Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dari Pemburu Konser Menjadi Promotor Musik

Anas Alimi sukses menjadi promotor musik Prambanan Jazz dan Jogjarockarta. Siapa dia?

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebelum berkiprah di industri musik, Anas mendirikan penerbitan buku dan menjadi wartawan.

  • Prambanan Jazz Festival terinspirasi konser penyanyi tenor asal Italia, Andrea Bocelli, di Tuscany pada 2008.

  • Anas turut terlibat dalam pembentukan dan konser awal grup Trio Lestari yang beranggotakan Glenn Fredly, Tompi, dan Sandhy Sondoro.

NAMA Anas Syahrul Alimi boleh dibilang tak bisa dipisahkan dari Prambanan Jazz dan Jogjarockarta. Pria 46 tahun ini adalah sosok di balik kelahiran dan kesuksesan dua festival musik tahunan yang mengambil latar kawasan di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut. Prambanan Jazz digelar di kompleks Candi Prambanan, sementara Jogjarockarta mengambil sejumlah lokasi di Yogyakarta sebagai tempat konser.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Popularitas kedua festival itu sejajar dengan sejumlah konser musik besar di Jakarta dan kota lain, seperti Java Jazz Festival, Soundrenaline, dan Djakarta Warehouse Project. Dua pergelaran musik di Yogyakarta itu pun kerap memboyong penyanyi solo atau band terkenal mancanegara ke line-up penampilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anas Alimi juga menjadi promotor puluhan konser promosi dan tur tahunan sejumlah musikus lokal hingga internasional. Dalam sewindu terakhir, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini memang menjelma menjadi salah satu promotor musik ternama melalui perusahaan event organizer miliknya, PT Rajawali Indonesia Communication. 

Musikus dan band dunia yang pernah Anas boyong untuk menggelar konser musik di Indonesia antara lain diva Amerika Serikat, Mariah Carey; saksofonis Amerika, Kenneth Bruce Gorelick atau Kenny G; Boyz II Men; Sarah Brightman; Boyzone; Calum Scott; Megadeth; Extreme; Scorpion; Whitesnake; dan yang teranyar, Dream Theater.

Tempo berkesempatan berbincang dengan Anas di lobi Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Selasa, 13 September lalu. Saat itu dia tengah berkumpul dengan sejumlah kolega untuk menyiapkan rencana konser musik tahun baru 2023. Informasi tentang tema dan lokasinya belum bisa disampaikan.

“Tak pernah berpikir akan menjadi promotor musik. Saya itu, sejak muda, adalah pemburu konser. Terutama yang gratis. Jadi konser musik apa pun saya datangi,” kata Anas.

Pengalaman berburu konser tersebut kemudian membuka cakrawalanya dalam dunia pertunjukan musik. Anas mulai memiliki pengetahuan dan referensi tentang cara menggelar konser musik. Dia perlahan mampu menilai bagaimana konsep sebuah pertunjukan musik yang berjalan baik, dari tata panggung, tata lampu, tata suara, hingga penentuan lokasi. Dia pun mulai membangun mimpi tentang bagaimana suatu konser musik yang ideal menurut dirinya.

“Memang bawel. Suka menilai, kok, panggungnya seperti ini. Mungkin kalau lampunya pakai jenis ini akan lebih keren, dan lainnya,” ujarnya.

Hobinya berburu konser turut menyemai ide pembuatan Prambanan Jazz Festival yang mengambil latar bangunan candi Hindu terbesar di Indonesia tersebut. Anas mengaku sangat terpukau ketika menyaksikan konser penyanyi tenor Italia, Andrea Bocelli, di Tuscany, Italia, pada 2008. Saat itu panitia menggunakan backdrop berupa batu-batu putih yang disusun bertumpuk menjadi undakan tinggi. Mendadak sontak Anas langsung ingat akan bangunan Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

•••

ANAS Syahrul Alimi berkisah, debut pertunjukan musiknya sebenarnya tercatat jauh sebelum PT Rajawali Indonesia Communication berdiri. Saat itu, dengan tim yang belum lengkap dan masih sangat minim pengalaman, dia mengajak penyanyi berdarah Ambon, Glenn Fredly, yang tengah populer lewat lagu “Januari”, untuk menggelar konser promosi single album Selamat Pagi Dunia di Cafe The Club, Sleman, pada 2002. Semua tiket terjual, menyisakan puluhan penggemar yang tak bisa masuk di sekeliling lokasi acara.

Kisah sukses ini tak membuat Anas langsung menekuni bidang musik. Dia tetap mengembangkan usaha penerbitan hingga bisnisnya tersebut gulung tikar pada 2004. Dia lantas menggelar konser musikus Agnes Monica pada 2005 dan Glenn featuring Teuku Adifitrian alias Tompi pada 2006. Perjalanan karier barunya ini tak mulus. Dua konser tersebut berakhir dengan kerugian.

Anas pun mencari sejumlah cara agar penjualan tiket konser musiknya mencapai target. Dia lantas memutuskan menggelar konser khusus penyanyi pria yang lagu-lagunya digandrungi perempuan. Menurut dia, sebagian besar penonton perempuan biasa datang ke konser bersama keluarga, pasangan, atau teman. Penjualan tiket menjadi lebih mudah.

Hal ini juga yang menjadi awal pembentukan dan tur konser Trio Lestari yang beranggotakan Glenn, Tompi, dan Sandhy Sondoro di 12 kota pada 2014. “Tiket sold out pada H-sebulan. Padahal promonya cuma pakai Twitter,” tutur Anas.

Setelah tur konser itu sukses, Anas membentuk divisi promotor musik di tubuh Rajawali Indonesia. Mereka kemudian bekerja sama dengan sebuah hotel bintang lima untuk menggelar konser yang mendatangkan penyanyi atau grup musik dari luar negeri.

Namun kerja sama ini berjalan lancar hanya saat mereka memboyong band soft rock Australia, Air Supply, pada Maret 2015. Kerja sama kedua dengan bintang Kenny G mendapat kendala. Pengelola hotel tiba-tiba membatalkan rencana tiga bulan sebelum perhelatan. Padahal urusan kontrak dan pembayaran kepada saksofonis tersebut telah selesai.

Anas kemudian teringat akan konser Andrea Bocelli. Dia pergi ke Candi Prambanan. Selama dua-tiga jam dia memasang headset dan memutar lagu-lagu Kenny G. Dia membayangkan bagaimana aura lantunan musik saksofon menggema di pelataran candi yang megah itu. Ini adalah awal lahirnya Prambanan Jazz Festival.

Meski waktunya mepet, Anas berhasil memasarkan pergelaran festival perdana tersebut. Dia berhasil menjual lebih dari 6.000 tiket dari target penjualan hanya 2.500 tiket. Bahkan festival tahunan itu terus berkembang dari hanya digelar satu hari menjadi tiga hari. Jumlah penontonnya pun menembus 75 ribu orang pada 2018-2019. “Kami sedang menyiapkan konsep (Prambanan Jazz) yang lebih fresh pada 2023,” ujar Anas.

CEO Rajawali Indonesia Communication, Anas Syahrul Alimi menjelang konser Prambanan Jazz 2018. Dok. Pribadi

Selain mencetuskan perhelatan Prambanan Jazz, Anas menginisiasi Jogjarockarta Festival pada September 2017. Pertunjukan tahunan ini menjadi wadah berbagai aliran musik cadas, dari slow rock hingga new metal. Dia menjelaskan, festival tersebut mengadaptasi sejumlah event mancanegara, seperti Glastonbury Festival dan British Summer Time Festival di Inggris, Coachella di Amerika Serikat, dan Fujirock di Jepang.

Lokasi konser kerap berpindah. Edisi awal Jogjarockarta rencananya menampilkan Dream Theater di pelataran Candi Prambanan. Namun, menjelang hari-H, rencana itu mendapat penolakan dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia yang khawatir terhadap efek musik keras pada kondisi candi. “Mereka mengira ini band underground. Padahal rock progresif,” ucap Anas.

Anas kemudian memindahkan tempat konser ke Stadion Kridosono, Kotabaru, Yogyakarta, hanya dalam waktu 20 jam. Tahun ini, Jogjarockarta yang menampilkan puluhan band cadas kembali berpindah lokasi, yakni di Tebing Breksi, Sleman. Awalnya, dalam perhelatan yang digelar pada 24-25 September 2022 ini, Rajawali Indonesia akan mendatangkan grup rock modern asal Amerika Serikat, Hoobastank, sebagai penampil utama. Namun band yang populer melalui lagu “The Reason” tersebut batal datang karena gitarisnya, Dan Estrin, mengalami cedera patah kaki menjelang keberangkatan ke Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, penyelenggara hanya memastikan pengisi slot penampilan Hoobastank adalah band rock dalam negeri.

•••

USAHA memboyong penyanyi atau grup musik mancanegara ke Indonesia bukan hal mudah. Anas Syahrul Alimi berbagi beberapa cerita tentang kesulitannya memenuhi sejumlah syarat dan permintaan manajemen atau artis luar negeri kenamaan. Salah satunya saat Borobudur Symphony yang menampilkan diva Amerika Serikat, Mariah Carey, digelar pada November 2018.

Anas mengungkapkan, Rajawali Indonesia harus merogoh kantong cukup dalam untuk memenuhi patokan tarif manggung pelantun “Without You” tersebut. Selain itu, Carey meminta penyediaan fasilitas khusus dengan spesifikasi tertentu. Salah satunya tempat transit konser yang serupa rumah lengkap dengan sejumlah furnitur, seperti sofa, kasur, penyejuk udara, dan toilet. Bahkan panitia harus mengeluarkan Rp 25 juta untuk menyewa fasilitas toilet yang sesuai dengan keinginan penyanyi tersebut. “Tiga bulan kami menyiapkan semuanya. Termasuk fasilitas serupa rumah di backstage Candi Borobudur,” kata Anas.

Bukan hanya itu, Anas pun harus putar otak saat Carey tiba-tiba ingin mendarat di Bandar Udara Adisutjipto, Sleman, pada 02.30 WIB. Artis tersebut memaksa terbang dengan pesawat jet pribadinya dari Singapura ke Indonesia pada dinihari. Bahkan dia mengancam akan membatalkan rencana konser jika keinginannya tak bisa dipenuhi.

Anas mengatakan bandara tersebut berada di bawah kendali Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Jadwal mendarat Carey juga di luar waktu operasional bandara. Pengaktifan bandara pun membutuhkan waktu dan daya karena melibatkan pengoperasian landasan hingga radar. Di sisi lain, sekitar 7.000 tiket konsernya yang dibanderol dengan harga Rp 1-15 juta per lembar telah ludes terjual. “Untungnya saya kenal baik dengan komandan Pangkalan Udara Adisutjipto. Setelah dijelaskan, saya dibantu,” ujarnya.

Anas menuturkan, sejumlah artis asing lain juga memiliki permintaan khusus yang unik dan rumit. Dia pun sempat kewalahan memenuhi permintaan tersebut, dari kebutuhan pribadi hingga perlengkapan konser. Namun, dia melanjutkan, manajemen dan artis akan mengerti asalkan sejak awal komunikasi terjalin baik. “Jangan hanya jawab tak bisa atau tak ada. Berikan mereka alternatif solusi. Biasanya akan mau,” ucap Anas.

Boleh dibilang industri pertunjukan musik punya dinamika tersendiri. Meski sempat mati suri dihantam pandemi Covid-19, Anas memprediksi, industri pertunjukan musik di Indonesia masih akan tetap memiliki pasar besar. Sejumlah perhelatan tahunan akan tetap menjadi sasaran perburuan para penikmat konser musik. Hal ini juga yang menjadi tantangan para promotor lawas untuk terus berinovasi agar pembeli tiket tak mendapat pengalaman monoton setiap tahun.

Konser musik pun berkembang menjadi sarana pariwisata yang kuat. Selain menikmati pertunjukan musik, para penonton turut menggerakkan roda ekonomi semua industri di sekitar lokasi acara. Prambanan Jazz Festival 2019, menurut Anas Alimi, ikut menggenjot pendapatan maskapai penerbangan, perusahaan kereta api, penginapan, penyewaan kendaraan, penyedia sajian kuliner, dan perajin daerah. “Bagi saya, musik bukan lagi sebagai hobi dan usaha, tapi dukungan terhadap pemerintah dan masyarakat daerah,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus