Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sajak Romo Kuntara yang dinyanyikan.
Sajak ini seperti doa mengusir kegelisahan.
Septina dan Tatyana dua di antara sejumlah orang yang memberi tafsir baru.
DAYA gugah lagu “Panyuwunan” sampai ke Jayapura. Septina Rosalina Layan, pengajar di Jurusan Musik Institut Seni dan Budaya Indonesia Tanah Papua, mengaku langsung merasa ingin ikut bernyanyi begitu mendengar sajak Romo Kuntara Wiryamartana yang dilantunkan Dimawan Krisnowo Adji. Kesan pertamanya: ia merasa lagu tersebut menyerupai sebuah lamentasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Awalnya saya mendengar lagu itu dari salah satu grup WhatsApp. Saya merasa seperti ada kekuatan baru dalam tubuh saya. Saya lalu mendengarkan lagu tersebut berulang kali sembari mengerjakan revisi tesis saya. Terdorong dari hati saya bahwa ini adalah doa yang jika diulang-ulang terus seperti vaksin yang masuk ke tubuh,” kata Septina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Septina bercerita bagaimana saat mengerjakan revisi tesis pada malam hari tiba-tiba ia tergerak menyanyikan lagu “Panyuwunan” pada pukul 03.00. “Saya merekam pakai telepon seluler. Dan itu terjadi pagi hari menjelang subuh,” tuturnya.
Septina dikenal karena keterlibatannya dalam pementasan karya Garin Nugroho, Planet-Sebuah Lament, yang dibawa berkeliling Eropa. Pertunjukan Garin ini bertumpu pada kor-kor lamentasi Indonesia timur.
Ada 14 penyanyi paduan suara dari Nusa Tenggara Timur yang dibawa Garin ke panggung. Mereka menyanyikan 10 lamentasi. Septina menciptakan tiga lamentasi berjudul “Bekai Kasasodla” (ratapan alam yang rusak), “Kababor” (ratapan samudra), dan “Ihil Sakil” (ratapan Cendrawasih). Sebagai solois, ia menyanyikan lamentasi “Yaimendo”, kidung ratapan kematian dari Papua. Septina kelahiran Merauke, tapi berdarah Tanimbar, Maluku. Ia lulusan Jurusan Komposisi Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Kini, untuk keperluan tesisnya di Pascasarjana ISI Yogyakarta, ia tengah meriset tradisi ratapan kematian suku Yaghai di Papua. “Saya sedang mengerjakan tesis tentang lamentasi kematian yang selalu dilantunkan suku Yaghai, Mappi, Papua,” ujar Septina.
Suku Yaghai menempati Kabupaten Mappi di kawasan selatan Papua. Masyarakat Yaghai tinggal di tengah hutan rawa gambut yang lebat. “Saya dari Jayapura, biasanya naik pesawat Boeing dulu ke Merauke selama satu jam. Dari Merauke terus naik pesawat Susi Air yang isinya delapan penumpang untuk ke sana,” ucap Septina. Penelitiannya bersifat antropologis. Untuk keperluan itu, ia belajar di Jurusan Antropologi Pascasarjana Universitas Cenderawasih, meskipun tidak selesai.
Menurut Septina, lamentasi adalah seruan hati terdalam kepada Tuhan agar Ia menanggapi dengan cara-Nya yang kudus, agung, dan penuh kasih atas “kehidupan” yang tidak semestinya. “Lamentasi bernuansa kesedihan, tapi merupakan penyembuhan batin. Lamentasi mengungkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan,” katanya.
Lamentasi juga merupakan sebuah panggilan kepada sesama guna memberikan kekuatan, kepedulian, kesatuan, dan persaudaraan untuk kebangkitan bersama. “Lamentasi permohonan kepada Tuhan agar Ia mendengarkan dan menanggapi apa yang kita mohon,” ucap Septina. Karena itulah, saat pertama kali mendengar lagu “Panyuwunan”, ia segera merasa ada dimensi lamentasi.
Di Jakarta, penyanyi Tatyana Soebianto pun merasa tersentuh saat mendengar “Panyuwunan”. “Saya merasa ‘doa’ itu pas kalau saya nyanyikan solo,” tuturnya. Segera setelah mendengar, ia menyanyikan sendiri “Panyuwunan”. “Setengah hari saya merekam memakai telepon seluler. Saya edit dengan aplikasi karena mau saya unggah ke Instagram,” tuturnya.
Tatyana–selain Reda Gaudiamo dan Ari Malibu—terkenal sebagai penyanyi yang mempopulerkan musikalisasi sajak-sajak Sapardi Joko Damono. Ia biasa menyanyikan sajak Sapardi dengan aransemen Ags. Arya Dipayana (almarhum) atau Umar Muslim. Bersama Reda Gaudiamo, ia membikin kelompok Dua Ibu yang khusus menyanyikan sajak Sapardi dan menghasilkan album berjudul Gadis Kecil pada 2005.
Tatyana Soebianto. Dok. Pribadi
Dalam album itu terdapat sebelas sajak Sapardi, di antaranya “Nokturno”, “Hatiku Selembar Daun”, “Aku Ingin”, “Ketika Jari-jari Tangan Terbuka”, “Gadis Kecil”, “Dalam Diriku”, “Hutan Kelabu dalam Hujan”, dan “Dalam Bis”. “Namun, setelah Pak Sapardi wafat, saya belum menyanyikan sajaknya lagi. Sebelum Pak Sapardi meninggal pun saya menyanyi hanya kalau diminta beliau,” ujar Tatyana.
Lama tak menyanyikan sajak, ia tergugah saat mendengar “Panyuwunan”. “Pertama kali mendengar saya menangis. Saya teringat cucu saya,” kata Tatyana.
Tatyana memiliki dua cucu yang masih kecil. “Boleh dibilang selama masa pandemi ini doa saya hanya untuk cucu. Hidup dalam kekhawatiran, kegelisahan, ketakutan selama hampir dua tahun ini, saya selalu teringat cucu.”
Bagi Tatyana, lagu “Panyuwunan” bagai sebuah doa. Ia membuat sebuah klip video berisi kompilasi foto cucunya yang kemudian diisi dengan suaranya yang menyanyikan lagu itu. “Saya menyanyikannya karena tidak ingin terjadi apa-apa pada mereka. Mana belum ada vaksin buat anak balita, kan” tuturnya.
Ia mengakui baru pertama kali melantunkan geguritan Jawa. “Saya tak tahu apakah geguritan pernah dinyanyikan seperti ini,” ucapnya. Selain menyanyikan sajak Sapardi, ia pernah melantunkan sajak-sajak W.S. Rendra.
Tatyana mengungkapkan, bila tidak ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, dia hendak bertemu dengan Umar Muslim. Umar selama ini banyak membantunya membuatkan aransemen sajak Sapardi. “Minta dia bikin aransemen gitar ‘Panyuwunan’,” ucapnya. “Karena tak bisa, untuk sementara aransemenku sendiri dulu.”
Tampaknya akan makin banyak yang tertarik melantunkan “Panyuwunan”. “Kami mengundang terbuka, siapa pun boleh menyanyikan ‘Panyuwunan’ dan mengirim videonya ke kami,” kata Samuel Indratma, yang bersama Romo Gregorius Budi Subanar SJ mencetuskan gagasan musikalisasi sajak karya Romo Kuntara lewat Sraddha—Jalan Mulia Art Project.
Sraddha menyiapkan sebuah situs yang berisi petunjuk partitur not angka ataupun not balok “Panyuwunan” baik untuk lantunan single maupun kor. Situs itu juga akan menyediakan iringan musik bagi mereka yang hanya ingin take vocal. “Tidak perlu copyrights untuk menyanyikan ‘Panyuwunan’,” kata Romo Banar—panggilan akrab Romo Budi Subanar.
Menurut Romo Banar, gerakan ini adalah sebuah laboratorium bagi partisipasi masyarakat. “Bahkan menyumbang siul ‘Panyuwunan’ pun tak jadi masalah. Silakan kirim,” tutur Samuel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo