Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari, George Harrison remaja yang sedang bersekolah di Liverpool Institute Grammar School menderita infeksi ginjal. Ketika ia dirawat di rumah sakit, tebersit di benaknya keinginan membeli gitar. Orang tuanya, Harold dan Louise, tak berkeberatan terhadap kehendak sang anak. Ibunya pun memberikan uang sebesar 3 pound sterling untuk membeli gitar. Belakangan, Harrison membeli gitar Edmond buatan Belanda dari Raymond Hugh, seniornya di sekolah. “Tanpa gitar ini, saya tak akan memiliki karier (bersama The Beatles),” kata Harrison.
Kisah tentang gitar pertama George Harrison itu hanya salah satu cerita menarik yang dihadirkan di museum The Beatles Story, Liverpool, Inggris. Museum itu berlokasi di Albert Dock, kawasan pelabuhan yang belakangan menjadi cagar budaya UNESCO. Dibangun pada sekitar 1846, kawasan Albert Dock pernah menjadi pusat kehidupan Kota Liverpool dan sempat menjadi salah satu pelabuhan teramai di dunia. Namun, saat Perang Dunia II berkecamuk, Albert Dock hancur dihujani bom. Sekitar setengah abad kemudian, bangunan bekas gudang dan galangan kapal terpadu itu dibangun kembali.
TEMPO/Wayan Agus Purnomo
Kini kawasan tersebut telah menjelma menjadi destinasi wisata andalan Liverpool, menyuguhkan tempat menarik seperti kafe, bar, restoran, situs cagar budaya, serta berbagai museum dan galeri seni. Di kawasan itu terdapat Tate Liverpool, galeri seni yang menyimpan koleksi benda seni klasik hingga kontemporer. Juga Merseyside Maritime Museum and the International Slavery Museum, yang menampilkan jejak sejarah Kota Liverpool sebagai pusat perniagaan maritim di Inggris. Tak jauh dari Merseyside Maritime Museum, berdiri The Beatles Story—museum grup musik rock ‘n’ roll legendaris asal Inggris beranggotakan kuartet John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr—yang paling ramai dikunjungi.
Museum The Beatles terletak di gerbang utama Albert Dock, yang berseberangan dengan bianglala raksasa yang memiliki sekitar 42 gondola. The Beatles Story merupakan museum permanen terbesar yang menceritakan sejarah band paling tersohor di muka bumi tersebut. Museum yang dibuka pada Mei 1990 itu memajang memorabilia Beatles sejak berdiri hingga akhirnya John Lennon dan Paul McCartney berkarier solo. Bagi para penggemar Beatles, boleh dibilang museum tersebut adalah “surga”.
Saat Tempo bertandang pada akhir April lalu, museum itu ramai oleh para pengunjung. Setiap tahun, setidaknya ratusan ribu pengunjung dari berbagai negara mendatangi museum tersebut. Harga tiket masuk The Beatles Story untuk pengunjung dewasa sebesar 17 pound sterling atau sekitar Rp 315 ribu. Pelajar atau orang berusia di atas 65 tahun cukup membayar 13 pound sterling atau sekitar Rp 240 ribu, sementara tiket bagi anak-anak berumur 5-15 tahun 10 pound atau sekitar Rp 180 ribu. Namun ada paket keluarga seharga 45 pound atau sekitar Rp 835 ribu untuk dua orang dewasa dan dua anak-anak. Adapun anak-anak berusia di bawah 5 tahun tidak dikenai biaya.
Siang itu, sejak awal tiba di depan museum tersebut, pengunjung sudah diajak masuk ke dunia The Beatles. Di depan pintu masuk, sayup-sayup terdengar lagu Let It Be mengalun.
When I find myself in time of trouble, Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be
And in my hour of darkness, she is standing right in front of me
Speaking words of wisdom, let it be….
Memasuki museum itu, kita seperti menelusuri lorong waktu perjalanan The Beatles. Kisah perjalanan kuartet itu tersaji melalui aneka foto, rekaman, dokumen, serta cuplikan berbagai cerita menarik dari The Beatles Anthology. Misalnya ada kisah mengenai Ivan Vaughan, salah seorang yang berjasa mempertemukan Paul McCartney dengan John Lennon. Vaughan adalah pemain bas sementara band pertama Lennon, The Quarrymen. Tanggal bersejarah itu adalah 6 Juli 1957, ketika McCartney menonton Lennon manggung di Woolton Parish Church. Poster acara pada hari itu, yang belakangan menjadi tanggal bersejarah dalam kisah band ini, kemudian dipajang di The Beatles Story.
The Beatles Story tidak menyediakan pemandu untuk menikmati isi museum. Sebagai ganti, pengunjung mendapat headphone yang berisi panduan untuk mendengarkan seluruh konten museum dalam 12 bahasa. Pengelola museum membagi cerita perjalanan Beatles menjadi 26 tahap. Di setiap tahap ada rekaman sepanjang satu-dua menit yang menjelaskan konteks cerita yang terpampang di museum tersebut. Secara keseluruhan, kunjungan ke museum ini bakal menghabiskan waktu satu-tiga jam. Durasi ini tergantung seberapa lama pengunjung bernostalgia dengan kisah-kisah Beatles.
TEMPO/Wayan Agus Purnomo
Momen-momen penting Beatles disajikan dengan menghadirkan potongan wawancara Paul McCartney dan Ringo Starr. Beberapa kisah John Lennon dinarasikan oleh Julia Baird, adik Lennon. Detail perjalanan para personel juga terekam lewat akta kelahiran, rapor pendidikan, serta foto-foto mereka sewaktu masih bersekolah dasar, termasuk pada awal terbentuknya Beatles. Museum The Beatles Story juga menceritakan masa-masa awal karier band ini, termasuk peran Casbah Coffee Club. Pub tersebut berlokasi di kawasan West Derby sejauh sekitar 10 kilometer dari The Beatles Story, yang bisa ditempuh dengan berkendara selama 15 menit. “Casbah adalah tempat kami memulai segalanya,” kata Paul McCartney.
The Beatles Story menceritakan dengan sangat detail setiap tahap perjalanan Beatles. Setelah periode Casbah, ada kisah tur Hamburg pada Juli 1960. Setelah itu, disajikan cerita tentang Frank Hessy Ltd, tempat para personel Beatles membeli peralatan musik pada awal karier mereka. Lalu terdapat cerita pembentukan The Official Beatles Fan Club, Magical Mystery Tour, aksi panggung terakhir Beatles pada 30 Januari 1969 di kawasan Savile Row di London, serta perpecahan Beatles, termasuk kisah John Lennon dan Yoko Ono yang melegenda. The Beatles Story juga menghadirkan cerita personal setiap anggota supergrup ini.
Selain itu, ada kisah menarik antara The Four Fab dan Russell Jamieson, orang Inggris yang dinobatkan sebagai “the first honorary Beatle”. Jamie masih berusia empat tahun ketika mulai menggemari lagu-lagu Beatles. Suatu ketika, dia tersesat saat sedang mencari lokasi konser Beatles. Belakangan, dia ditemukan polisi di kawasan Walton Vale, Liverpool. Museum The Beatles Story memajang surat dari manajemen Beatles ketika Russel dirawat di rumah sakit. “Kami yang berada di klub (penggemar The Beatles) berharap pulih dengan cepat,” demikian tertulis dalam surat tersebut.
WAYAN AGUS PURNOMO (LIVERPOOL)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo