Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH salah seorang murid Yesus dianggap paras Fajar Suharno. Vincensius Dwimawan ingat, drawing wajah murid Yesus yang dibuat dan diunggahnya di laman Facebook pernah mendapat protes dari sohibnya, aktivis teater Edo Nurcahyo. “Kalau kamu nggambar Fajar Suharno, ya harus nggambar juga Tertib Suratmo. Mereka itu Nakula Sadewanya teater Yogyakarta,” tulis Edo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya, drawing wajah murid Yesus salah dikira sebagai wajah dedengkot teater Yogya yang sudah sepuh, Fajar Suharno, 75 tahun. Sius—panggilan akrab Vincensius—pun membuat drawing wajah Tertib Suratmo, 82 tahun. Fajar dan Tertib sama-sama pendiri Teater Dinasti. Itulah awal Sius mulai menggambar kalangan seniman Yogya. Dia pun membuat drawing wajah teman, sahabat, dan koleganya. “Kebanyakan memang drawing teman-teman teater,” kata Sius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat ratus drawing wajah itu menempel rapi di dinding-dinding putih ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta (10-16 Agustus 2022). Saat masuk pintu utama, penonton digiring ke kiri melihat drawing wajah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X beserta istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan anak sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi. Lalu ada antara lain wajah Kepala Dinas Kebudayaan Paniradya Keistimewaan, juga Kepala Taman Budaya Yogyakarta dan mantan Kepala Taman Budaya Yogyakarta.
Kemudian gambar kelompok seniman panggung teater yang memanjang dimulai dari sosok Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Edo Nurcahyo, Marwoto “Kawer”, Susilo “Den Bagus Ngarso” Nugroho, Butet Kartaredjasa, sampai Whani Darmawan. Lalu para sesepuh seperti Fajar Suharno, Tertib Suratmo, dan Landung Simatupang. Drawing wajah Halim HD pun masuk kelompok teater menilik perannya sebagai sosok yang menumbuhsuburkan teater kampus pada 1970-an. Kemudian ada Yu Beruk, Ami Simatupang, dan Cicit Kaswami.
Ada juga gambar kelompok seniman muda teater yang dikenal Sius saat acara reriungan di kediaman Cak Nun pada 2021. Acara itu mempertemukan seniman teater tiga generasi. Ternyata mereka punya kerinduan yang sama untuk berpentas lagi. Hingga akhirnya dipentaskanlah lakon Mlungsungi pada tahun itu. Kemudian ada kelompok para perupa, dari anggota Sanggar Bambu, Djoko Pekik, Kartika Affandi, Bayu Wardhana, dan Putu Sutawijaya; para kurator; hingga perupa-perupa muda. Tak ketinggalan drawing wajah para jurnalis yang bergabung dalam Persatuan Wartawan Sepuh. Juga sejumlah tokoh, akademikus, budayawan, penyair, dan sastrawan seperti Sindhunata, Romo Kirdjito, Ashadi Siregar, Faruk H.T., Joko Pinurbo, dan Romo Banar.
Sius mampu mengekspresikan wajah-wajah itu secara hangat. Tekniknya juga demikian realis. “Ada yang berkomentar wajahnya lebih muda 10 tahun,” ucap Sius, lalu tertawa. Kebanyakan dari mereka meminta dibuatkan gambar wajah. Tapi tak sedikit yang dibuat Sius secara diam-diam untuk kejutan. Halim HD salah satu yang dibuat terperenyak saat mendapat kiriman gambar itu. “Saya kaget sekali. Bukan main ini. Saya tahu dia dari seni rupa, tapi belum pernah lihat drawing-nya,” ujar Halim.
Beberapa kolega ada yang mengirim foto diri untuk digambar. Namun ada sejumlah foto yang ditolak Sius lantaran tak sesuai dengan keinginannya. Dia lebih suka wajah yang difoto secara candid, natural, dan santai ketimbang pose pasfoto seperti untuk kartu tanda penduduk atau surat izin mengemudi. Untuk mendapatkan yang diinginkan, Sius memilih bergerilya mencari di akun media sosial para tokoh itu. Mayoritas foto menggambarkan raut wajah gembira, meski tak harus tertawa.
Di tengah kegembiraan, Sius juga berbagi kedukaan. Dari 400 drawing wajah itu, 35 pemilik wajah meninggal selama Sius berproses. Ada wajah mendiang pendiri Sanggar Bambu, Soenarto Pr.; maestro ketoprak Bondan Nusantara; maestro pantomim Jemek Supardi; seniman Teater Alam, Azwar A.N.; pematung Edhi Soenarso; pemusik Djaduk Ferianto; dan pelawak Sugeng Iwak Bandeng. Tatkala Bondan Nusantara wafat, drawing karya Sius atas wajah Bondan disandingkan di ujung peti jenazah sang maestro. Sius memasang sketsa wajah mereka yang sudah almarhum ini di tengah ruang pamer. Ia mencetak dengan printer sketsa wajah para tokoh itu di atas kain-kain panjang yang digantung di tengah ruang. Di bawahnya ditebar kembang mawar. “Ini umbul donga. Mengunggah doa kepada Yang Kuasa,” tutur Sius, yang juga menyajikan sesaji dua tampah berisi aneka buah dan makanan.
Proses pembuatan 400 drawing itu sendiri sangat santai. Tak diburu tenggat laiknya selama 27 tahun Sius bekerja sebagai art director majalah Dewi, majalah fashion yang satu grup dengan Femina. Sejak pensiun empat tahun lalu, ia mengisi waktunya dengan melukis. Saat jenuh, ia renggangkan jemarinya dengan membuat drawing wajah teman-temannya. Sehari bisa satu, dua, bahkan enam gambar. Baru kemudian ia balik lagi melukis. Sius memilih drawing dengan warna hitam-putih. Selain lebih simpel, ia tak ingin terjebak dengan warna. Lewat drawing, Sius menonjolkan detail arsiran dan garis pada gambar. Termasuk penebalan warna gelap pada gambar. Lantaran itu pula ia menghindari teknik dussel dengan cara menggosok untuk memberi efek gelap.
Vincesius Dwimawan tak mematok harga sepeser pun untuk karyanya. Siapa pun teaterawan atau pekerja seni Yogyakarta yang digambar Sius dipersilakan membawa pulang gambar wajahnya. Sius juga rileks soal biaya bingkai drawing. “Anggap saja ini ibadah seni,” ucap Sius.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo