Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dana abadi kebudayaan akhirnya direalisasikan pemerintah
Akan ada dua komite yang mengawal alokasi dana kebudayaan
Sosialisasi ke seniman masih menjadi pekerjaan rumah
SHINTA Febriany terkenang 2018 lalu saat Teater Kala mendapat bantuan dana kebudayaan dari pemerintah untuk perhelatan tahunan Festival Kala Monolog. Teater Kala yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan, dibentuk Shinta bersama sejumlah seniman pertunjukan. “Bantuan peralatannya komplet sehingga aktivitas kesenian kami terus berjalan,” kata Shinta melalui telepon, Jumat, 1 April lalu. Program yang bersifat stimulus bagi seniman itu diberikan kepada kelompok ataupun perseorangan dan sifatnya nonkomersial.
Menurut dia, bantuan dana dari pemerintah tak hanya memberi energi bagi seniman, tapi juga ekosistem kesenian di Indonesia. Itu sebabnya Shinta mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mengalokasikan dana abadi kebudayaan sebagai bagian dari Dana Indonesiana. Sebelumnya, pemerintah sudah "ancang-ancang" dengan membuat Fasilitasi Bidang Kebudayaan; cikal-bakal implementasi dana kebudayaan yang memberi angin segar untuk seniman. Bantuan itu tentunya disertai syarat terkait dengan portofolio dan legalitas kelompok seni calon penerima bantuan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dan Menteri Keuangan Sri Mulyani meluncurkan Dana Indonesiana pada 23 Maret lalu. Ini adalah bagian dari mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bagi para pegiat seni yang sudah menunggu realisasi komitmen pemerintah, kabar ini disambut sukacita.
Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, Presiden Joko Widodo menjanjikan dana abadi untuk kegiatan budaya sebesar Rp 5 triliun per 2019. Jumlah itu dikucurkan bertahap, Rp 1 triliun pada 2020, Rp 2 triliun pada 2021, dan tahun ini, Kementerian Keuangan merealisasi Rp 3 triliun. Dari pengembangan investasi sejak 2020, Dana Indonesia sudah menghasilkan dana sekitar Rp 200 miliar yang diproyeksikan untuk kegiatan kebudayaan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid menilai Dana Indonesiana menjawab problem mendasar dalam pengembangan ekosistem seni, yakni akses finansial. Sukar disangkal bahwa selama ini seniman kerap terantuk persoalan ini, pun jika mereka mendapat sponsor dari swasta. Sebab, jika itu yang terjadi, sering kali seniman harus mengikuti kemauan pemberi dana yang terkadang berseberangan dengan idealisme mereka.
Problem lain, pihak swasta menuntut imbal balik dari bantuan mereka. “Padahal tidak semua kegiatan seni langsung ada hasilnya,” ujarnya melalui telepon, Kamis, 31 Maret lalu. Di situasi itulah peran negara dalam memberi stimulus dana kebudayaan. Terlebih lagi selama ini banyak kegiatan budaya yang bagus dan digerakkan oleh seniman dengan rekam jejak mumpuni tapi mengalami kesulitan pendanaan. “Jadi Dana Indonesiana kami harapkan bisa memperkuat kebudayaan lewat eksplorasi gagasan dan mewujudkan hal-hal yang selama ini sangat sulit diimplementasikan.”
Hilmar mengungkapkan, nanti akan ada dua lapis tim yang akan bertanggung jawab merealisasi dana kebudayaan. Di lapis pertama, ada satu dewan yang bertanggung jawab menyusun acuan kerja. Untuk tahun ini, misalnya, tim lapis pertama mesti merancang apa saja yang menjadi prioritas pendanaan serta mekanisme seleksi penerima dana kebudayaan. Tim ini rencananya diperkuat anggota lintas profesi yang representatif, misalnya dari akademikus, seniman, dan rekanan di bidang seni.
Adapun tim kedua bertugas menyeleksi proposal yang masuk, berbekal acuan kerja yang sudah disusun tim lapis pertama. Tugasnya tak mudah, mengingat tahun lalu ada 6.600 proposal kegiatan Fasilitasi Bidang Kebudayaan, tapi hanya 128 yang lolos seleksi. Hilmar menyebutkan baik di tim lapis pertama maupun kedua tak bakal ada pegawai pemerintah. “Sebisa mungkin pemerintah tidak punya kepentingan dalam proses seleksi ini. Karena ini dana publik, jadi perwakilan masyarakatlah yang berpartisipasi menyeleksi,” katanya.
Ihwal pertanggungjawaban dana oleh seniman hingga kini masih dirumuskan Kementerian Pendidikan bersama Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Hilmar menyadari situasi di lapangan yang dinamis kadang menyulitkan seniman untuk berdisiplin dalam administrasi. “Misalnya, anggaran pawang hujan gitu kan susah kalau kita ukur degan standar satuan biaya,” ujarnya. Karena itu, ia berharap nanti aktivitas pegiat seni berfokus menggelar acara, sedangkan laporan pertanggungjawaban akan disusun dengan mekanisme sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shinta Febriany. Dok Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut seniman teater Shinta Febriany, laporan pertanggungjawaban bukan hal yang semestinya dicemaskan. “Tak apa jika itu diberlakukan, karena yang dipakai berkegiatan kan uang publik. Seniman juga mesti belajar standar manajemen yang baik,” tutur Shinta, yang juga Ketua Umum Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri). Hal itu, menurut dia, justru akan memacu seniman untuk membenahi tata kelola. Teater Kala dan Penastri yang diasuhnya pun sudah berbadan hukum. “Penting bagi lembaga seni mempunyai legalitas sebagai bentuk keseriusan pengelolaan organisasi.”
•••
CITA-cita ihwal dana kebudayaan sudah muncul sejak 2012. Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay mengatakan gagasan itu lahir setelah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, bergulir ide agar negara menyediakan dana kebudayaan. Pertimbangannya, tak mudah bagi pegiat seni untuk bekerja sama dengan pihak swasta.
Setelah melewati proses berliku, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan disahkan pada 2017. Ini menjadi alasan kuat, termasuk bagi Koalisi Seni, untuk mendorong pemerintah menyediakan dana kebudayaan. “Kami intervensi dalam hal strategi kebudayaan, termasuk di dalamnya dana untuk kegiatan seni dan budaya,” ujar Hafez melalui telepon, Kamis, 31 Maret lalu. Karena itu, Koalisi mengapresiasi positif saat Rp 1 triliun dana abadi kebudayaan direalisasi pada 2020. “Walau di tahun yang sama anggaran untuk pendidikan dan riset mencapai Rp 5 triliun,” tuturnya.
Menurut Hafez, keberadaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan sebelum ini menjadi semacam pemanasan untuk mengelola dana abadi kebudayaan. Koalisi Seni sendiri ikut memantau pelaksanaannya, baik dalam transparansi maupun akses kelompok rentan terhadap FPK. Sejauh ini, Hafez menilai FPK sudah terbuka pada publik ihwal pertanggungjawaban dana bantuan.
Yang masih menjadi pekerjaan ke depan, menurut Koalisi Seni, adalah sosialisasi kepada para seniman. Tak hanya ihwal mekanismenya, tapi juga strategi penyusunan proposal yang layak lulus seleksi. Perihal ini, kata Hafez, belum dipahami banyak seniman. “Baru segelintir seniman yang sudah punya pengalaman bertemu sponsor perusahaan dan mengelola dana swasta,” ujarnya.
Dari hasil riset Koalisi Seni pada 2016, tercatat ada separuh responden (pegiat seni) yang tidak punya rekening bank, belum berbadan hukum, dan belum mengaudit keuangannya secara berkala. “Ini tentunya bakal membuat seniman gagal duluan jika mengajukan proposal kegiatan. Karena itu, kami mendorong agar seniman juga memperbaiki tata administrasinya,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo