Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA mencekam begitu terasa di ruangan itu. Seperti jelaga yang menghiasi seluruh ruangan yang habis terbakar atau ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba atau tanaman merambat dari kejauhan. Sendu dan seram. Di ruangan itu sebuah piano dan kursi pianis di hadapan deretan puluhan kursi tampak menghitam di antara jaring-jaring benang yang terpasang di sekujur ruangan. Seperti masuk ke sebuah lorong waktu yang kelam menyeramkan. Beberapa pengunjung tampak mengabadikan karya dan suasana yang terbentuk ini pada Kamis, 26 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya ini seperti sebuah refleksi atau bahkan mungkin sepotong trauma yang masih menghantui seniman asal Jepang, Chiharu Shiota. Berjudul In Silence (2002/2022), karya ini menghadirkan elemen piano, kursi bekas terbakar, dan benang hitam Alcantara. Shiota menuliskan pengalaman buruknya saat berusia sembilan tahun. Saat itu rumah tetangganya terbakar. Esoknya, ia mendapati sebuah piano yang hitam pekat akibat terbakar dan menebarkan bau hangus yang terendus lewat jendela. Dia seperti merasakan ada sesuatu yang lain dari peristiwa kebakaran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karyanya yang lain adalah Uncertain Journey (2016/2022) yang memerahkan ruangan dengan jaring benang berwarna merah menyala seperti menguar dari perahu-perahu. Jaring benang yang bertaut memenuhi ruangan, seperti membentuk gua atau lorong yang menyambut pengunjung. Ada kemarahan dari warna merah. Menurut dia, hidup seperti perjalanan tanpa tujuan. "Semua orang butuh perjalanan, tapi ke mana tujuan pastinya tak diketahui," ujarnya.
Seni instalasi yang berjudul 'Accumulation - Searching for the Destination' karya Chiharu Shiota di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta, 3 Januari 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Karya senada yang bertema mobilitas dan perjalanan hidup terlihat dalam rangkaian benang putih berwujud puluhan perahu di bagian selasar. Karya ini berjudul Where Are We Going.
Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) di Jakarta tengah menggelar pameran tunggal karya Chiharu Shiota, 50 tahun, seniman asal Jepang yang bermukim di Jerman. Bertajuk "Chiharu Shiota: The Soul Trembles”, pameran yang digelar dengan kerja sama Mori Art Museum ini memajang seratusan karya Shiota yang terdiri atas instalasi, patung, foto, video, video performance, dan lukisan.
Karya yang terpilih dari 30 tahun perjalanan karier keseniannnya itu dikurasi oleh Mami Kataoka. Pameran digelar selama 26 November 2022-30 April 2023. Museum MACAN satu-satunya tempat di Asia Tenggara yang menyelenggarakan pameran yang komprehensif dari perupa Jepang yang berfokus pada tema memori, mimpi, masalah kesehatan mental, dan kesunyian itu, menyuguhkan ekspresi sisi personal Shiota.
Pameran ini sedianya akan menjelajah dalam tur global dimulai dari Tokyo pada 2019, tapi pandemi Covid-19 membuyarkan rencana dan semua galeri tutup. Karya-karya itu lalu dikembalikan ke Jepang. Pameran ini diadakan saat Shiota harus berjuang melawan kanker dengan kemoterapi, sementara ia harus menjaga anaknya yang berusia sembilan tahun.
Karya berdimensi yang cukup memukau adalah puluhan atau mungkin ratusan koper kuno yang bergelantungan pada tali merah, seperti membentuk jalur atau tangga. Sesekali koper-koper itu bergerak-gerak ketika tali tertiup angin penyejuk udara. Karya itu berjudul "Accumulation-Searching for Destination". Bukan sekadar kotak pembawa pakaian atau barang, koper-koper itu membawa kenangan dan akar identitas seseorang.
Jalinan rangkaian benang seperti sudah melekat sebagai karakter karya Shiota. Ia mulai berkreasi menggunakan benang dengan karya performance dan instalasi.
Seni instalasi tumpukan jendela yang diambil dari reruntuhan bangunan tembok Berlin karya Chiharu Shiota di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta, 3 Januari 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dalam foto karya berjudul From DNA to DNA (1994), Shiota terlihat tengah terbaring telentang dengan kaki menekuk rapat menyilang di antara benda-benda yang berbentuk seperti daun berserak. Sebagian badannya terlilit wol yang terhubung dengan seonggok besar benda yang menggantung dalam jaring. Seolah-olah onggokan itu tersambung dengan serakan yang terhampar di lantai. Seniman lulusan Kyoto Seika University ini mulai berkarya dengan membuat lukisan abstrak, lalu performance dan instalasi cat enamel merah yang diguyurkan dan dicipratkan ke sekujur tubuh, tembok, serta kain.
Alam dan karyanya seperti terhubung. Ia seakan-akan merasakan ada panggilan alam. Karyanya seolah-olah terkoneksi dengan alam dan pengalaman masa kecilnya. Seperti yang dituliskan dalam narasi karyanya, yang ia ingat ketika bersama keluarganya mengunjungi kakek-neneknya.
Ada sensasi lain, ketakutan, yang muncul ketika ia berziarah ke makam neneknya. Lahirlah karya I Have Never Seen My Death (1997) dalam dokumentasi foto, karya seni instalasi yang menampakkan puluhan telur dan sekitar 180 rahang sapi yang dikumpulkan secara bertahap dan dibersihkan selama satu setengah bulan. Benda-benda itu ditata melingkar sedemikian rupa di pinggir kolam kecil, sementara ia berkubang di tengahnya.
Performance lain ditunjukkan ketika ia memanjat gua yang dibentuk sedemikian rupa dengan tanah yang miring. Ia memanjat, jatuh, bangkit, terguling lagi. Karyanya adalah bagian dari lokakarya oleh Abramovic yang diikuti 15 peserta. Karya ini bertujuan mempertanyakan identitasnya, dilemanya sebagai warga dunia—di mana penerimaannya sebagai warga Jepang jika ia pulang.
Unsur alam, tubuh, dan pemulihan menjadi elemen yang sangat kuat dalam karya-karya Chiharu Shiota. Terlebih di masa awal ia berkarya. Hal ini antara lain terlihat dalam foto dokumentasi karya berjudul After That dengan instalasi gaun raksasa 7 meter yang dijahit sendiri. Berselimut lumpur, karya itu terpajang pada dinding dan dikucuri air terus-menerus.
“Gaun itu mengekspresikan ketidakhadiran tubuh, tak peduli berapa kali dicuci, ingatan tentang kulit seseorang takkan hilang,” demikian tertulis dalam pengantar karya. Karya serupa dalam ukuran lebih besar, yakni 13 meter, membuat nama Shiota mendapat perhatian di kalangan seniman komunitas Jepang.
Seni instalasi yang berjudul 'In Silence' karya Chiharu Shiota di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta, 3 Januari 2023. TEMPO/Magang/Muhammad Ilham Balindra
Aktivitas seninya merajut benang menjadi sebuah "terapi" ketika ia menghadapi kesulitan. Seperti yang dikatakannya, benang menjadi kusut, terbelit, putus, kemudian terurai, seakan-akan mencerminkan sebagian keadaan mentalnya. Ia menggunakan warna merah untuk menandakan kemarahan, biru tua atau hitam buat kesedihan, dan oranye sebagai tanda kebahagiaan.
Dalam karya During Sleep, misalnya, rajutan benangnya menjadi instalasi tempat tidur setelah ia hidup berpindah-pindah selama tiga tahun di Jerman. Karya di pojok ruangan dengan rajutan kulit sapi berwarna merah menggantung dan potongan tangan maneken menjadi refleksi tentang kematian.
Karya itu tercipta ketika dia didiagnosis mengidap kanker beberapa waktu setelah kurator Mami Kataoka mengajaknya berpameran. Karya ini menjadi semacam kenangan akan kulit yang tertinggal setelah ia menjalani kemoterapi. Demikian pula dalam instalasi dan lukisan obyek yang berwujud seperti sel atau sesuatu yang bergelembung terbungkus lapisan transparan dan lilitan benang.
Kehidupan di Jerman membuat Shiota mengembangkan karyanya dari kepingan-kepingan kenangan dan memorabilia. Bukan hanya benang, beragam benda mini yang unik seperti teko, kursi, tempat setrika, lemari, aneka rak, kompor, sofa, botol, baju, dan mantel ia kumpulkan. Ratusan benda mini ini dililit dengan benang merah.
Karya Shiota tak hanya menghiasi galeri-galeri ternama dan bursa seni di berbagai negara, tapi juga ikut mewarnai panggung-panggung teater, koreografi, dan musik. Jalinan jaring benangnya antara lain menghiasi pentas Théâtre Royal de la Monnaie, Belgia, dalam pertunjukan berjudul Matsukaze dari karya Kanami Kiyotsugu (2011) yang disutradarai Sasha Waltz.
Juga Solitude karya Kerstin Specht yang disutradarai Alex Novak yang berpentas di Akademie Schloss, Jerman, pada 2003. Lalu pentas Twilight of the God karya Richard Wagner dengan sutradara Daniel Karasek di Theater Kiel Opernhaus, Jerman. Selain itu, Tattoo karya Dea Loher Tatowierung yang disutradarai Okada Thosiki yang dipentaskan di New National Theater, Jepang, yang memakai puluhan jendela yang digantung.
Pertunjukan lain dengan sentuhan Chiharu Shiota adalah Tristan and Isolde dari sutradara Daniel Karasek serta Oedipus Rex karya Igor Stravinsky yang dipentaskan di Hebbel am Ufer, Jerman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo