Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR-AKHIR ini banyak bermunculan grup WhatsApp komunitas seni rupa Indonesia. Setiap grup WhatsApp itu bisa beranggota puluhan orang. Mereka terdiri atas perupa, art dealer, promotor, kurator, penulis, kritikus, pengamat, kolektor, kolekdol, pengelola galeri, bahkan mungkin pemalsu lukisan. Dalam setiap menit mereka dengan riuh membicarakan aneka problem dan fenomena seni rupa Indonesia dan dunia saat ini.
Namun keriuhan tersebut mendadak reda ketika ada kabar yang berkaitan dengan Piala Dunia 2022 di Qatar. Perbincangan sepak bola itu lantas bersambung dari kata ke kata dan secara mendadak menggantikan pembicaraan seni rupa. Bahkan sampai menjelajah jauh. Namun para anggota grup WhatsApp seni rupa kembali berantem ketika lapangan sepak bola mengaso dalam beberapa jam. Meski demikian, kehebohan itu pun tiba-tiba senyap ketika Piala Dunia menyajikan gol-gol yang tak terduga.
Cerita faktual di atas saya ungkap untuk menunjukkan betapa sesungguhnya masyarakat seni rupa Indonesia sangat menyukai dan bahkan memahami sepak bola. Mereka seperti habis-habisan mengikuti perkembangan sepak bola, dari segenap perupa, kolektor, sampai makelarnya.
Dengan mencermati kenyataan di atas kita pun disadarkan ternyata kesukaan dan kecintaan segenap jiwa terhadap sepak bola tidak serta-merta melahirkan seni rupa Indonesia yang mengangkat tema pemujaan atas sepak bola. Tidak seperti yang terjadi di negara-negara pencinta sepak bola lain semisal Inggris yang hari-hari ini memunculkan nama perupa John Myatt. Ada pula Roma dengan Federico Zenobi serta Italia dengan Fabrizio Birimbelli dan Pupazzaro yang puluhan karyanya ditampilkan dalam pameran “Like the Gods”. Karya-karya mereka pun (berupa seni grafis, lukisan, patung, mural, dan seni instalasi) dianggap sebagai penanda penting reputasi sepak bola negerinya dan dunia. Semuanya mendampingi nama perupa sepak bola yang tersebar di Brasil, Prancis, Spanyol, Amerika Serikat, dan Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Samsul Arifin. cargocollective.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa Indonesia yang dari era ke era sangat menggemari sepak bola tidak menghasilkan perupa yang serius menggarap sepak bola? Selarik pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan.
Sudjojono (1913-1986) adalah pelukis besar yang tak pernah capek berbicara tentang detail sepak bola. Selama hidupnya ia selalu ingat nama Pele, Franz Beckenbauer, dan Ferenc Puskás. “Sepak bola itu lukisan hidup,” katanya. Sebagai penggemar fanatik sepak bola sejak masih muda, ketika pada 1930-an ditugaskan sebagai guru Tamansiswa di Rogojampi (Jawa Timur), ia mendirikan perkumpulan sepak bola Laar. Namun, sedekat-dekatnya pada sepak bola, Sudjojono tak pernah sekali pun melukis tentang dunia sepak bola.
“Penciptaan lukisan sepak bola berangkat dari dorongan prestasi sepak bola yang paling dekat dengan kita. Kalau pemain bola Indonesia mingslep... en trapt altijd de bal van het veld (dan selalu menendang bola ke luar lapangan), mana bisa kuas dan kanvas Indonesia terstimulasi?” katanya dalam percakapan di tengah suasana final Piala Dunia 1978.
Pelukis ternama Rusli (1913-2005) termasuk penggila sepak bola yang tiada duanya. Ia tahu betul watak Lev Yashin dan Valentin Ivanov dari Uni Soviet. Ia selalu bergairah bila menjelaskan kebenaran gol “tangan Tuhan” Diego Maradona. “Sepak bola sanggup menyabotase konsentrasi dan menyapu ilham seni apa pun,” ujarnya. Namun tahukah Anda betapa dalam riwayat berkaryanya selama 65 tahun tak ada satu pun lukisannya yang menyentuh adegan sepak bola?
Proyek Ruang Etsa dan Sepak Bola karya perupa Tisna Sanjaya. cemeti.art
Sepak bola memang pernah mampir satu-dua kali pada ciptaan perupa generasi setelahnya. Tapi sepak bola hanya disentuh sebagai tema intermezzo sekaligus alat serta obyek kritik. Yuswantoro Adi, pemenang kompetisi Philip Morris Asia Tenggara, pernah mengambil unsur sepak bola untuk menggenapkan metafora lukisannya. “Duka cerita belaka yang saya gambarkan. Pertandingannya saya lupakan,” tuturnya. Pelukis reputatif Melodia—yang punya kesebelasan anak-anak—pernah menyentuh sepak bola di kanvasnya. “Sepak bola selalu saya tangkap sebagai mimpi yang tidak pernah terealisasi.” Angan-angan itu juga dibangun seniman Bali bermazhab Batuan, I Ketut Sadia, yang melukis detik-detik (seolah-olah) kesebelasan Brasil kalah 3-2 melawan Indonesia.
Perupa Adi Gunawan membuat patung seekor celeng gemuk sedang terengah-engah menggendong sebuah bola di punggungnya. Siapakah celeng itu? Dalam sebuah pameran bertajuk “Soccer Fever” di Galeri Canna, Jakarta, Samsul Arifin membuat patung berbentuk orang-orang telanjang rapat berangkulan sehingga membentuk bulatan seperti bola. Si patung berkata: “Jika Piala Dunia menyatukan seluruh bangsa, Piala Indonesia mematikan penontonnya secara bersama-sama”. Karya itu dibikin pada 2010, jauh sebelum terjadinya peristiwa Kanjuruhan, Malang.
Adapun perupa Tisna Sanjaya menjadikan sepak bola sebagai medium “berfilsafat”. Ia pernah membikin proyek Ruang Etsa dan Sepak Bola yang digelar di Bandung dan Yogyakarta. Dalam karya instalasi itu ia bertutur bahwa lapangan sepak bola di Indonesia adalah arena pertemuan dua hal. Pertama, tempat untuk bersorak sorai gembira sekaligus bermarah ria. Kedua, ruang pertempuran berbagai kepentingan di luar olahraga. Artinya, bukan pertandingan.
Lukisan Nyoman Masriadi, Jago Kandang. ivva.org
Pelukis realis Robby Lulianto pernah menggambarkan anak-anak kampung bermain di tepian Jalan MH Thamrin, Jakarta. Adapun Afriani melukis anak-anak bermain bola tanpa sepatu di sepetak tanah sangat berdebu. Dua lukisan ini mengandung sindiran betapa Indonesia sering nihil dalam menyiapkan fasilitas bagi pemain bola belia. Pada waktu lain, Eko Supa melukis legenda Prancis Zinedine Zidane berbaju batik dengan tangan sedang memegang bola Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang gepeng lantaran kempes. Sementara itu, yang paling gampang diingat adalah lukisan Nyoman Masriadi, Jago Kandang. Karya ini menggambarkan dua pemain sedang berebut bola di rumput hijau. Salah satu pemainnya berseragam merah-putih dan bernomor kaus 13, angka sial yang membikin tim nasional Indonesia kalah melulu. Ironisnya, lukisan tentang kesialan sepak bola Indonesia ini malah laku senilai US$ 370.668 dalam acara lelang Sotheby’s di Hong Kong.
Tapi sungguh mati seni rupa sepak bola hanya sekali-sekali digubah. Dan sebagian besar gubahan itu lahir karena dorongan promotor yang memanfaatkan momentum, seperti Piala Dunia.
Ujung kalam, prestasi pemain dan pengelolaan sepak bola Indonesia yang “belum juga baik” jelas menutup gairah perupa Indonesia untuk melukis serius tentang sepak bola. Meski sesungguhnya masyarakat seni rupa Indonesia begitu antusias menonton sepak bola. Ini terbukti dalam keriuhan kata-kata grup WhatsApp yang sudah terceritakan di muka. Tapi siapa tahu prestasi dan seni rupa sepak bola Indonesia itu berkibar semarak esok lusa?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo