Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Semar, Togog, dan Kisah Padi

Teater Koma menampilkan lakon tentang perebutan padi. Didahului riset khusus tentang padi di Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATARA Guru, raja dewa ka--yang-an yang memerintah wayang dan dewa-dewa lain, tiba-tiba menggelar rapat ber-sama sejumlah anak buah-nya untuk membahas nasib para wayang di bumi Marcapada. Ia khawatir kelakuan salah seorang putranya, Batara Kala, yang kerap memangsa wayang di Marcapada, bisa membuat ras itu punah. Batara Guru (diperankan Slamet Rahardjo Djarot) kemudian menugasi putranya yang lain, Batara Wisnu (Rangga Riantiarno), melindungi para wayang dari ancaman Batara Kala (Hengky Gunawan).

Batara Wisnu berhasil menjalankan tugas-nya. Ia bisa memaksa Batara Kala tak sesukanya memilih mangsa. Wal-ha-sil, para wayang tak lagi menjadi incar-an Batara Kala. Karena tugasnya sudah selesai, Batara Wisnu berniat pu-lang ke ka-yangan. Tapi para wayang memin-ta-nya tetap di Marcapada dan menjadi pe-mim-pin di Kerajaan Medangkamul-yan. Mes-ki menolak, Batara Wisnu ber-upa-ya memenuhi permintaan itu de-ngan mengutus putranya, Prabu Srimahapung-gung (juga dimainkan Rangga Riantiarno), menjadi raja di Medangkamulyan. “Dia yang akan menjadi raja, tapi tetap dalam pengawasan saya,” kata Batara Wisnu.

Kisah itu menjadi pembuka pertunjukan Teater Koma berjudul Goro-Goro: Maha-barata 2 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 25 Juli-4 Agustus 2019. Secara garis besar, lakon itu menceritakan kehidupan dua kerajaan di Marcapada, yakni Medangkamulyan dan Sonyan-taka. Prabu Srimahapunggung mem-bawa Medangkamulyan menjadi kera-ja-an yang makmur. Tanahnya subur, padinya melimpah. Adapun Sonyan-taka dipimpin raja raksasa, Prabu Bukbang-kal-an (Idries Pulungan). Suatu ketika, Sonyantaka dilanda bencana kelaparan, yang kemudian mendorong mereka menyerang Medangkamulyan dan meram-pok padi di sana.

Selama memimpin Medangkamulyan, Prabu Srimahapunggung dibantu Semar (Budi Ros) sebagai penasihat. Sedangkan Prabu Bukbangkalan ditemani Togog (Bayu Dharmawan Saleh) sebagai penasihat di Sonyantaka. Semar dan Togog adalah kakak Batara Guru. Oleh ayah mereka, Hyang Tunggal atau Dewa Pertama, keduanya diperintahkan turun ke Marcapada untuk mengabdi kepada raja-raja di sana. Semar bertugas menjadi punakawan para kesatria yang membela kebenaran—dalam hal ini Prabu Srimahapunggung. Sedangkan Togog menghamba kepada para raksasa penyebar kejahatan—dalam hal ini Prabu Bukbangkalan.

Di luar dua kerajaan itu, ada peng-gam-baran tentang kehidupan di ka-yang-an. Awalnya adalah cerita Pra-bu Srimahapunggung yang diutus men-jadi Raja Medangkamulyan. Lalu anak pe-rem-puan Batara Wisnu, Dewi Srinandi (Tuti Hartati), bersama dua pengawalnya bertualang dari kayangan ke Marcapada untuk menemui abangnya, Prabu Srimaha-punggung. Kemudian Batara Guru me-ngi--sahkan pertemuannya dengan Dewi Lokawati (Netta Kusumah Dewi). Dewi Lokawati, yang semula tinggal di Cupu-ma-nik Astunamas yang kecil, dimun-culkan oleh Batara Guru dan diminta menjadi selirnya. Tapi Dewi Lokawati menolak sehingga ia dikutuk menjadi padi. Padi itu yang kemudian diberikan ke Medangkamulyan untuk ditanam dan hendak direbut pasukan Sonyantaka.

Sutradara dan penulis naskah Nano Riantiarno mencoba menghadirkan kisah Mahabarata yang bertolak dari versi pewa-yangan Jawa dan Sunda itu dengan ringan sekaligus kekinian. Seperti biasa, narasi pertunjukan oleh dalang (Sari Madjid) kerap dibawakan lewat lagu dan iringan musik. Kali ini Teater Koma juga menonjolkan layar multimedia yang me--nam-pilkan gambar-gambar animasi di panggung untuk mendukung latar pemen-tasan. Misalnya gambar langit, sawah, dan suasana di sekitar singgasana raja.

Porsi gambar animasi demikian besar hingga membuat penggunaan properti pang-gung minim. Padahal Teater Koma adalah kelompok yang terkenal menggu-na-kan set dan properti besar secara silih berganti dalam adegan-adegan pemen-tasannya, seperti Opera Kecoa dan Sie Jin Kwie. Kita tidak tahu apakah era itu kini telah usai, diganti dengan era layar film sebagai backdrop adegan.

Sepanjang adegan Goro-Goro, perubahan set dilakukan cukup  dengan mengganti gam-bar multimedia di layar. Dalam bebe-rapa pertunjukan terakhirnya, Teater Koma terlihat  bereksperimen dengan mul-timedia, termasuk penggunaan dua layar untuk menimbulkan efek pemanggungan. Tapi boleh disebut dalam Goro-Goro-lah penggunaan animasi multimedia paling “ekstrem”.

Lakon  mencoba menonjolkan peran Semar dan Togog sebagai penasihat dua raja yang berbeda sifat. Togog selalu mem-bujuk Prabu Bukbangkalan agar pasukan Sonyantaka tidak jadi menyerang Medangkamulyan dan mengambil padi di sana. Meski berulang kali diabaikan, Togog tak berhenti meyakinkan Prabu Bukbangkalan supaya tak berperang. Adegan animasi pasukan raksasa yang menjadi tikus-tikus hama pemakan padi merayap menyerbu persawahan  terasa menarik. Animasi yang menampilkan bagaimana ratusan atau ribuan tikus muncul menyerang lahan padi itu seperti film-film surealis. 

TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Untuk keperluan pengadegan tentang padi, Nano secara khusus melakukan riset ke dusun adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat, yang dikenal memiliki banyak lumbung padi. Ia ditemui Yoyo Yogasmana, petinggi desa (dulu seniman performer), yang menjelaskan bagaimana warga Ciptagelar menanam 176 jenis padi yang bersumber dari padi leluhur. Di dusun itu ada sekitar 11 ribu lumbung. Stok padinya cukup untuk makan warga lebih dari 90 tahun. Nano agaknya terkesima oleh tradisi padi di Ciptagelar. Dalam beberapa adegan diper-lihatkan para petani membawa hasil tani-nya sebagaimana di Ciptagelar.

Nano begitu sabar mengisahkan latar bela-kang persoalan dua kerajaan dan kehidupan kayangan pada bagian pertama pentas, atau dua setengah jam sejak lakon dimulai. Kisah Goro-Goro bukan kisah yang dramaturginya membuat penonton bisa meng-ikuti pertentangan-pertentangan atau konflik-konflik antarkarakter  dengan pe-nye-lesaian tak terduga.

Kisahnya sesungguhnya datar saja. Pada  bagian kedua, atau kira-kira satu setengah jam menjelang akhir  pertunjukan, adegan demi adegan terasa berjalan sa-ngat cepat, dari kerja sama Batara Kala dan Prabu Bukbangkalan menyerang Medang-kamulyan sampai serangan hama di sawah. Ujung cerita sesungguhnya sudah bisa ditebak: Prabu Bukbangkalan dan pasukannya binasa. 

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus