvira Dyangani Ose, dan Jochen Volz. Ini adalah komisi yang menunjuk Ruangrupa (RuRu) sebagai direktur artistik bagi Documenta 15 pada Februari 2019.
Di bawah ini adalah petikan pembicaraan koresponden Tempo di Berlin, Nelden Djakababa Gericke, dengan Philippe Pirotte pada Ahad, 18 September lalu, di Kassel, Jerman. Wawancara dilakukan setelah seusai Pirotte memoderatori diskusi panel bertajuk “Oops!.... Petruk Did It Again: A Conversation about Mobilising Image and Mobilised Image” (Oops!.... Petruk Ngaco lagi: Sebuah Perbincangan tentang Mobilisasi Rupa dan Rupa yang Termobilisasi) bersama beberapa seniman anggota Lumbung: Taring Padi, Kiri Dalena (Filipina), dan Richard Bell (Australia). Ada pula Marianne Dautrey, penerjemah serta pengamat kritis Documenta 15, dan sejarawan Ulrich Schneider.
Judul diskusi panel tersebut merujuk pada tuduhan antisemitisme terhadap Taring Padi beberapa minggu lalu, ketika seorang pengunjung paviliun Taring Padi melihat figur mirip Petruk berkopiah (dengan hidung panjang khas Petruk) digambarkan melakukan korupsi. Ini kemudian diinterpretasikan, sekali lagi, sebagai gambaran penghinaan terhadap kaum Yahudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cukup banyak audiens peserta diskusi yang mengungkapkan bahwa perbincangan seperti ini seharusnya dilaksanakan jauh lebih awal daripada sekarang, ketika Documenta baru dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, (pihak manajemen Documenta) sulit memahami bagaimana Ruangrupa akan menjalankan strategi komunikasi mereka. Rencana awal RuRu, mereka mempersiapkan Documenta dengan melaksanakan pertemuan pers seminggu sekali dengan pendekatan versi nongkrong. Tapi (manajemen) Documenta menginginkan komunikasi dengan pers berada di tangan mereka. Jadi rencana RuRu ini tidak mereka izinkan.
Sebagai seorang kurator dengan pengalaman di berbagai bienial, pameran, dan festival seni di berbagai penjuru dunia, para kurator kerap hanya diizinkan menjadi content provider dan kekuasaan struktur-struktur yang sudah ada diasumsikan tetap sama. Namun, makin lama, para kurator juga ingin memikirkan ulang struktur-struktur ini.
RuRu telah menaruh upaya maksimum dalam mengubah sistem. Mereka sesungguhnya memiliki metode yang sangat masuk akal untuk melakukan itu. Dalam Documenta, mereka mencoba membangun sebuah struktur yang berakar dari konsep nongkrong, yang merupakan sebuah kebiasaan berbasis lisan. Kita bisa melihat, misalnya, ketika tuduhan antisemitisme mulai dilontarkan terhadap mereka, RuRu menanggapi dengan menjadwalkan “We Need to Talk” (sebuah diskusi panel yang seharusnya berlangsung pada Mei lalu). Mereka berusaha menciptakan ruang bagi semua pihak terkait untuk berbincang secara terbuka, dan struktur akan terbangun dari obrolan tersebut. Ini kontras dengan perbincangan di ranah hukum dan format komunikasi lain ketika terdapat sebuah struktur yang ketat saat pembicaraan berlangsung. Ini perbedaan besar. Kemudian pihak-pihak terkait menolak untuk hadir atau membatalkan partisipasi mereka. Pada dasarnya, tawaran perbincangan tersebut disabotase.
Ketika masalah ini (tuduhan antisemitisme terhadap dua sosok dalam banner Taring Padi pada awal Documenta Juni lalu) terjadi, para jurnalis tidak ingin berbincang. Yang mereka inginkan adalah menempatkan para kurator dalam kondisi mereka bertekuk lutut dan meminta maaf. Tanpa diskusi. Singkatnya, yang mereka inginkan adalah agar RuRu dan para seniman anggota Lumbung hanya murni membawa karya mereka, tanpa konteks mereka, dan tanpa mengisahkan siapa mereka. Dan lagi, para jurnalis ini adalah kelompok yang tidak sabar. Mereka hanya tertarik pada hal-hal yang dapat mereka tulis lalu diterbitkan secara cepat.
RuRu telah membawa sebuah budaya bekerja secara komunitas, yang sesungguhnya bukan hanya pendekatan dari Indonesia. Ini juga cara khas dari banyak kolektif peserta Documenta kali ini. Di sinilah letak kegagalan komunikasi antara mereka dan manajemen Documenta.
Ketika seniman asal Jerman, Hito Steyerl, menarik karyanya dari Documenta, salah satu yang ia protes, menurut dia, Documenta tidak mengambil langkah-langkah yang seharusnya untuk mencegah adanya karya seni yang bermasalah (merujuk pada “People’s Justice” milik Taring Padi). Sebab, karya tersebut tidak mengindahkan “konteks Jerman”, seolah-olah “konteks Jerman” itu tunggal semata. Kenyataannya, konteks lokal harus diperhitungkan dalam banyak sisi. Ada banyak sekali komunitas diaspora yang hidup di Jerman, dan ada banyak migran dari berbagai generasi. Perspektif seperti (Steyerl) itu hanya alasan sempurna supaya mereka tidak perlu melihat dirinya sendiri sebagai kekuatan kolonial.
Bagaimana Anda melihat Documenta ke depan?
Dalam audiens, kita melihat ada banyak orang yang menolak didikte oleh media tentang apa yang harus mereka pikirkan. Hari ini, kita melihat anggota masyarakat biasa yang datang untuk mendengarkan langsung dan belajar secara mandiri. Mereka adalah orang-orang yang tidak takut menapak ke luar zona nyaman mereka.
Hal pertama yang akan terjadi sesudah ini adalah di Jerman akan terjadi backlash yang sangat besar. Ranah politik akan mendorong kuasa yang jauh lebih besar ke dalam ranah seni. Hal ini mungkin akan paling terlihat pada Documenta 16. Lalu tentunya akan ada reaksi publik yang menentang hal itu.
Kecenderungan ini sesungguhnya sudah mulai terlihat pada Documenta 14, ketika sudah ada upaya-upaya untuk mendiskreditkan proses-proses emansipatoris. Cara banyak orang Jerman berpikir cukup sejalan dengan Hegel. Misalnya bahwa “seluruh dunia berfungsi dalam dialektika”. Maka ketika sesuatu dilihat berada di luar dialektika tersebut, hal itu dianggap berbahaya atau liar.
Soal keberlanjutan gagasan RuRu di Documenta 15 bagaimana?
Ya, kita harus menjadi bagian dari perubahan itu supaya memiliki harapan akan perubahan. Hal ini paralel dengan keberlanjutan Lumbung dalam Documenta 15 menuju Lumbung 2, yang akan berkembang lebih lanjut di luar Documenta.
Soal lain, pada saat ini, Anda sedang mempersiapkan sebuah pameran mengenai Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung dan pameran ini akan digelar di Berlin pada 2023. Dari semua kemungkinan lokasi, apa relevansi menggelar pameran tentang KAA 1955 di Berlin?
Berlin adalah kota tempat didirikannya Liga Gegen Imperialismus (Liga Anti-Imperialisme) pada 1925 oleh Willi Münzenberg, seorang politikus Yahudi-Jerman, yang sayangnya kemudian ditangkap di Prancis oleh Nazi pada Perang Dunia II. Para anggota Liga ini antara lain Jawaharlal Nehru, Albert Einstein, dan Mohammad Hatta. Ketika Liga Gegen Imperialismus melaksanakan kongres pertama di Brussels, Belgia, pada 1927, Hatta hadir bersama 13 pemuda lain mewakili Perhimpoenan Indonesia. Mereka dapat datang dengan delegasi sebesar itu karena pada waktu itu mereka semua sedang menuntut ilmu di Belanda. Kongres Liga yang kedua berlangsung pada 1929 di Frankfurt, Jerman. Presiden Sukarno pernah secara spesifik merujuk pada Kongres 1927 di Brussels sebagai salah satu inspirasi yang penting bagi Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung.
Dalam pameran yang akan berlangsung di Berlin ini, kami juga akan menampilkan, antara lain, karya Hörspiel (drama radio) oleh komposer Oliver Augst, yang menganyam teks-teks dari Liga Gegen Imperialismus ke dalam suatu pengalaman suara. Karya ini akan diproduksi oleh Mousonturm dari Frankfurt.
Apa tujuan Anda membawa tema ini kepada publik di Berlin?
Saya ingin memperkenalkan kembali kepada publik di sana mengenai bagian sejarah Jerman ini, yang mungkin belum banyak diketahui orang. Dalam hal dokumentasi tentang Liga, ada sedikit sekali materi fotografi yang masih bisa dilihat sekarang. Namun ada lebih banyak yang berbentuk teks. Sebagian besar dari materi dokumentasi ini tersimpan dalam arsip-arsip di Amsterdam, Belanda.
Salah satu cara membaca Liga ini adalah bahwa mereka menjalankan suatu cara berorganisasi secara kolektif. Sistem-sistem organisasional Jerman seperti kebun-kebun kolektif dan perumahan kolektif yang masih dipraktikkan hingga kini, misalnya, juga dimulai pada masa yang sama ketika Liga didirikan, yaitu pada akhir masa Republik Weimar.
Jadi, singkatnya, praksis-praksis kolektif sesungguhnya bukan konsep yang sangat asing bagi masyarakat Jerman. Kami hendak mengkaitkan hal ini dengan Konferensi Asia-Afrika di Bandung sebagai titik pijar momen-momen sejarah yang penting sebelum dan sesudahnya. Kami ingin mengafirmasi kerja sejarah tersebut. Akan menarik untuk melihat bagaimana semangat Bandung berlanjut hidup. Sebenarnya, kadang saya berkelakar bahwa saya melihat Konferensi Asia-Afrika sebagai prekuel dari Lumbung, sebagaimana yang kita alami di Documenta ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo