Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA Karl Marx masih hidup, mungkin ia akan bilang, bukan agama saja yang menjadi candu masyarakat, melainkan juga media sosial. Ini seperti halnya pengajar di Stanford University, Anna Lembke, yang melihat media sosial tak ubahnya narkotik. Platform interaksi di dunia maya itu diibaratkan Lembke sebagai pabrik dopamin yang membuat kita terlena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset Hootsuite dan agensi We Are Social yang dirilis awal tahun ini menyebutkan Indonesia masuk sepuluh besar negara di dunia yang warganya “keblinger Internet”. Dalam sehari, tercatat “masyarakat +62” berada di dunia maya selama 7 jam 59 menit—jauh dari angka rata-rata dunia, 6 jam 43 menit. Dari data itu, 3 jam 26 menit dihabiskan orang Indonesia di media sosial.
Kenapa angka itu begitu tinggi, bahkan hampir sepertiga waktu dalam sehari? Betulkah, seperti kata para narasumber film The Social Dilemma, kita sudah dijebak?
Tristan Harris (kiri) dan Roger McNamee dalam The Social Dilemma
Di balik sihir media sosial, tersebutlah para pakar teknologi dan pemasaran yang merancang sedemikian rupa segala adiksi itu. Merekalah yang berinisiatif, misalnya, membuat notifikasi di media sosial berwarna merah dan mengkonstruksi pikiran kita bahwa pemberitahuan itu urgent. Begitu pula tombol like atau suka di Facebook, Instagram, dan lainnya, serta sistem refresh yang sengaja dibuat mirip rolet judi yang membikin ketagihan.
Rahasia itu sebenarnya sudah banyak terkuak, tapi dijabarkan lagi oleh para insider di media sosial sendiri dalam film The Social Dilemma, yang tayang di Netflix. Pengakuan orang-orang dalam itu membuat konspirasi media sosial terasa lebih meyakinkan, tapi sekaligus mengerikan. Sutradara Jeff Orlowski pun memilih kutipan-kutipan angker untuk prolog film sepanjang satu setengah jam ini. Salah satunya dari penulis drama Yunani Kuno, Sophocles. “Tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan.”
The Social Dilemma merangkum perkembangan teknologi dan media sosial dengan konsep drama dokumenter. Ada sederet narasumber kompeten yang belakangan menyesali sisi gelap Internet dan media sosial yang mereka kembangkan. Misalnya eks desainer etika Google, Tristan Harris; mantan Direktur Pinterest dan Direktur Monetisasi Facebook, Tim Kendall; dan mantan bos Twitter, Jeff Seibert. Mereka bukan hanya petinggi yang namanya harum di Silicon Valley—kawasan industri teknologi di Amerika Serikat—melainkan juga perintis konsep dan fitur di sejumlah platform yang sampai sekarang kita pakai.
Pencipta tombol like di Facebook, Justin Rosenstein, turut buka-bukaan di sini. Begitu pula Guillaume Chaslot, penemu algoritma rekomendasi video yang membuat kita betah nongkrong lama di YouTube.
Persoalan identitas dan eksistensialisme memang tak pernah usang. Ini pula yang membuat garapan Orlowski begitu menggetarkan—karena menyentuh kebiasaan yang bahkan kita sadari tapi sulit dilepaskan. Selain dengan kutipan dan footage, situasi gawat tentang penjajahan media sosial atas hidup manusia dibangun lewat musik yang membangun ketegangan. Menjadi afirmasi bahwa, ya, memang situasinya sudah sedemikian getir. Manusia tak lagi mampu melepaskan kecanduannya dari telepon seluler ataupun Internet dan rela saja menjadi target manipulasi perusahaan raksasa teknologi.
Persoalan ini dibongkar satu per satu secara mendalam oleh para narasumber, termasuk akademikus. Tristan Harris menjadi pemantik menarik karena, setelah jorjoran menuangkan idenya di Google, ia mendirikan Center for Humane Technology. Organisasi nirlaba yang berfokus pada etika teknologi terhadap konsumen itu mengadvokasi perusahaan dan regulator agar mendukung kampanye melawan kecanduan Internet. Harris mempertanyakan kembali apakah kondisi ini—kebutuhan manusia untuk eksis dan perkembangan Internet—normal.
Menurut Harris, idealnya, perusahaan teknologi menimbang etika dalam fitur-fiturnya. Ia menuturkan pengalamannya di Google yang bergulat dengan psikologi konsumen agar adiktif pada surat elektronik. “Saya jadi merasa frustrasi dengan industri teknologi yang membuat kita seolah-olah tersesat,” ujarnya. Harris pun menyenggol 50 orang desainer di California (Silicon Valley) yang keputusannya berdampak pada lebih dari 2 miliar orang pengguna Internet. “Dua miliar orang itu akan mendapat ide yang tak mereka niatkan karena konsep notifikasi yang dikerjakan desainer di Google.”
Yang juga menarik adalah wawancara dengan salah satu investor Facebook, Roger McNamee. Ia menyebut soal pergeseran di Silicon Valley dari yang semula “menjajakan produk” menjadi “menjual penggunanya”. Begitu pula Aza Raskin, yang mendirikan Center for Humane Technology bersama Harris. Ia mengingatkan kita lagi pada pepatah lawas: “Bila kau tak membayar suatu produk, berarti kaulah produknya.” Kutipan itu belakangan dikutip warganet di banyak kanal, yang mengingatkan lagi soal realitas kuasa media sosial akan khalayak.
Adegan dalam The Social Dilemma. The Social Dilemma Trailer
Testimoni narasumber itu menempatkan pengguna media sosial sebatas sebagai angka. Sedangkan algoritma, seperti dikatakan pakar data Cathy O’Neil, adalah opini yang disematkan dalam kode. Kondisi khalayak yang pasif ini diilustrasikan Orlowski dengan boneka voodoo Ben yang disetir algoritma. Ben (diperankan Skyler Gisondo) adalah perwujudan individu yang mencurahkan sebagian harinya di Internet. Anak muda ini tak tahan oleh godaan notifikasi yang diarsiteki kecerdasan buatan atau AI (Vincent Kartheiser). Bahkan kehidupan percintaan Ben pun turut direcoki AI, yang menggoyahkan psikologinya, via fitur Instagram.
Fiksi tentang keluarga Ben menjadi selingan dari rentetan wawancara dengan para narasumber. Sejumlah adegan yang sarkastis kontekstual dengan masa kini. Misalnya, saat adegan makan malam keluarga, Ibu Ben “merampok” telepon seluler semua anggota keluarga demi berfokus untuk mengobrol santai. Namun usahanya ambyar. Alih-alih ada diskusi hangat, situasi di meja makan malah jadi sangat garing. Ini seperti menunjukkan betapa interaksi maya terkadang lebih menggoda ketimbang tatap muka.
Sayangnya, sepanjang film ini, Orlowski (sutradara Chasing Ice dan Chasing Coral) tak memberikan pandangan baru tentang khalayak media sosial. Dari drama dan testimoni narasumber, kita hanya bisa meratapi ketidakberdayaan khalayak pasif, yang tak mampu melawan manipulasi teknologi. Padahal, belakangan, berkembang teori soal khalayak aktif yang turun ke arena pertarungan ideologi. Bukan hanya Internet dan media sosial yang bekerja menancapkan ideologinya, tapi kita, khalayak aktif, juga berperan sebagai produsen tanda dan konten itu sendiri.
Namun, bagaimanapun, The Social Dilemma menjadi monumen yang menandai masa kini. Orlowski ciamik dalam merajut testimoni narasumber untuk membangun narasi dan mengeksplorasi dampak bisnis media sosial. Film ini pun tak hanya membuat pemirsa berpikir ulang untuk sering-sering mengintip media sosial, atau mengikuti saran penulis buku Jaron Lanier agar menghapus akun di dunia maya. The Social Dilemma juga menjadi pengingat di masa mendatang tentang manipulasi teknologi yang bisa jadi petaka di kehidupan kita.
ISMA SAVITRI
The Social Dilemma
Sutradara: Jeff Orlowski
Produser: Larissa Rhodes
Pemain: Skyler Gisondo, Vincent Kartheiser
Rilis: 9 September 2020
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo