Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas teater-film Petang di Taman oleh Iwan Burnani Toni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tafsir baru naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang.
Adegan panggung disajikan layaknya tayangan bioskop.
TAMAN seharusnya menjadi sebuah tempat istirahat. Taman seyogianya menjadi tempat yang meneduhkan hati. Seseorang mampir dan duduk di sebuah bangku taman umumnya untuk rehat sejenak—melepas lelah dan mencari ketenangan. Namun ternyata taman di sebuah kota seperti Jakarta bukan tempat yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Ia justru menjadi sumber ketegangan dan konflik. Ini adegan Petang di Taman, naskah drama populer Iwan Simatupang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah itu kerap dimainkan di mana-mana. Namun, di tangan Iwan Burnani Toni, naskah ini secara menarik mendapat “kebaruan” dengan ditayangkan dalam format layar lebar, sebagaimana kita menonton bioskop. Selama masa pandemi Covid-19, kita melihat banyak pentas teater yang ditayangkan di YouTube. Tapi sensasi yang terasa memang berbeda bila melihat teater ditampilkan di layar perak dan ditonton langsung. Belum pernah yang demikian dicoba di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tayangan teater itu gabungan antara scene di luar dan di atas panggung. Film didahului dengan adegan outdoor tiga tokoh, lelaki setengah baya (diperankan Joind Bayuwinanda), lelaki tua (Taslim Idrus), dan pemuda (Ade Bilal), di jalanan Jakarta. Lelaki setengah baya berjaket Levi’s lusuh itu menyeberang dan kemudian menyusuri rel kereta, sementara si lelaki tua mengendarai sepeda antik. Kamera mengikuti kayuhannya. Di sebuah tikungan, dompetnya jatuh. Seorang pemuda meraih dompet itu dan berusaha mengejar sepeda tersebut dengan terengah-engah.
Taslim Idrus saat menjalani proses syuting di luar studio. Dok. Citrus Sinema
Ternyata sepeda itu mengarah ke sebuah taman. Begitu pula langkah lelaki berjaket Levi’s dekil tersebut. Taman itu bukan taman betulan, melainkan panggung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang oleh perupa Mas Padhik ditata bak sebuah taman. Di situ 95 persen adegan berlangsung. Dinding bagian belakang panggung dibuka membentuk lorong. Dari situ sepeda masuk ke panggung. Transisi antara adegan outdoor ke indoor cukup mulus dan tak terputus.
“Saya ingin menggabungkan film dan teater,” kata Iwan Burnani, 71 tahun. Di kalangan seniman, Iwan dikenal sebagai murid W.S. Rendra. Ia menjadi anggota Bengkel Teater sejak 1972 di Yogyakarta dan terlibat dalam pentas-pentas penting kelompok tersebut, dari Mastodon dan Burung Kondor, Kisah Perjuangan Suku Naga, Lysistrata, sampai Selamatan Cucu Anak Sulaiman. Di Jakarta, ia mendirikan Teater Baling-Baling. “Semua adegan saya ambil cut to cut (adegan per adegan) persis syuting film. Bahkan ada sebuah adegan yang membutuhkan retake sampai delapan kali,” ujarnya. Iwan bercerita, syuting di panggung memerlukan waktu dua hari. “Saya memakai tiga kamera.”
Untuk keperluan pertunjukan teater-film ini, ia merombak naskah Petang di Taman, tidak mentah-mentah menyajikan karya aslinya. “Saya berusaha menangkap intinya, membuatnya lebih realistis, dan kemudian mempertajam kemungkinan konfliknya,” kata Iwan. Ia menciptakan karakter baru yang tidak ada dalam naskah asli Iwan Simatupang itu. Naskah asli yang hanya punya empat tokoh ia buat memiliki enam tokoh dengan menambahkan sesosok orang tua yang tiduran di bangku serta ilustrasi tari Davit Fitrik dan Eka Octaviana, yang menjadi semacam “adegan khayali” yang mengawali adegan percakapan di taman.
Joind Banyuwinata (kanan) dalam Petang di Taman. Dok. Citrus Sinema
Sejak detik pertama memang dialog langsung digenjot ke percekcokan. Saat lelaki bersepeda itu melihat bangku di taman digunakan untuk tiduran oleh seseorang yang sebaya dengannya (Edward AN), ia langsung mengomel dan mengatakan bangku tersebut milik umum. Adu mulut terjadi. Tatkala pemuda yang berusaha menyelamatkan dompetnya datang, kekisruhan lain menyusul karena lelaki tua itu tak berterima kasih dan malah menuduh sang pemuda mengambil uangnya. Lelaki setengah baya yang rupanya seorang pengarang, yang tadinya berusaha abai dan tetap asyik mengetik, berusaha menengahi keributan. Tapi ia justru ikut terombang-ambing.
Konflik menjadi berlapis saat sesosok badut (Mohan Mehra) yang membawa balon datang ke taman. Dalam naskah Iwan Simatupang, sosok pencinta balon itu bukan tokoh dengan dandanan lucu, bertopi, berhidung merah, dan berpakaian kombor totol-totol seperti orang hamil. Badut kekanak-kanakan itu menangis saat balonnya melayang dan tersangkut di pohon. Di tengah kemunculan badut yang aneh itu, tiba-tiba hadir seorang perempuan (Maya Azeezah) dengan kereta dorong berisi orok bayi. Perempuan tersebut terlihat dilanda stres. Ia mencari-cari lelaki tak bertanggung jawab yang meninggalkan bayinya.
Perempuan itu entah bagaimana langsung merasa badut tersebut adalah laki-laki begundal yang ia cari. Laki-laki penodanya yang menyamar. Perempuan itu seperti kalap dan memaksa si badut mengaku dan membuka penyamarannya. Badut yang gugup berekspresi seolah-olah dialah orang yang dicari. “Ayo, buka tanganmu, ayo, buka,” ucap perempuan itu kepada badut yang menutupi wajahnya. “Bukan saya, bukan saya, saya cuma sekali,” tutur badut itu mengerang ketakutan seolah-olah ia memang pernah melakukan hal yang dibicarakan. Sampai akhirnya tangan perempuan itu merenggut kuat tangan si badut dan kemudian menghapus makeup untuk mengetahui wajah aslinya. Ternyata bukan. Ia lelaki lain. Sebuah adegan yang bagus.
Poster Petang di Taman. Dok. Citrus Sinema
“Saya bikin pencinta balon itu bersosok badut agar adegan penyekaan wajah ini masuk akal dan dramatis,” kata Iwan Burnani. Lelaki tua yang menjengkelkan dan selalu mengajak siapa pun berperang kata tersebut juga memiliki riwayat yang menyedihkan. Istri pertamanya wafat. Istri keduanya kawin lagi dengan seorang pemuda dan menyita semua hartanya, bahkan sikat giginya. Ia harus tinggal di gudang ditemani seekor kucing yang kemudian hilang. Satu-satunya harta benda yang tersisa adalah sepeda tuanya. “Sepeda itu juga tambahan dari saya dan tidak ada dalam naskah Iwan Simatupang. Sedangkan dialog persoalan sikat gigi itu saya perpanjang agar ada nuansa komedinya,” ujar Iwan.
Tambahan-tambahan adaptasi itu, Iwan menjelaskan, ia dapatkan dari pengalaman pribadinya. “Saya membayangkan taman itu seperti TIM pada 1970-an. Dulu sebelum Teater Terbuka TIM dibongkar ada bangku panjang beton di sampingnya. Di belakang bangku tersebut masih banyak tanaman dan pohon. Nah, di situ saya sering tidur dan pernah mengetik naskah. Saya ingat pernah diminta membuat naskah oleh Renny Djajoesman untuk pementasan Teater Adinda. Saya mengetik di taman itu dan tidur di situ,” Iwan mengenang.
Iwan juga ingat, suatu hari di TIM pada 1980-an ia bertemu dan bercakap-cakap dengan orang tua yang tidak ia kenal. Tiba-tiba lelaki tua itu mentraktirnya menonton film. Anehnya, di dalam gedung bioskop, lelaki itu tidur sampai film selesai. Kepada Iwan, lelaki itu mengaku tidak bisa tidur di rumah dan merasa rileks, lepas, saat berada di TIM “Lelaki itu ternyata rumahnya di Pondok Indah. Saat pulang saya lihat ia mengendarai mobil mewah,” kata Iwan. Sosok lelaki itulah yang kemudian ia jelmakan menjadi tokoh tua yang tiduran di bangku. “Edward, yang memerankan sosok ini, saya suruh membayangkan Bob Sadino, lelaki kaya, bercelana pendek, yang suka santai jalan ke mana saja,” ujarnya.
Dari segi visual, tontonan layar lebar yang berangkat dari panggung ini memiliki resolusi cukup tinggi. Sound dialognya juga terdengar bersih dengan volume kuat. “Dialog memang sesungguhnya kami dubbing semua. Para aktor mengulang semua dialog di studio. Makanya dialog menjadi jelas,” ucap Iwan.
Menurut Iwan, grading colour dalam editing juga diupayakan maksimal agar adegan di panggung pun bisa maksimal secara visual. “Semua kami persiapkan untuk ukuran layar lebar. Makanya saat disorot ke dinding 5 x 88 meter TIM bisa terang. Saya menggunakan proyektor 5.000 lumen, laser,” kata Iwan. Walhasil, resep Iwan cukup memberi tawaran. Bila genre dance film sudah dikenal di kalangan penari kita—sudah ada festivalnya di Jakarta—bukan tidak mungkin “terobosan” teater-film Iwan ini akan dilanjutkan teaterawan lain.
Taman adalah tempat lalu-lalang banyak manusia dengan segala kegetiran persoalan masing-masing. Setelah taman kembali sepi, Joind Bayuwinanda, pemeran pengarang yang gagal, merebahkan tubuhnya di bangku. Matanya menatap langit yang hitam. Kamera meng-closeup raut mukanya yang tampak letih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo