Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas musik dan teater di Salihara.
Njo Kong Kie mementaskan puisi Xu Lizhi.
Puisi yang mengkritik eksploitasi buruh dan ketidakadilan ekonomi.
Setiap kali membuka jendela atau pintu
Saya seperti orang mati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NJO Kong Kie merebahkan diri dan lalu berguling di bawah piano. Ia masuk ke kolong di antara kaki piano. Teks sajak pertama Xu Lizhi muncul di layar. Penonton di Salihara, Jakarta, pada Jumat, 17 Maret lalu, dapat membaca sajak itu. Xu Lizhi penyair buruh pabrik gawai di Cina yang mati muda karena kerasnya tekanan pekerjaan. Sajak itu berjudul "Di Kamar Kos". Sajak ini bercerita tentang kamar kontrakan para buruh yang sempit dan pengap, hanya seluas 10 meter persegi. Sebuah tempat yang menyiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlahan saya seperti mendorong tutup peti mati
Setelah sajak itu muncul, Njo merunduk keluar dari kolong, lalu duduk di depan piano. Jarinya menekan tuts. Sebuah lamentasi dimulai. Sembari merespons sajak itu, komponis yang lahir di Indonesia dan tinggal di Kanada ini melafalkan bait-bait puisi Lizhi. Sesekali ia berimprovisasi, bergerak meninggalkan piano dan kembali lagi. Permainan pianonya sangat liris. Njo kemudian seterusnya menampilkan komposisi-komposisi berdasarkan 12 puisi Lizhi.
Siapa Xu Lizhi? Ia adalah anak muda Cina yang selepas sekolah menengah atas merantau dari Guangdong ke Shenzhen untuk bekerja di pabrik gawai digital Foxconn. Di sela-sela pekerjaannya, ia sangat aktif menulis puisi. Tak kurang dari 200 puisi ia tulis di kamar kosnya yang tak layak. Penonton bisa membaca teks puisi Lizhi yang disorotkan ke layar oleh Njo setiap kali ia menampilkan komposisi. Sajak Lizhi bercerita tentang eksploitasi dan kesengsaraan buruh, tentang mimpi-mimpi buruh yang mustahil.
Dalam komposisi kedua, Njo memainkan piano berdasarkan puisi Xu Lizhi yang berkisah tentang buruh yang secara massal bekerja siang-malam untuk mencapai target perakitan. Sebanyak 100 ribu buruh laki-laki dan 100 ribu buruh perempuan dituntut memenuhi target produksi. Tak ada waktu mengeluh. Tak ada sapa hangat dari mandor. Dingin semata. Komposisi ketiga dibuat berdasarkan puisi Lizhi yang menceritakan betapa ia capek dengan ritme kerjanya. Di otaknya hanya ada bengkel, jalur perakitan, mesin, izin kerja, lembur, tak ada yang lain.
Njo Kong Kie dalam pentas I Swallowed a Moon Made of Iron di Salihara, Jakarta, 17 Maret 2023. Witjak Widhi Cahya
Mereka telah membuatku patuh/Aku tidak akan berteriak/tidak akan memberontak/tidak akan mencela, tidak akan mengeluh/Diam menahan kelelahan ini
Xu Lizhi juga menulis puisi kerinduan untuk ibunya. Dengan pedih ia menulis: “Oh Ibu, anakmu telah tumbuh tinggi. Tapi hidup telah membengkokkan punggungmu. Membuatmu lebih pendek." Dengan denting piano bertubi-tubi, Njo meliriskan puisi-puisi Lizhi mengenai gaji yang rendah dan mempersingkat hidup para buruh dalam judul "The Last Graveyard". Suara kritis pemuda ini juga muncul dalam puisi berjudul "A single screw fell to the ground, Migrant Workers". Sangat terasa betapa ia ingin keluar dari belenggu pekerjaan sebagai buruh pabrik. Ia berusaha berkali-kali keluar dari perusahaan ini. Ia melamar berbagai posisi di perpustakaan dan toko buku di Shenzhen. Sayangnya, usahanya kandas. Kepahitan hidupnya tampak jelas dalam puisi berjudul "I swallowed a moon made of iron".
Salah satu komposisi piano Njo yang menggetarkan adalah saat ia merespons sajak Xu Lizhi yang menampilkan larik-larik penanda kematiannya sendiri. Puisi itu berjudul "As I lay Dying, I know the day will come, Last Words". Lizhi mengatakan ia berbaring sekarat, ia ingin berbaring di padang rumput sembari membuka Alkitab dari ibunya. Ia ingin melihat laut, mendaki gunung, menyentuh langit. Ia menulis akan segera meninggalkan dunia dan meminta mereka yang mengenalnya tak terkejut atas kepergiannya.
Xu Lizhi tewas pada 30 September 2014 saat berusia 24 tahun. Ia bunuh diri karena tekanan pekerjaan yang hebat. Ia melompat dari gedung tinggi. Para kawan buruhnya mengumpulkan puisi karyanya dan mempublikasikan puisi itu di koran lokal di Shenzhen. Puisi-puisi itu kemudian diterjemahkan di situs Libcom.org. Segera sajak-sajaknya yang menyayat dirasakan banyak buruh di Cina.
Malam itu, lewat pertunjukannya yang sublim, Njo Kong Kie bisa menyajikan kepada kita sebuah dunia muram Xu Lizhi. Dunia keras buruh pabrik gawai di Cina yang produknya banyak kita gunakan di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo