Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Elang yang Tak Pernah Lupa Jalan Pulang

Azyumardi Azra sosok multidimensional. Ia seorang intelektual, pendidik, aktivis, sekaligus jurnalis.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Azyumardi Azra adalah sosok yang multidimensional.

  • Ia seorang intelektual, pendidik, aktivis, sekaligus jurnalis.

  • Ia seorang pekerja keras dan pembelajar yang tekun sejak belia.

BELUM hilang rasa duka lantaran kehilangan guru bangsa Profesor Doktor Syafii Ma’arif, kesedihan kita bertambah dengan berpulangnya Profesor Doktor Azyumardi Azra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama kali mendengar kabar beliau mengalami sesak napas dalam perjalanan ke Kuala Lumpur pada Jumat, 16 September 2022, saya berusaha membuang pikiran yang tidak-tidak tentang kesehatannya. Sudah lama saya mendengar kabar Azra mengidap penyakit darah tinggi, gula darah, kolesterol, dan asam urat. Ia seorang pekerja keras dan pembelajar yang tekun sejak belia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kesibukan yang padat, Azyumardi Azra selalu meluangkan waktu bangun tengah malam untuk menulis makalah atau jurnal. Sebagai intelektual publik, ia juga sangat aktif dalam banyak kegiatan sosial dan memenuhi undangan menjadi narasumber serta melayani wawancara media. Semangat Azra tak pernah lekang meski usianya telah menginjak 67 tahun. Pada akhirnya, fisiknya meminta istirahat untuk selamanya dalam perjalanan memenuhi undangan seminar di Malaysia.

Azra adalah sosok multidimensional: seorang intelektual, pendidik, aktivis, sekaligus jurnalis. Saat menjadi mahasiswa, ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Ia adalah Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta (1979-1982) dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat (1981-1982). Ia bahkan pernah merasakan dinginnya penjara Orde Baru ketika memimpin aksi demonstrasi menentang Soeharto.

Bakat intelektualnya sudah terdeteksi sejak masa kuliah. Ia juga aktif menulis opini di media massa. Bersama Komaruddin Hidayat dan Iqbal Saimima, ia sempat berkarier sebagai jurnalis Panji Masyarakat. Pada 1986, ia memperoleh beasiswa Fulbright untuk melanjutkan studi di Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah Columbia University, salah satu kampus terkemuka di Amerika Serikat. Ia mengambil pendidikan master kedua bidang sejarah di kampus yang sama dan memperoleh gelar PhD di bawah bimbingan raksasa ilmu sejarah William Roff.

Di kampus Ivy League itulah lahir disertasi yang menjadi masterpiece Azra bertajuk “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”.

Ia memakai pendekatan sejarah total untuk mengkaji jaringan ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Melalui pendekatan ini, Azra menerapkan metode totalitas secara lintas waktu, lintas kawasan, dan lintas pendekatan. Bagi dia, ulama Nusantara tidak bisa dibaca dalam konteks lokal, tapi harus dilihat dalam konteks jejaring global. Untuk itu, Azra melakukan penelitian secara intensif di berbagai kota dan perpustakaan, dari Banda Aceh, Sumatera Barat, Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Kairo, Mekah, Madinah, Leiden, New York, hingga Ithaca. 

Karya disertasinya makin dikenal di Indonesia setelah pada 1996 Mizan menerbitkannya dalam buku berbahasa Indonesia, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Pada 2004, penerbitan karyanya, The Origins of Islamic Reformism in South East Asia, Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern (Ulama) in The Seventeenth and Eighteenth Centuries, oleh Asian Studies Association of Australia, Allen & Unwin, dan Hawaii University Press makin mempertegas posisinya sebagai intelektual papan atas dunia di bidang sejarah Islam.

Azyumardi Azra bukan sekadar man of ideas, ia juga man of action. Ia bagaikan seekor elang yang terbang tinggi menjelajah dunia tapi tak pernah lupa jalan pulang ke kandang. Selepas pendidikan post-doctoral di Oxford University, Inggris, Azra membenahi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat—salah satu lembaga riset Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta—dan mengubah Studia Islamika menjadi jurnal internasional dalam kajian Islam di Asia Tenggara. Karier akademiknya yang menjulang membuat Rektor IAIN Jakarta saat itu mengangkatnya sebagai pembantu rektor bidang akademik. 

Peruntungan baiknya berlanjut ketika Quraish Shihab ditunjuk sebagai Menteri Agama pada 1998 sehingga Azra menjadi rektor di ujung kekuasaan Orde Baru. Ia memulai proyek transformasi IAIN ke UIN. Penolakan datang dari senior-senior IAIN karena khawatir UIN akan menghilangkan jati diri kampus Islam. Azra bergeming. Ia membuka jurusan dan fakultas umum, seperti kedokteran, sains dan teknologi, ekonomi dan bisnis, serta ilmu sosial dan ilmu politik. Ia mendekati lembaga-lembaga internasional dan pemerintah untuk membantu mewujudkan mimpi besarnya. “Dengan adanya UIN,” kata Azra suatu ketika, “anak-anak pesantren bisa bermimpi menjadi dokter atau insinyur. Jika tidak ada UIN, mereka akan tarung bebas ke kampus-kampus umum dengan anak-anak SMA.” 

Konversi IAIN menjadi UIN tidak sekadar terlihat dari sisi fisik. Pembangunan besar-besaran kampus UIN Jakarta diikuti dengan kurikulum baru dan infrastruktur dosen yang mumpuni. Ia tarik dosen-dosen terbaik dari kampus-kampus besar di Indonesia untuk mengajar di jurusan-jurusan umum. Ia juga menyekolahkan banyak dosen muda untuk melanjutkan studi di kampus-kampus ternama di dunia.

Rekomendasinya sering menjadi jaminan kesuksesan para pencari beasiswa dari lembaga-lembaga pemberi beasiswa dari Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Australia. Keberhasilannya menyulap IAIN menjadi UIN segera diikuti banyak kampus IAIN di Indonesia. Kini 29 UIN telah berdiri di seluruh negeri, menandai kisah sukses Azra mentransformasi sistem pendidikan tinggi di bawah Kementerian Agama. Rekam jejak kesuksesannya dalam banyak hal membuat dia dipandang bak Raja Midas dalam mitologi Yunani yang bisa mengubah apa pun menjadi emas.

Sebagai rektor, Azra juga mewajibkan mata kuliah civic education kepada mahasiswa agar mereka memahami konsep demokrasi, pendidikan kewargaan, dan hak asasi manusia. Pada masanya, mahasiswa nonmuslim juga diperbolehkan belajar di UIN Jakarta. Menjelang akhir masa jabatannya, banyak pihak yang mendorongnya maju menjadi rektor untuk ketiga kali. Alasannya, Azra baru sekali menjadi Rektor UIN Jakarta.

Pada periode pertama Azra sebagai rektor, UIN masih berstatus IAIN. Ia menolak rayuan koleganya maju menjadi rektor tiga periode dengan alasan tidak mau menyiasati aturan—pelajaran bagus bagi pemimpin mana pun agar tahu diri kapan harus berhenti. Seusai jabatannya sebagai rektor pada 2006, Azra dipilih menjadi Direktur Pascasarjana UIN Jakarta. Kiprahnya dalam mereformasi sistem pendidikan tinggi Islam berlanjut karena banyak akademikus dari UIN/IAIN/sekolah tinggi agama Islam negeri yang melanjutkan studi di Pascasarjana UIN Jakarta.

Azra bukanlah intelektual menara gading. Rekam jejaknya sebagai aktivis membuatnya tak bisa diam melihat keadaan. Ia terlibat dalam banyak kegiatan keorganisasian, termasuk sebagai Ketua Dewan Pers. Sebagai intelektual publik, ia juga melayani permintaan-permintaan wawancara dengan media mengenai isu sosial, politik, dan keagamaan. Ia bukan sosok akademikus yang mencari aman. Pembelaannya terhadap kelompok minoritas sering ditunjukkan tanpa tedeng aling-aling.

Azyumardi Azra juga percaya bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi. Meski dekat dengan kekuasaan, ia tidak canggung mengkritik pemerintah. Ia bersuara keras atas kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang merosot pada era Joko Widodo. Dalam banyak kesempatan, Azra mengingatkan tentang kebebasan sipil dan indeks demokrasi yang anjlok serta korupsi yang merajalela.

Rekam jejak akademik dan pengabdian sosialnya membuat dia diganjar banyak penghargaan. Kerajaan Inggris menganugerahkan Commander of the Order of the British Empire kepada Azra pada 2010 dan ia menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat gelar sir. Pada 2017, Kaisar Jepang menyematkan The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star. Banjir penghargaan juga datang dari dalam negeri. Ia menerima Bintang Mahaputra pada 2005 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga mendapat Sarwono Award 2017 dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai ilmuwan yang memberikan kontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kemanusiaan.

Betapapun Azra telah terbang tinggi, ia tetap pribadi yang rendah hati dan sederhana. Ia sukses membentuk komunitas epistemik di Ciputat dengan membangun budaya saintifik sekaligus arena pertukaran gagasan bagi kolega atau juniornya. Dalam rangka memperingati ulang tahun Azra yang ke-66, para sahabat dan juniornya, termasuk saya, menulis kumpulan tulisan yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas berjudul Karsa untuk Bangsa. Karena pandemi, buku itu baru sempat diluncurkan beberapa bulan lalu.

Sampul mukanya gambar Azra yang sendu. Sebagai salah satu narasumber dalam peluncuran buku, entah kenapa saya menangkap aura farewell padahal Azra saat itu masih terlihat segar-bugar. Sebelum meninggal di Malaysia, Azra sempat menghadiri acara Dewan Pers di Sumatera Barat, seakan-akan berpamitan ke tanah kelahirannya sebelum pulang ke haribaan Ilahi. Selamat jalan, Profesor Doktor Azyumardi Azra!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus