Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan meningkat sejak pandemi Covid-19.
Ada banyak sebab yang membuat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali mandek.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengusulkan cara pembacaan data laporan kekerasan seksual diubah.
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat laporan tentang kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak pandemi Covid-19. Bentuk kekerasan yang dialami bukan hanya fisik, tapi juga psikis, seksual, hingga kekerasan ekonomi. Sejak awal pagebluk, Komnas Perempuan sudah memprediksi peningkatan tersebut bakal terjadi. “Akan ada lonjakan (jumlah) kekerasan dalam rumah tangga, meskipun ada anomali dalam pelaporan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 31 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Januari hingga Mei lalu, Komnas Perempuan menerima lebih dari 900 pengaduan. Tahun sebelumnya angkanya berkisar 100-an pengaduan per bulan. Terlepas dari angka pengaduan yang meningkat, Yentriyani menyoroti cara membaca data yang selalu membandingkan jumlah pelaporan dari tahun ke tahun. Menurut dia, sebaiknya cara pembacaan tersebut digeser dengan membandingkan jumlah pelaporan dengan kasus yang bisa dituntaskan hingga pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, kata dia, penuntasan kasus hingga pengadilan belum maksimal. Komnas Perempuan mencatat, pada 2016- 2019, untuk kasus pemerkosaan saja kurang dari 30 persen yang tuntas hingga pengadilan. Komnas sedang mengembangkan cara bagaimana lembaga itu dapat mengajak kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan untuk memeriksa ulang berapa banyak data yang masuk di layanan tingkat pertama sampai ke pemidanaan. “Bangunan hukum di Indonesia masih belum bisa mendengarkan korban dengan baik,” ujar Ani—sapaan akrab Yentriyani.
Yentriyani menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Nur Alfiyah, di kantornya di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Ia juga menceritakan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain melindungi korban kekerasan seksual, rancangan aturan tersebut mencantumkan pemantauan pelaporan yang bisa mendorong efektivitas penuntasan kasus.
Apa dampak pandemi yang paling dirasakan oleh perempuan?
Di awal pandemi, perhatian Komnas Perempuan tertuju pada dua hal, yaitu kerentanan perempuan terpapar virus dan dampak dari pandemi serta kebijakan penanganannya. Menurut data, sebagian besar perempuan bekerja di sektor yang bersifat servis dan pasti menjadi garda terdepan, seperti resepsionis, customer service, dan teller bank.
Bagaimana dengan perempuan yang bekerja di sektor yang rawan terpapar virus seperti tenaga medis?
Kami juga memperhatikan petugas medis. Selain dokter, banyak perawat dan petugas lain yang biasanya perempuan. Juga perkantoran dan pabrik, yang perlindungan terhadap perempuan tidak terlalu tinggi, sehingga ketika mereka berkumpul di satu ruang dengan standar kesehatan rendah, kemungkinan terpapar juga lebih besar. Dalam keluarga, ketika ada anggota keluarga terpapar Covid-19 dan sakit, otomatis perempuan yang melayani, menjaga, dan merawat, sehingga kemungkinan terpapar sangat besar.
Seberapa besar dampak kebijakan terkait dengan pandemi terhadap perempuan?
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang langsung diikuti dengan kebijakan bersekolah di rumah dan bekerja dari rumah, misalnya, membuat repot perempuan yang memiliki anak usia sekolah. Sekolah online tidak otomatis memberikan kesempatan kepada anak memahami pelajaran atau tugas, sehingga ibu diharapkan mendampinginya. Hasil survei online kami pada April-Mei lalu mencatat satu dari tiga responden perempuan mengatakan durasi kerjanya bertambah lebih dari tiga jam sehari. Meski perempuan dan laki-laki sama-sama mengerjakan pekerjaan rumah, yang mengalami stres kebanyakan perempuan. Karena semua orang berada dalam satu ruangan yang sama, untuk keluarga yang sedari awal sudah punya masalah, kondisinya menjadi makin tegang.
Ketegangan itu yang menjadi sumber kekerasan?
Betul. Dari hasil survei Komnas Perempuan, jika pasangannya sudah berusia lebih dari 40 tahun dan anak mereka sudah menjelang dewasa, tingkat ketegangan lebih rendah. Sedangkan pasangan berusia di bawah 30 tahun dengan anak yang masih muda, berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan, dan berisiko kehilangan pekerjaan akibat pandemi, ketegangannya lebih tinggi. Para responden mengatakan mereka makin sering mengalami kekerasan, terutama kekerasan psikis, seperti saling memarahi. Banyak sekali diskusi di tingkat internasional menyebutkan kekerasan dalam rumah tangga memuncak saat pandemi, angka pelaporannya meningkat.
Jumlah pelaporan di Indonesia juga meningkat?
Ada 900-an pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan sejak Januari sampai Mei lalu. Ini jumlah yang tinggi dibanding tahun sebelumnya. Sebelumnya, biasanya per bulan sekitar 100 pengaduan. Dari awal kami menduga jumlah tersebut anomali, karena tidak semua orang di Indonesia punya gadget dan paham cara menggunakannya untuk pengaduan, misalnya tidak tahu harus menelepon ke mana. Pemindahan pelayanan ke daring justru menyulitkan di banyak tempat. Dengan PSBB, pelaku dan korban akan berada dalam satu ruangan sehingga kontrol pada akses komunikasi lebih sulit bagi perempuan. Dia harus mencari waktu ketika pelaku tak mendengar dia menelepon.
Artinya, masih banyak yang belum terlaporkan?
Betul. Survei di Komnas Perempuan menunjukkan yang punya akses komunikasi dan mengetahui cara berkomunikasi, misalnya yang berpendidikan tinggi, 80 persennya enggak mau melaporkan kasusnya.
Mengapa?
Alasannya bermacam-macam. Ada yang ingin melapor tapi enggak tahu ke mana, tapi kebanyakan ada kecenderungan tidak mau melapor. Kecurigaan kami, kecenderungan itu menguat di masa pandemi. Karena pada masa sebelum pandemi, orang bisa bekerja, bisa keluar, bisa curhat. Pengalihannya cukup banyak. Semua hal yang dulu bisa termoderasi, tiba-tiba semua orang harus ada dalam satu waktu yang bersamaan.
Kasus apa yang banyak dilaporkan?
Kasus paling banyak memang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Yang dilaporkan biasanya sudah penganiayaan berat. Sebanyak 29 persen dari KDRT berbentuk kekerasan seksual yang terjadi pada anak perempuan, biasanya dilakukan oleh salah satu anggota keluarga. Bisa oleh ayahnya, paman, atau kakek, yang masih memiliki hubungan darah atau tinggal satu atap. Ada juga kasus kekerasan berbasis online, terutama oleh mantan pacar. Bisa berupa sexual revenge atau bullying dan lain-lain.
Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual oleh suami terhadap istri?
Itu jarang sekali dilaporkan. Sekalinya dilaporkan, kasusnya berat. Seperti marital rape dengan penggunaan alat, pemaksaan hubungan dalam formasi yang sudah tidak tertanggungkan lagi oleh istri, atau pemaksaan pelacuran.
Semua masalah tersebut sesuai dengan perkiraan Komnas Perempuan?
Di awal pandemi, kami memperkirakan tiga hal. Pertama, lonjakan (jumlah) kekerasan dalam rumah tangga, meskipun ada anomali dalam pelaporan. Kedua, peningkatan kekerasan berbasis online. Saat tidak ada PSBB, pengaduan kasus eksploitasi seksual terhadap anak secara online sudah tinggi, apalagi setelah PSBB semua orang pindah ke media online. Ketiga, pemutusan hubungan kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi yang lebih luas terhadap perempuan karena kondisi ekonomi keluarga.
Baru-baru ini terungkap kasus kekerasan di lingkungan gereja Katolik. Bagaimana Komnas Perempuan melihat kasus kekerasan seksual dalam lembaga keagamaan?
Sejak dulu sudah ada, tapi kesadaran sekarang lebih baik. Ada beberapa lembaga agama yang mulai terbuka menyikapinya. Yang cukup revolusioner dan tampak sampai tingkat global itu Katolik. Paus menyatakan mau menghentikan semua itu. Outbreak kekerasan seksual terhadap anak laki-laki di sana juga besar. Kami juga melihat ada upaya pihak gereja bersikap positif ketika ada yang melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan mereka. Di kelompok muslim, Ibu Shinta Nuriyah mengembangkan crisis center berbasis pesantren, Puan Amal Hayati. Karena ia memahami bahwa di lingkungan keagamaan bisa terjadi kekerasan seksual. Yang harus kita pastikan saat ini adalah bahwa penyikapan itu bisa menjadi lebih kuat.
Andy Yentriyani yang dihadirkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI atau Pihak Terkait) selaku ahli saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara Pengujian UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), Senin (31/8) di Gedung Mahkamah Konstitusi. Humas Mahkamah Konstitusi/Gani
Apa yang membedakan kekerasan seksual di lembaga keagamaan dengan yang lain?
Banyak hal yang sifatnya berulang dan masif. Kalau di lembaga keagamaan, jika terungkap, sering kali jumlah korbannya banyak, bukan satu-dua orang. Sulit sekali bagi korban menyampaikan apa yang terjadi karena pelakunya adalah tokoh agama yang secara sosial kemasyarakatan dianggap sebagai orang baik, elite, dan hampir suci. Jadi biasanya bebannya ada pada korban karena dianggap mencemarkan nama tokoh tersebut. Dalam temuan kami, kasus paling sulit adalah kalau tindak kekerasan seksual itu dilakukan orang yang berkuasa, bisa aparat penegak hukum, pejabat publik, tokoh masyarakat, elite politik, pengusaha yang punya kekuatan politik.
Kasus pelecehan di lembaga pendidikan, terutama kampus, juga sering muncul....
Kalau pemerkosaan langsung, lebih gampang mengambil sikap. Tapi kalau bentuknya eksploitasi seksual, ketika ada dimensi seolah-olah perempuannya bersetuju demi nilai, itu rumit sekali karena kita tidak punya payung hukumnya. Menurut saya, surat edaran dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama pada 2019 yang memerintahkan kampus berbasis agama membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus itu menarik. Hasilnya belum bisa dilihat secara langsung, tapi ada langkah awal menuju penanganan yang lebih baik.
Apa problem penanganan kasus kekerasan seksual di kampus?
Kalau sesama mahasiswa, biasanya kampus menindak lebih cepat, bisa skorsing. Berbeda jika pelakunya dosen, apalagi dia paling banyak mendatangkan proyek atau dia dianggap sebagai tokoh di kampus. Relasi kuasa itu sifatnya sangat kompleks, termasuk di dunia pendidikan.
Berkaitan dengan perundungan seksual, apakah ada pengaruh, misalnya, dari gerakan internasional Me Too terhadap gerakan di indonesia?
Pasti ada. Besar atau kecilnya yang sulit dijawab. Saat ini teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan suasana advokasi lebih cair. Persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan dan sulitnya perempuan mengungkapkan kekerasan yang dialaminya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara.
•••
Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dalam kampanye pilpres 2014, semua kandidat presiden dan partai pendukungnya menyatakan mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu yang memungkinkan RUU ini masuk Prolegnas 2014-2019. Bahwa ia tidak berhasil diselesaikan dalam periode pembahasan lima tahun, itu masalah lain lagi, siasat politiknya juga beda banget. Problemnya, menurut saya, isu kekerasan seksual itu, dalam konstruksi hukum nasional kita, dari awal dimasukkan ke persoalan susila. Maka orang akan bolak-balik ke isu moralitas. Padahal persoalan kekerasan seksual adalah adanya ketidakseimbangan relasi.
Ini berkaitan dengan hubungan seksual di luar nikah yang tidak dimasukkan ke RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Kata yang paling sering digunakan untuk menggantikan hubungan seksual di luar nikah adalah zina. Kami tidak memasukkan zina ke rancangan yang diajukan oleh Komnas Perempuan dan Aliansi Masyarakat Sipil karena delik zina, terlepas dari kita setuju atau tidak dengan persoalannya, yang terjadi adalah hubungan konsensual, tidak ada pemaksaan. Bahwa terjadi perselingkuhan dan lain-lain, itu urusan lain. Ketika kami membatasi tidak ingin masuk ke ranah pengaturan moralitas, dianggap tidak punya moral karena dianggap membolehkan. Padahal, kalau mau pakai analogi, itu pulau yang lain dari masalah yang enggak bisa diselesaikan dalam satu kepulauan yang sama.
Apakah perzinaan tidak dibahas dalam RUU karena sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?
Dalam KUHP, perzinaan itu bukan di bagian kesusilaan. Zina merupakan delik aduan, hanya bisa terjadi jika salah satu pelakunya punya pasangan yang sah dan mengadukan. Ada kelompok yang bilang bahwa seharusnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mengatur hubungan tersebut. Tapi ini dimensinya berbeda dengan tindakan pemerkosaan. Kita perlu membuat sebuah lompatan, jadi bukan hanya reformasi. Ini kita sedang ngomongin transformasi hukum Indonesia. Kita sedang membincangkan sebuah tindakan di mana satu pihak dirugikan di dalam tindakan yang bernuansa seksual ini.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional karena alasan moralitas itu?
Saya pikir ini bukan faktor tunggal. Ada yang mungkin tidak punya political will. Saya dengar ada yang merasa terteror kalau ini disahkan. Ada yang merasa ini bukan isu prioritas, kontroversinya terlalu tinggi, tapi ada juga yang berkeinginan memasukkan pengaturan moralitas. Alasan yang dominan itu karena orang kebingungan. Bagaimanapun proses perumusan harus mendengarkan banyak orang. Belajar dari peristiwa legislasi Undang-Undang Pornografi, kami khawatir, jika tidak bisa membedakan antara tindak pidana dan pengaturan moralitas yang sifatnya relatif, akan terjadi campur aduk yang memungkinkan kriminalisasi terhadap orang yang seharusnya dilindungi.
Apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjawab sebagian permasalahan kekerasan seksual yang dialami perempuan?
Ini bukan sebuah undang-undang yang diandai-andaikan. Ia hadir dari persoalan riil yang dialami perempuan ketika mengalami kekerasan seksual dan tidak bisa mendapatkan proses yang adil. Misalnya pelecehan seksual itu tidak ada pengaturannya di Indonesia, termasuk di KUHP. Jadi kita mengisi kekosongan hukum ini. Juga soal pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, dan penyiksaan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mengoreksi aturan yang tumpang-tindih, misalnya tentang eksploitasi yang berbeda di tiap undang-undang, seperti Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kalau tidak ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, apa yang terjadi?
Kita akan stagnan seperti ini saja. Arah kita adalah bagaimana memastikan Oktober nanti RUU ini betul dijadikan prioritas pembahasan pada 2021.
Komnas Perempuan sudah berusia 22 tahun, apa yang harus diperbaiki?
Saya merasa cara kita membaca data keliru karena kita selalu membandingkan data tahun ini dengan data tahun lalu, apakah laporannya naik atau enggak. Seolah-olah upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan itu dibuktikan dengan jumlah kekerasan yang berkurang. Padahal data pelaporan yang meningkat bisa juga berarti orang lebih sadar melaporkan, tingkat kepercayaan terhadap institusi yang melayani lebih tinggi, dan cara pendokumentasian lebih baik.
Cara membaca datanya sebaiknya bagaimana?
Cara kita mengolah data harus berbeda. Jadi bukan hanya kita memandang berapa banyak yang dilaporkan, tapi juga berapa banyak yang dituntaskan di proses berikutnya. Data Komnas Perempuan dari 2016-2019 menunjukkan, untuk pemerkosaan saja kurang dari 30 persen yang selesai ke pengadilan. Jadi yang sekarang sedang kami kembangkan adalah bagaimana caranya agar kami bisa mengajak kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman memeriksa ulang berapa banyak data yang masuk di layanan tingkat pertama sampai ke pemidanaan.
Selama ini prosesnya mandek di mana?
Bisa dari kepolisian karena bukti enggak cukup. Misalnya, dia diperkosa tahun lalu dan baru dilaporkan tahun ini, itu sulit sekali mencari buktinya. Karena pemerkosaan itu mengandaikan ada tindak kekerasan. Kalau bukti kekerasan tidak tersedia, itu menjadi sangat rumit. Belum lagi kalau dianggap peristiwa suka sama suka. Bangunan hukum di Indonesia masih belum bisa mendengarkan korban dengan baik.
Cara melihat data ini juga tercantum dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Betul. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada pemantauan sehingga kita bisa mendorong efektivitas. Misalnya, kasus pelaporan pemerkosaan yang tidak sampai 30 persen ke pengadilan itu, kita seharusnya punya target, tahun depan mungkin jadi 40 persen, tahun depannya lagi jadi 50 persen. Kita juga harus punya skala tentang hasil pemidanaan dan pemulihan korban. Bukan hanya soal berapa banyak pelaku yang dipidana, tapi juga seperti apa hukumannya, apakah sebanding dengan hukuman orang yang diperkosa yang dampaknya seumur hidup. Perlu dibuat kajian yang longitudinal.
ANDY YENTRIYANI | Tanggal lahir: 24 Januari 1977 | Pendidikan: Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia (2000); Master bidang Media & Communication Goldsmith College University of London, Inggris (2004) | Karier: Ketua Komnas Perempuan (2020-2024); Komisioner Komnas Perempuan (2010-2014); Ketua Pengurus Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, Kalimantan Barat (2016-2019); Koordinator Perkumpulan Rukun Bestari (2018-2019); Dewan Etik Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (2018-2019); Koordinator Asia-Pacific Women’s Alliance for Peace and Security (sejak 2017); Dosen Gender dan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (2012-2016)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo