Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHADIRAN Ino—diperankan Laura Basuki—ditandai oleh selendang berwarna merah yang ditemukan seorang pembantu rumah tangga yang diserahkan kepada Raden Nana Sunani atau Nana (diperankan Happy Salma), istri Raden Dargawijaya (Arswendy Beningswara Nasution). Disusul hantaran daging sapi terbungkus daun jati, diikuti sebuah amplop merah jambu yang harum berisi pesan pendek ajakan makan siang di rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, sosok Ino yang dicurigai Nana sebagai selingkuhan Darga alias Kang Lurah atau Pak Lurah mulai diketahui ketika Nana mencari satu-satunya penjual daging di pasar diiringi isu tudingan bahwa Ino adalah seorang komunis. Di sinilah sosok Laura Basuki, 34 tahun, dalam film Before, Now & Then (Nana) pertama kali muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkebaya biru tua, Ino mencincang daging, lantas berjalan perlahan memasuki kios penjagalan. Nana tertangkap basah tengah melihat Ino dari kejauhan. Ino menatapnya datar tanpa ada perasaan takut atau kikuk layaknya seorang perempuan yang tertangkap basah sebagai orang ketiga dalam sebuah rumah tangga.
Kemampuan Laura Basuki memerankan Ino sepanjang film Before, Now & Then (Nana) ini menarik perhatian para juri Film Pilihan Tempo 2022. Laura menyuguhkan sosok Ino sebagai seorang perempuan simpanan yang tampak begitu mengenal dirinya secara utuh. “Laura berhasil menggambarkan Ino yang asertif dan jiwa yang lebih merdeka,” kata Leila S. Chudori, salah satu juri.
Kisah dalam film Nana diambil dari bab pertama novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran. Novel ini menceritakan kisah nyata Raden Nana Sunani, seorang wanita yang hidup pada 1960-an di Jawa Barat.
Penampilan Laura Basuki bersama Happy Salma berhasil membuat duo Ino-Nana memiliki chemistry yang begitu intens. Keduanya terlihat bisa betul-betul saling melengkapi dengan menampilkan dua sosok dengan kepribadian yang bertolak belakang.
Berbeda dengan sosok Nana yang sangat memikirkan perasaan lawan bicaranya setiap kali berinteraksi, Ino terlihat tidak punya beban serupa dan memang menunjukkan dirinya tidak ingin dibebani. Laura berhasil menghadirkan sosok Ino yang bisa lugas mengeluarkan segala yang ada di benaknya.
Laura Basuki (kanan) bersama Happy Salma dalam sebuah adegan di film Before, Now & Then (Nana). Dok. Fourcolour Film
Sosok Ino bisa hadir dengan percaya diri di hadapan Nana yang selalu bersembunyi di belakang rumah saat sedang menggelar pesta. Di keluarga besar suaminya, Nana yang bukan berasal dari keluarga menak kerap dianggap remeh.
Dengan elegan, Ino datang menghampiri, membangkitkan kepercayaan diri Nana sembari mengambil rokok yang dijepit di ujung jari. Ino lantas melepas selendangnya dan menyampirkannya di tubuh Nana. Ino memuji kecantikan Nana yang menurut dia tak layak sendirian di halaman belakang rumah ketika menggelar pesta.
“Naha ieu teh kalakah bet calik di dieu, pan itu teh acara salira. Yuk ah urang ka payun (Kenapa ini hanya duduk di sini, kan itu acara kamu. Ayo kita ke depan),” ucap Ino.
Tak ada kecanggungan dari sosok Ino ketika menyapa dan menyentuh Nana. Ia seperti orang yang sudah kenal lama. Serupa kawan dekat, Ino menunjukkan kepedulian dan kasihnya kepada Nana.
Di lain hari, Nana sudah membuka pintu untuk Ino dengan menitipkan putrinya, Dais. Pada kesempatan yang sama, Nana mengembalikan dua selendang milik Ino yang tak sengaja ditemukan di kamarnya dan yang dipinjamkan Ino ketika ada pesta.
Ada sedikit kekikukan yang dihadirkan lewat gestur dan raut wajah Ino saat itu. Namun, bersamaan dengan itu, Laura menghadirkan ekspresi Ino yang bisa segera luwes menyambut permintaan Nana. Sebuah permintaan maaf mengalir dari mulutnya. “Nyi Nana, hapunten (Nyi Nana, maafkan),” tutur Ino.
Saat Ino menerima selendang dari Nana sesungguhnya itu adalah momen yang sangat canggung. Menurut kritikus film Budi Irawanto, memerankan orang yang merasa bersalah dan kikuk adalah hal yang sulit. “Ada kekikukan yang dibangun, tapi bukan tipikal femme fatale. Susah untuk berakting malu, kikuk, merasa bersalah, namun tidak berlebihan. Dan Laura Basuki berhasil,” ujar Budi ketika penjurian.
Setelah melewati momen canggung itu, di hari-hari berikutnya Ino dan Nana menjadi karib. Ino jadi pendengar atas cerita-cerita Nana. Cerita atas masa lalunya, apa yang kini dialami dan dirasakannya, serta bayang-bayang bekas suaminya yang kini kembali hadir di hadapannya.
Keduanya juga berbagi pandangan tentang hidup. Berbagi rahasia dan kepercayaan. Ino menunjukkan keinginannya menjalani kebebasan sebagai perempuan yang bisa berdaya tanpa bergantung pada laki-laki dan tak hidup dibayangi tudingan buruk terhadapnya. Keduanya sama-sama berharap bisa menemukan kebebasan atas hidup masing-masing.
Sebagai perempuan berketurunan Jawa dan Vietnam, Laura mengakui proses tersulit baginya dalam memerankan Ino adalah menguasai bahasa Sunda. Ia tak mau terlihat aneh ketika berdialog dalam bahasa Sunda, yang jadi bahasa utama dalam film ini. “Kesulitan yang paling bisa di-highlight adalah bahasa. Harus belajar cengkok, mengetahui arti, mempelajari aksara, jangan sampai terdengar aku baru belajar,” kata Laura.
Laura Basuki (kiri) beradu peran dengan Happy Salma dalam sebuah adegan di film Before, Now & Then (Nana). Dok. Fourcolour Film
Untuk mengatasi hal itu, Laura diberi mentor bahasa Sunda yang bisa ditanyainya tiap saat. Selama proses pembacaan naskah, Laura didampingi mentor yang mengajarinya menggunakan dialog agar sesuai dengan nada dan perasaan yang tercantum berdasarkan skenario. Laura merekam kalimat-kalimat dialognya untuk terus didengarkan ulang. “Agar kuping makin terbiasa mendengarnya.”
Laura juga banyak berinteraksi dengan Happy Salma yang memang berdarah Sunda. Ia pun banyak mengobrol dan menggali cerita tentang sosok Ino dari Jais Darga, putri kandung Raden Nana Sunani, sahabat Ino. “Saya banyak ngobrol dengan Teh Jais dan Happy untuk menghafalkan dialog dengan natural.”
Laura juga bersyukur karena ini bukan pertama kalinya ia mengenal Happy Salma. Keduanya pernah terlibat dalam proyek pementasan teater. Maka, menurut Laura, kedekatannya dengan Happy sudah terbangun sejak awal. Bagi Laura, tak sulit membangun karakter Ino yang perlahan menjadi karib dalam kehidupan Nana.
Menurut dia, skenario yang dibuat Kamila Andini dan Ahda Imran sudah sangat baik, sehingga ia tinggal mengikuti skenario dan chemistry yang terbangun dengan Happy Salma bisa mengalir begitu saja.
Selama 14 tahun berkarier di dunia film, Laura mengaku terbuka terhadap banyak karakter yang disodorkan kepadanya selama belum pernah ia coba. Dia bisa membayangkan hal apa yang bisa ia berikan untuk menghidupkan karakter tersebut.
Saat peran Ino dan potongan dialog untuk casting disodorkan Kamila Andini, Laura mengaku langsung bisa merasakan sesuatu terhadap karakter dan cerita film tersebut.
Film Nana tak banyak menyuguhkan dialog panjang di antara para pelakonnya. Demikian juga dengan Ino, sehingga Laura banyak mengoptimalkan bermain gestur dan sorot mata. Berhubung karakter dalam film diambil dari kisah nyata, Laura bisa banyak bertanya tentang sosok Ino kepada Jais Darga.
Laura menjelaskan, karakter Ino yang ia tampilkan dalam film tersebut merupakan hasil interpretasinya atas sosok Ino yang diceritakan Jais kepadanya dan arahan dari sang sutradara. “Ino memang sosok yang terbuka, mandiri. Dia punya cerita di balik menjadi simpanan Darga. Dia memang sangat menyayangi Nana dan selalu membela Nana di hadapan keluarga yang kerap memberi perlakuan tidak menyenangkan.” Sebagai Ino, Laura menghadirkan karakter yang membantu tokoh utama mencapai hasratnya.
Atas perannya sebagai Ino, Laura diganjar Silver Bear di Festival Film Internasional Berlin ke-72 pada Februari 2022 untuk Penampilan Pendukung Terbaik. Sejak terjun berkarier di dunia film pada 2008, Laura sudah dua kali membawa pulang Piala Citra sebagai aktris pemeran utama terbaik di Festival Film Indonesia masing-masing untuk film 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (2010) dan Susi Susanti: Love All (2020).
Tahun ini para juri memilih Laura Basuki sebagai Aktris Pendukung Pilihan Tempo 2022 karena lewat seni perannya ia mampu keluar dari gambaran stereotipe tentang perempuan simpanan. “Tapi justru bertransformasi menjadi perempuan yang memiliki kemandirian, kepercayaan diri yang kuat dan menjunjung kebebasan seraya menguatkan perempuan lain,” ujar salah satu juri, Budi Irawanto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo