Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Moratorium Sampai Kapan?

Kelompok seniman berbeda pendapat soal revitalisasi dan pembiayaan Taman Ismail Marzuki.

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki mendukung moratorium pembangunan untuk menggali lagi aspirasi seniman

  • Revitalisasi diharapkan tak meninggalkan jejak sejarah TIM sebagai pusat kesenian terbesar di Jakarta

  • Ekosistem seni di TIM mesti disokong dewan kesenian yang dipilih berdasarkan kurasi terbuka

PEMBANGUNAN di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tiba-tiba berhenti, Rabu, 4 Maret lalu. Sebagian besar areanya masih tertutupi seng. Gedung Graha Bhakti Budaya sudah luluh-lantak, menjadi bangkai. Para pekerja tidak tampak meneruskan pekerjaannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Moratorium (penghentian sementara) pembangunan Taman Ismail Marzuki yang diinginkan para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM, yang giat melakukan protes, agaknya membuahkan hasil. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi memerintahkan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), selaku pelaksana proyek revitalisasi, menghentikan aktivitasnya. “Kami melontarkan gagasan moratorium itu ke DPRD dalam rapat dengar pendapat,” kata Noorca Marendra Massardi dari Forum Seniman Peduli (FSP) TIM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah DPRD mengeluarkan perintah moratorium, pada 8-10 Maret lalu, FSP menggelar kemah seni di area Taman Ismail Marzuki. Di samping Teater Jakarta, di area rerumputan, digelar tenda warna-warni. Selama dua malam—meski tak terlihat banyak yang terlibat—mereka berkemah di situ. “Kami ingin menjaga keputusan moratorium. Jakpro harus izin kepada kami kalau ingin melanjutkan pembangunan,” ucap seorang seniman, garang. Sejak awal Maret, FSP juga melakukan roadshow, bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai Direktur Umum Jakpro Dwi Wahyu Daryoto.

Dalam pertemuan itu, Noorca dan kawan-kawan meminta, sebelum pembangunan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggali masukan dari berbagai kelompok disiplin seni soal revitalisasi Taman Ismail Marzuki. “Jadi TIM nantinya tidak menjadi kolam yang menampilkan siapa saja yang kuat membayar gedung pertunjukan di sini,” ujar Noorca. Dia mengklaim Jakpro tak mempersoalkan moratorium.

Forum Seniman Peduli TIM selama ini gerah terhadap keputusan Pemerintah Provinsi DKI yang menunjuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai perwakilan seniman dalam revitalisasi Taman Ismail Marzuki. Sebab, DKJ dianggap FSP tidak merepresentasikan banyak kelompok pegiat seni. Dewan Kesenian Jakarta pun selama ini tidak menolak sejumlah rencana yang ditentang FSP, seperti pembangunan hotel bintang lima. FSP menganggap konsep hotel tak sesuai dengan marwah TIM. Jauh berbeda dengan Wisma Seni, yang dulu ada di sana. Di Wisma Seni, yang berkonsep dormitory, seniman mana pun bebas menginap tanpa pungutan biaya. Konsep penginapan gratis ini disebut Noorca bisa membuat simpul-simpul kreatif baru karena menyediakan ruang diskusi seniman lintas disiplin sekaligus mengurangi beban duit pegiat seni.

Namun Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma berpandangan berbeda. Menurut dia, keberadaan hotel dengan fasilitas mumpuni justru perlu di TIM. “Asalkan untuk mendukung kegiatan seni,” tutur sastrawan yang sejak kuliah di Jurusan Film IKJ pada 1970-an sudah menganggap Taman Ismail Marzuki sebagai rumah sendiri itu. Hotel pun, menurut dia, sejatinya bisa difungsikan optimal, misalnya dengan menjadikan lobinya sebagai area pertunjukan seni atau membuat galeri di dalamnya. Sedangkan tarifnya tak perlu gratis, asalkan terjangkau. “Masak, seniman kita harus identik dengan kemiskinan?”

Seno mengaku beberapa kali menghadiri grup diskusi terfokus dengan pemerintah DKI soal revitalisasi Taman Ismail Marzuki. Ia mengusulkan nantinya TIM menjadi arena bermain untuk seni lintas disiplin dan meninggalkan kesan sebagai etalase “seni tinggi”. Sebab, kata dia, ruang kesenian mesti setara bagi jenis seni apa pun. Kurasinya tidak hanya mendukung seni tradisional, seperti yang selama ini banyak berlangsung di TIM, tapi juga seni kontemporer dan seni jalanan seperti mural. Dengan begitu, Taman Ismail Marzuki menjadi lebih populis dan “hidup”, karena bidang-bidang seni modern punya konstruksi.

Akan halnya bekas Rektor IKJ, Sardono W. Kusumo, menganggap pembangunan fisik Taman Ismail Marzuki tidak akan ada artinya apabila ekosistem seni tidak tercipta. “Nanti TIM yang baru hanya menjadi tempat, tidak menjadi ruang kreatif,” ujar koreografer yang karya-karyanya dipentaskan di TIM sejak 1970-an tersebut. “Di sekitar TIM banyak hotel. Mengapa harus bikin yang baru?” katanya. Sardono berpendapat, seorang direktur pusat kesenian haruslah berpikir aset terbesar sebuah pusat kesenian adalah seniman, bukan bangunan fisik. “Dalam dunia seni sekarang, bila pengelola pusat keseniannya tahu peta pasar seni, ia bisa mempromosikan seniman-senimannya ke gelanggang internasional,” ucapnya.

 

•••

MASALAH dana memang menjadi persoalan utama pengelolaan Taman Ismail Marzuki. Hotel itu sesungguhnya direncanakan menjadi lini bisnis pemerintah untuk mendukung kegiatan kesenian dan perawatan pengelolaan di TIM, yang selama ini kurang anggaran. Hikmat Darmawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta yang dilantik pada 2016, mengatakan, sejak 2010 sampai sekarang, dana hibah saja tidak memadai untuk menjalankan berbagai program.

“Dana Rp 5 miliar di zaman Ratna Sarumpaet jadi Ketua DKJ (periode 2003-2006) memang memadai. Tapi setelah 2010 makin tidak memadai,” katanya. Menurut Hikmat, pada zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pun mekanisme pembiayaan Taman Ismail Marzuki masih menjadi problem. “Pertama, jumlahnya tidak memadai. Peraturan hukumnya rentan. Dana hibah selalu naik-turun nilainya. Kedua, SKPD (satuan kerja perangkat daerah) nomenklaturnya rigid. Misalnya, tidak ada dalam nomenklatur untuk kurator, hanya konsultan. Jadi gimana kita bisa bekerja dengan nomenklatur rigid itu?” Hikmat menyebutkan itulah makanya di zaman Gubernur Anies Baswedan ada gagasan mengalihkan dana lewat badan usaha milik daerah.

Sardono ingat, di zaman Gubernur Ali Sadikin, untuk masalah pendanaan, Taman Ismail Marzuki memiliki general manager profesional bernama Surihandono yang dibantu asistennya, aktor Amak Baldjun, dari Teater Kecil yang andal menembus sumber dana. “Keduanya mampu mencari dana dan menghidupi kegiatan di TIM. Juga kemudian Hazil Tanzil, yang menggantikan Surihandono. Di samping TIM, pada 1970-an, Yayasan IKJ yang dipegang Koesnadi Hardjosoemantri dibantu dua orang dari perbankan, Robby Johan dan Omar Abdulah, yang juga pandai mencari dana,” ujarnya. Budayawan Ajip Rosidi, yang bergabung dengan Dewan Kesenian Jakarta sejak 1968 dan beberapa kali menjadi ketua pada 1972-1981, sangat kreatif-kreatifnya saat itu. Menurut Sardono, pada zaman Gubernur Tjokropranolo, Taman Ismail Marzuki lalu diurus oleh Kepala Dinas kebudayaan DKI Jakarta saat itu, Drs Soeparmo. “Mulai saat itulah TIM rusak karena Dinas Kebudayaan amat ikut menentukan TIM,” katanya.

Ketua Simpul Interaksi Teater Selatan dan Asosiasi Teater Jakarta Selatan, Toto Sokle, tak alergi terhadap perubahan di Taman Ismail Marzuki. Dia sepakat dengan tuntutan seniman. Namun, menurut dia, segala penolakan harus berdasarkan data. Toto melihat masih banyak seniman memprotes lantaran menganggap Graha Bhakti Budaya adalah cagar budaya. “Cagar budaya itu bangunan yang sudah berumur 50 tahun, sementara GBB (Graha Bhakti Budaya) baru berumur 37 tahun karena dulu diresmikan pada 1983. Jangan sampai seniman dimanfaatkan pihak tertentu,” ujarnya.

Graha Bhakti Budaya kini sudah hancur, tinggal puing-puing. Sardono berpendapat, sebelum Taman Ismail Marzuki dibangun kembali, kelembagaannya harus ditata ulang. “DKJ, AJ (Akademi Jakarta), semua stakeholder harus ditata ulang. Pembangunan bisa dilakukan setelah penataan ulang. Berhenti satu tahun karena moratorium, menurut saya, tidak apa-apa asalkan semua stakeholder ditata dengan baik.” Noorca Massardi melihat renovasi fisik yang sudah berlangsung di Taman Ismail Marzuki baru secuil persen dari desain besar revitalisasi. “Bagi saya, ditunda dua tahun juga tak jadi masalah karena belum ada bangunan baru yang dibuat Jakpro,” katanya.

Namun tak semuanya berpendapat demikian. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, menyayangkan proses revitalisasi kini terbengkalai akibat moratorium. Dia menganggap penghentian sementara pembangunan di Taman Ismail Marzuki tak berguna. Apalagi yang mendorong penghentiannya adalah Forum Seniman Peduli TIM, yang tak bisa dianggap mewakili pelaku seni. Menurut dia, sudah ada Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta yang representasinya diakui pemerintah. Jikapun keanggotaan Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta dipersoalkan karena habis masa jabatan, mengkooptasi dua lembaga itu bukan jalan keluar ideal. Tentu Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta harus mengakomodasi perwakilan seni mana pun. “Makin cepat TIM berfungsi, makin bagus. Daripada melulu diisi warna politik,” ujarnya. Hikmat Darmawan senada dengan Seno. “Ini duit rakyat. Gue dengar kerugian akibat moratorium Rp 200 juta sehari,” kata Hikmat.

ISMA SAVITRI, SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus