Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Terjerat Sabu Elite Jakarta

Polisi menangkap pasangan selebritas Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie karena diduga mengonsumsi sabu. Jaringan penyuplainya mungkin terkoneksi dengan jaringan narkotik internasional. Keluarga meminta rehabilitasi.

 

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pihak keluarga Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie diduga meminta polisi agar menetapkan proses rehabilitasi dan menghentikan proses hukum.

  • Polisi menerima informasi ada artis yang menggunakan sabu dari jaringan narkotik yang sebelumnya sudah diungkap.

  • Nia diduga memerintahkan sopirnya membeli sabu.

SEORANG laki-laki mendatangi kantor Kepolisian Resor Jakarta Pusat di kawasan Kemayoran pada Kamis pagi, 8 Juli lalu. Malam sebelumnya polisi menangkap selebritas Nia Ramadhani di rumahnya di Jakarta Selatan karena diduga mengonsumsi narkotik jenis sabu. Beberapa jam kemudian suaminya, pengusaha Ardi Bakrie, menyusul. Keduanya berada dalam sel.

Kepada polisi yang berjaga, laki-laki setengah baya itu mengatakan ingin menemui pimpinan Polres Jakarta Pusat. Wakil Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Setyo Koes Hariyanto yang menyambutnya. Kepada Setyo, laki-laki itu mengaku kerabat pasangan Nia-Ardi. “Ada permintaan agar Ardi tak menjalani proses hukum,” ujar Setyo pada Rabu, 14 Juli lalu.

Kepada Setyo, laki-laki itu mempertanyakan alasan polisi menahan Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. Ia berusaha meyakinkan Setyo bahwa menantu dan anak bungsu politikus senior Partai Golkar Aburizal Bakrie ini hanya pemakai sabu. Itu sebabnya, ia meminta polisi membawa Nia dan Ardi ke tempat rehabilitasi pecandu narkotik, bukan menahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa laki-laki ini? Setyo tak mau mengungkap identitasnya. Ia mengatakan Kepolisian Resor Jakarta Pusat menolak permintaan itu. Proses hukum, kata dia, tetap berjalan meski ada upaya rehabilitasi.

Polisi berencana menjerat Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie dengan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. Pasal ini mengancam pemilik atau pengguna narkotik dengan hukuman maksimal empat tahun penjara atau menjalani rehabilitasi. “Putusan soal rehabilitasi akan ditentukan pengadilan,” ucap Setyo.

Untuk mengorek identitas “pelobi” itu, Tempo mengontak polisi lain. Ia sedikit membuka ancar-ancar bahwa laki-laki setengah baya tersebut adalah seorang “politikus partai besar sekaligus pengusaha”. Ini identitas yang umum. Sekarang hampir semua politikus adalah pengusaha atau hampir semua pengusaha berpengaruh adalah politikus.

Ketika lobi dan profilnya dimintai konfirmasi kepada Wa Ode Nur Zainab, yang ditunjuk menjadi pengacara Nia dan Ardi, ia malah membantahnya. Namun ia membenarkan bahwa pihaknya meminta polisi merehabilitasi Nia dan Ardi, tanpa perlu menahan dan menjadikan mereka tersangka narkotik. “Karena sudah diatur dalam undang-undang,” katanya. 

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPOLISIAN Resor Jakarta Pusat menangkap Nia, 31 tahun, di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Satuan Reserse Narkoba mendatangi rumahnya karena mendapatkan nama Nia seusai menangkap ZN. Laki-laki gempal ini membeli satu klip sabu seberat 0,78 gram dari seorang pengedar di trotoar jalan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. 

Menurut Setyo, ZN masuk radar polisi karena sedang menelusuri jaringan perdagangan narkotik yang dikendalikan bandar yang kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten. Nah, pengedar yang menjual sabu kepada ZN mendapatkan sabu dari jaringan penjara Tangerang ini.

Transaksi itu, menurut Setyo, tak dilakukan secara tatap muka. ZN mentransfer uangnya lalu mengikuti instruksi pengedar yang akan menaruh sabu itu di pinggir jalan. Ketika ZN hendak mengambil serbuk itu, polisi membekuknya. Ia tak bisa berkelit karena sabu berada di dalam genggamannya.

Ketika menggeledah dan memeriksa telepon seluler ZN untuk mengecek percakapan dengan pengedar itu, polisi menemukan nama Nia Ramadhani. Rupanya, sabu itu adalah pesanan Nia. ZN tak lain adalah sopirnya. Berbekal percakapan itu, serombongan polisi mendatangi rumah Nia di Jakarta Selatan.

Barang bukti berupa bong milik Nia Ramadhani saat konferensi pers di Polres Jakarta Pusat, 8 Juli 2021. /TEMPO/STR/Nurdiansah

Di rumah Nia, polisi menemukan bong, alat isap sabu. Kepada polisi, Nia mengakui bong itu miliknya. Setyo Koes Hariyanto mengatakan, dari laporan anak buahnya, Nia juga mengakui mengisap sabu bersama suaminya, Ardi Bakrie, pada pagi sebelum penangkapan.

Polisi lalu memboyong ZN dan Nia ke markas Polres Jakarta Pusat. Dalam pemeriksaan lanjutan, penyidik Satuan Reserse Narkoba meminta Nia menghubungi Ardi agar datang ke kantor polisi. Rupanya, Anindra Ardiansyah Bakrie, nama lengkap Ardi, tak sedang memegang telepon. Beberapa kali panggilan tak terjawab.

Ternyata, menurut pengakuan Ardi, ia sedang bermain golf. Ardi akhirnya mendatangi markas polres setelah berhasil terhubung. “Mungkin dia sempat galau,” ujar Setyo.

Wa Ode Nur Zainab mengatakan Nia dan Ardi bersikap kooperatif selama penyidikan. Keduanya mengakui kesalahan dan tidak berusaha memanfaatkan pengaruh keluarganya untuk membelokkan proses hukum. Meski begitu, Wa Ode menilai proses hukum dalam kasus itu tidak tepat. “Norma bagi para pengguna narkotik dalam undang-undang adalah rehabilitasi,” katanya, mengulang permintaannya kepada polisi. “Mereka harus dibedakan dengan bandar.” 

Wa Ode juga memprotes perlakuan polisi yang merilis penangkapan kliennya dengan kawalan personel bersenjata laras panjang pada Sabtu sore, 10 Juli lalu. Menurut dia, pola penanganan itu hanya pantas dilakukan bagi pelaku tindak kriminal terorisme. Konferensi pers yang digelar untuk kedua kalinya itu menghadirkan Nia, Ardi, dan ZN dengan seragam tahanan berwarna merah.

Selama rilis berlangsung, Nia yang memakai manset hitam untuk menutupi lengan, bermasker, dan mengenakan topi itu menunduk selama diminta berbicara dan berada dalam sorotan kamera televisi. “Saya meminta maaf. Saya seharusnya memberi contoh yang bagi anak dan orang sekitar,” ujarnya dalam acara konferensi pers itu.

Juru bicara keluarga Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, mengakui telah mengajukan permintaan agar Nia dan Ardi direhabilitasi. “Mengingat keduanya adalah korban, keluarga memohon untuk bisa diberikan layanan kesehatan sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ucapnya seusai menyambangi markas Polres Jakarta Pusat, Jumat, 9 Juli lalu. “Pak Ical (panggilan Aburizal Bakrie) menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah cobaan.” 

•••

PENANGKAPAN Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie ini sebetulnya ekor penelusuran polisi dari operasi narkotik pada awal Juni lalu. Kala itu, Kepolisian Resor Jakarta Pusat menyita sekitar 22,8 kilogram narkotik jenis sabu di Jakarta Utara. Dari penelusuran penyidik, jaringan pemasok sabu itu terhubung dengan ZK, seorang bandar narkotik yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Polisi menangkap laki-laki ini setelah meringkus dua kurir narkoba berinisial AM dan TFB. “Dari keterangan mereka kami tahu narkotik jenis sabu itu mereka edarkan untuk kalangan elite di Jakarta,” ujar Kepala Polres Jakarta Pusat Komisaris Besar Hengki Haryadi dalam konferensi pers pada Sabtu, 10 Juli lalu.

Wakil Kepala Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Setyo Koes Hariyanto menambahkan, Jakarta menjadi pasar potensial para pengedar sabu lantaran para pengguna dari kalangan jetset berani membeli dengan harga tinggi. Untuk 1 gram sabu saja harga paling murah di pasar mencapai Rp 1 juta.

Konsumen sabu kualitas super ini umumnya pekerja di level manajer, pengusaha, hingga artis. Kasus yang menyeret Ardi dan Nia hanya satu sekuel yang baru bisa terungkap dari jaringan ini. Menurut Hengki, temuan sabu senilai Rp 23 miliar itu masih dalam pengembangan penyidik Satuan Reserse Narkoba Polres Jakarta Pusat.

Polisi menduga pemasok sabu melibatkan seorang bandar narkotik asal Malaysia dan Cina yang tengah menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten. Dari sejumlah interogasi, terungkap bahwa ada artis yang diduga turut menikmati sabu dari jaringan ini. “Tim yang mengembangkan informasi ini sama dengan tim yang mengungkap peran RA,” tutur Setyo, menyebut inisial Nia Ramadhani. Namun polisi mengatakan masih harus mendalami jaringan ini.

Kasak-kusuk penangkapan Nia Ramadhani sempat beredar di media sosial dan berbagai grup WhatsApp wartawan hiburan pada Rabu sore hingga malam, 7 Juli lalu. Setyo mengakui pihaknya sempat disorot karena tak segera merilis penangkapan ini.

Kapolres Metro Jakarta Pusat  Kombes Pol Hengki Haryadi./Tempo/STR/Nurdiansah

Ia beralasan timnya harus melapor terlebih dulu kepada atasan, yakni Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Muhammad Fadhil Imran. “Makanya pada konferensi awal (Kamis, 8 Juli lalu) yang menyampaikan itu dari Humas Polda Metro Jaya,” katanya.

Ia memastikan polisi tak mengistimewakan penangkapan Nia dan Ardi. Ia mencontohkan, polisi meminta Nia dan Ardi menggunakan baju tahanan, sama seperti tersangka narkotik lain. Ia juga memastikan penyidik tidak mengulur pemeriksaan. “Saya sudah ngomong ke penyidik, saya enggak mau lama. Kejar hasil laboratorium lalu limpahkan ke kejaksaan,” ujar Setyo.

Mereka mengklaim ingin menindaklanjuti informasi soal jaringan narkotik yang selama ini sudah terungkap. Sabu seberat 22,8 kilogram yang disita Polres Jakarta Pusat, menurut informasi yang ia dapatkan, masuk ke Indonesia melalui perairan Aceh lalu di bawa ke Jakarta dengan memakai mobil. “Untuk ongkos angkut ke Jakarta, seorang kurir bisa mendapat Rp 2 miliar,” ucap Setyo.

Menurut dia, keuntungan besar dari bisnis haram ini membuat peredaran narkotik tak pernah putus. Berselang sebulan dari temuan 22,8 kilogram sabu, tim gabungan Satuan Reserse Narkoba Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya juga menggagalkan pengiriman sabu seberat 1,1 ton. Polisi menduga sabu tersebut berasal dari bandar besar di Timur Tengah. Tipikal barang jaringan ini dikemas dalam boks bertuliskan huruf Arab dengan logo unta. “Dugaannya dari Afganistan, Iran, atau Pakistan,” ujar Setyo.

Ketua Umum Gerakan Anti-Narkoba Nasional I Nyoman Edi Perry mendesak aparatur pemerintah memaksimalkan pengawasan terhadap para bandar yang tengah menjalani hukuman badan. Ia menambahkan, para bandar yang masih berulah umumnya adalah terpidana hukuman mati.

Kejaksaan belum mengeksekusi mereka lantaran banyak yang menempuh upaya hukum peninjauan kembali. Alih-alih bertobat, kata Edi Perry, sebagian dari mereka memanfaatkan kesempatan berbisnis narkotik. “Mereka akan terus menjalankan bisnis itu karena banyaknya permintaan pasar. Ini persoalan supply dan demand,” tuturnya.

Meski begitu, Nyoman menyoal tindakan polisi terhadap para pemakai seperti Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. Menurut dia, pemidanaan terhadap mereka terbukti tidak menyelesaikan masalah. “Polisi ataupun kejaksaan mestinya mempertimbangkan surat edaran Mahkamah Agung yang mendorong proses rehabilitasi bagi pengguna narkotik yang ditangkap dengan barang bukti di bawah 1 gram,” katanya. 

RIKY FERDIANTO | M. YUSUF MANURUNG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus