Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Seni Rupa dan 'Wild Wild West' NFT

Fenomena Ghozali Everyday membuka lagi pembahasan tentang karya seni di pasar NFT. Seberapa menguntungkan?

22 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • NFT mulai ditekuni seniman Indonesia dua tahun belakangan.

  • Belum banyak galeri lokal yang menyentuh pasar NFT.

  • Walau menguntungkan seniman, NFT punya kelemahan dalam hal hak cipta.

LUKISAN itu terasa dingin: sesosok perempuan cantik dengan tatapan mata kosong tengah memegang sebatang rokok. Ia tak mengisap rokok itu. Bibirnya yang tebal terkatup rapat. Ia membiarkan kepulan asap bergelombang menyelimuti tubuhnya. Separuh paras monokrom perempuan itu tersaput warna merah. Perempuan itu mengenakan kimono merah dan bermantel hitam. Rambutnya yang panjang digelung apa adanya. Beberapa helai rambutnya jatuh tak beraturan tergerai di wajahnya. Di bahu perempuan itu bertengger figur burung bangau berparuh merah. Bulan putih berada di samping burung itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya bertajuk Feenstorch ini digambar Ajay Ahdiyat, ilustrator dan seniman visual yang tinggal di Kuningan, Jawa Barat. Feenstorch—berasal dari bahasa Jerman yang berarti peri bangau—adalah salah satu aset digital Ajay yang terjual di pasar daring Foundation. Lukisan non-fungible token (NFT)—aset digital yang ditautkan ke sistem besar blockchain—berdimensi 4.000 x 5.000 piksel itu dilego pada akhir Oktober lalu senilai 0,66 ethereum (ETH) atau sekitar Rp 27,36 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transaksi sukses Ajay di pasar daring bukan cuma itu. Belum genap setahun, ia sudah berhasil melego hampir seratus karya digital dengan harga termurah 0,06 ETH atau sekitar Rp 2,4 juta. Transaksinya tersebar di empat platform. Di OpenSea ada lebih dari 50 karya yang terjual, 19 di Foundation, 26 di Hic et Nunc, dan 1 di KnownOrigin. Sebagian kolektor yang identitasnya bisa dilacak kedapatan berulang kali membeli karya Ajay. “Mereka mengaku tertarik pada obyek figuratifnya dan meriset karya-karya saya sebelum ini, termasuk yang dipajang di media sosial,” ujar dosen desain komunikasi visual Universitas Kuningan itu melalui telepon, Kamis, 20 Januari lalu.

Dengan volume transaksi yang tinggi itu, pendapatan Ajay dari NFT terbilang lumayan. Ajay mengenang, pada Oktober 2021, ia mendonasikan sebagian pendapatannya untuk renovasi masjid di Kuningan, sesuai dengan harapan bapaknya sebelum meninggal. Bahkan, kata dia, pendapatan dari NFT lebih cuan daripada hasil pekerjaannya “di dunia nyata”.

•••

SEBELUM Ghozali Everyday membikin kegaduhan dengan swafotonya, non-fungible token art sudah menjadi perhatian kalangan seniman digital dan kolektor. Di sejumlah pasar daring NFT, karya-karya seni itu bisa dijual dengan bayaran mata uang digital atau cryptocurrency yang disimpan di dompet digital. Untuk bisa bertransaksi di dunia NFT, beberapa platform NFT memberlakukan syarat bagi penggunanya. Misalnya seniman harus membayar biaya pendaftaran atau gas fee dulu. Namun, dalam penjualannya, tak ada lagi biaya untuk pihak ketiga seperti yang lumrah diberikan kepada galeri bila seniman menjual karya fisiknya via galeri. Semua transaksi dalam NFT ini tercatat di metadata berupa blockchain. Bila karya terjual, uang digital yang didapatkan bisa ditukar dengan uang betulan.

Mereka yang berprofesi ilustrator ataupun desainer grafis menyadari potensi aset digital ini sejak 2008. Para kolektor juga mulai mempelajari seluk-beluk potensi pasar dan ragam karya yang beredar di platform NFT. Atensi para pelaku seni rupa terhadap dunia NFT makin besar pada 2019, setelah ada sejumlah transaksi fantastis. Kondisi itu yang membuat orang-orang mulai kesengsem.

“Kami para perupa tradisional terkaget-kaget dan gemas pengin ikutan. Dengan sejumlah kelebihan NFT, siapa yang enggak ngiler?” ucap seniman R.E. Hartanto alias Tanto saat dihubungi, Senin, 17 Januari lalu. Menurut perupa lulusan Institut Teknologi Bandung itu, banyak seniman tradisional—begitu ia menyebut para perupa yang melahirkan karya dalam bentuk fisik—mencoba terjun ke dunia baru ini. Para perupa mulai mempelajari pasar daring dan format serta jejaringnya di sejumlah platform dan media sosial.

Ajay Ahdiyat. Dok. Pribadi

Ajay Ahdiyat sendiri mengenal NFT pada 2020, saat token digital ini mulai dibahas di wadah diskusi daring Clubhouse. Namun ia baru menjajalnya langsung pada pertengahan 2021. Pertimbangannya, NFT mempunyai banyak kelebihan yang menguntungkan seniman. Yang pertama adalah soal royalti, yang akan diperoleh seniman jika kelak kolektor menjual karya itu ke pembeli lain. Kelebihan kedua terkait dengan kebebasan berkarya. Yang ketiga adalah soal harga. Di pasar daring, Ajay menerangkan, seniman bebas menentukan harga karya NFT-nya. Walau ada mekanisme menawar, keputusan akhir tetap berada di seniman. Harga jual ini pun bisa dioptimalkan karena tak ada biaya pihak ketiga.

Berbagai kelebihan NFT yang menguntungkan seniman juga mendasari langkah Mico Prasetya menekuninya. Ilustrator dan desainer grafis ini dikenal dengan karyanya yang kaya akan sentuhan budaya Indonesia. Seperti halnya Ajay, Mico adalah pendatang baru di dunia NFT. Ia baru menjajaki peluang ini pada awal tahun lalu, dibantu seorang kawan yang kemudian menjadi manajernya. Untuk mengenalkan karyanya, Mico bergabung dengan kelompok diskusi NFT di Twitter dan Discord. Di situ ia tak hanya memperluas jejaring, tapi juga mempelajari strategi pemasaran NFT dan hal lainnya. Ia juga beberapa kali memasarkan karya di Twitter karena fiturnya yang lebih ramah kreator. Pada pertengahan 2021, karya NFT-nya yang dipasarkan seharga 0,2-0,25 ETH terjual untuk pertama kalinya. Karya itu berupa gambar tokoh pewayangan dengan aksen gunungan, juga motif batik. “Saya mengambil tema wayang setelah mengamati banyak karya NFT bertema fantasi dan gotik,” tuturnya.

Ihwal NFT menjanjikan prospek mengkilat untuk seniman diakui Weldy Rhadiska, fotografer yang juga kreator aset digital. Namun, di sisi lain, ekosistem baru ini rentan membikin seniman tertekan secara psikologis. Ia mencontohkan sejumlah seniman yang mengalami stres dan tak kuat menghadapi kecepatan di pasar daring. Ada juga perupa yang di dunia nyata sudah punya nama besar, tapi karya NFT-nya tak laku berbulan-bulan lamanya. Tekanan mental ini lahir lantaran sebelumnya definisi seni cenderung ditentukan galeri, sementara di pasar NFT seni dilihat oleh mata obyektif pasar.

Weldy mengalaminya sendiri. Sebagai fotografer, ia semula menjual foto-foto lawasnya di pasar daring NFT. Namun ternyata aset ini tak mudah dilego. Sampai akhirnya Weldy mencetuskan ide baru memasarkan kartu identitas alien yang ceritanya dipakai di masa depan. Di semesta bikinan Weldy, manusia mesti memiliki kartu tanda penduduk alien jika ingin beraktivitas di bumi. Tak disangka, banyak kolektor tertarik membeli KTP gaya-gayaan ini.

•••

MENURUT kolektor dan pengamat pasar seni rupa Wiyu Wahono, sebagian besar karya NFT di lokapasar atau marketplace berbentuk digital still image atau digital moving image (dalam format JPEG atau MP4). Non-fungible token bukan hanya berformat gambar, tapi juga bisa berbentuk video, gambar bergerak (GIF), ataupun bentuk lain yang memiliki rekam digital orisinalitas. “Karya-karya seperti ini sesungguhnya eksis sejak berpuluh tahun lalu. Saya pribadi mulai mengoleksinya 15 tahun lalu. Bedanya dengan membeli karya digital NFT hari ini adalah kita mendapatkan token. Token ini menjadi penting bagi pemilik NFT art yang menilai karya seni dari segi komersial,” kata Wiyu. Dalam dunia NFT sejauh ini, karya seniman digital Mike “Beeple” Winkelmann berjudul Everydays: The First 5000 Days menjadi NFT termahal di dunia. Karya tersebut terjual di rumah lelang Christie’s senilai sekitar Rp 1 triliun. 

Everydays: The First 5000 Days. onlineonly.christies.com

“Saya pribadi sudah mulai tertarik pada seni rupa NFT di akhir 2020 dan awal 2021 sudah mulai mengoleksi NFT art sebelum semua orang terjebak dengan karya Beeple yang satu itu,” ujar Wiyu. Menurut dia, sesungguhnya secara teknologi ada karya lain yang lebih dahsyat yang terjual di pasar NFT, yaitu Replicator karya Mad Dog Jones. Tapi karya ini terjual lebih murah, yaitu senilai US$ 4,1 juta. “Karya ini secara teknologi jauh lebih menarik daripada karya Beeple,” katanya. Wiyu dikenal sebagai kolektor yang memfokuskan diri mengoleksi karya scientific technological art. Wiyu menilai pencipta karya di dunia NFT berpeluang mengeksplorasi sisi itu.

Wiyu melihat di dunia NFT kebanyakan kolektor mengapresiasi karya karena meningkatnya harga. Profit menjadi standar baru dalam menilai apakah suatu karya baik atau buruk. “Saya kira mereka yang membeli karya seni di NFT memang banyak yang berdasarkan pertimbangan investasi,” ujar Iwan Kurniawan Lukminto, pemilik Museum Tumurun di Solo, Jawa Tengah. R.E. Hartanto, setelah mempelajari NFT, menganggap selera kolektor di pasar daring tak bisa ditebak. Walau secara garis besar citra gambar bertema futurisme dan surealisme banyak berseliweran di dunia NFT, hal itu tak bisa didefinisikan sebagai permintaan pasar.

Adapun Ajay Ahdiyat mengakui kebanyakan karyanya dibeli kolektor luar negeri. Terkait dengan hal ini, menarik bahwa Ajay juga menjadi kolektor dengan membeli karya seniman digital mancanegara. Salah satu yang ia beli adalah proyek Ziggurats karya musikus Mike Shinoda. Selain Shinoda, sejumlah selebritas mancanegara turut serta dalam hype NFT, seperti Steve Aoki, Shawn Mendes, juga Eminem.

•••

RACHEL Gallery sejauh ini bisa disebut sebagai satu-satunya galeri seni lokal yang masuk ke pasar non-fungible token. Project Officer Rachel Gallery Pamuji Slamet mengatakan mereka melirik pasar daring setelah pandemi Covid-19 mengeblok semua kegiatan dan proyek galeri. Akhir 2020, tim galeri mulai mempelajari NFT, walau sebenarnya sudah pernah mendengarnya sekelebat di sejumlah forum, seperti Art Basel 2018 dan Miami Art Week 2018. “Aku jadi merasa kita di sini telat banget tahu soal ini. Banyak pelaku seni baru ngeh tahun lalu, padahal balai lelang bergengsi seperti Christie’s sudah memamerkan karya yang memakai sistem blockchain,” ujar Pamuji melalui telepon, Rabu, 19 Januari lalu.

Pamuji akhirnya mulai menjalin kontak dengan seniman yang berjejaring dengan Rachel Gallery. Pihaknya juga menyambangi komunitas seniman di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta untuk membuka komunikasi mengenai NFT. Dari situlah Rachel Gallery mulai bekerja sama dengan para perupa, dengan skema berbeda-beda. Ada seniman yang dituntun sejak tahap pembuatan dompet digital hingga pemasaran. Namun ada juga yang meminta bantuan pada tahap akhir saja. Bentuk kerja sama dan bobot kerja inilah yang mempengaruhi jumlah komisi yang diterima Rachel Gallery. 

Pamuji mengakui tak mudah bagi Rachel Gallery untuk mengajak seniman berkecimpung di pasar NFT. Para kreator baru tergerak pada 2021, saat karya Beeple terjual di balai lelang Christie’s dengan harga fantastis. Pada tahap awal, kata Pamuji, galerinya hanya berhasil menjaring 15 perupa. Kebanyakan dari mereka adalah seniman tech-savvy, tak gagap teknologi. Pada saat yang sama, Rachel Gallery menebarkan informasi tentang NFT lewat sejumlah pelatihan, juga membangun pasar. “Kami menyadari di sini dulu belum ada pasar NFT. Akhirnya kami menggarap itu karena seniman pastinya sudah tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti ini,” tuturnya.

Pengunjung berfoto di depan instalasi seni yang akan diubah menjadi NFT di Digital Art Fair, di Hong Kong Cina, September 2021. REUTERS/Tyrone Siu/File Foto

Namun baik galeri maupun seniman digital yang sadar akan dunia NFT juga mengakui bahwa NFT masih memiliki sejumlah kekurangan, terutama tentang plagiarisme. Walau mekanisme blockchain secara otomatis merekam transaksi, problem mengenai duplikasi dan plagiarisme karya di dunia NFT masih susah dihindari. Di dunia NFT, seseorang bisa memindai karya orang lain, kemudian menjualnya di platform atas nama diri sendiri. Belum ada solusi untuk masalah tersebut. “Susah memang menyikapi kreator yang menjiplak karya seniman lain,” ujar Mico Prasetya.

Menurut Mico, kekurangan lain ada pada identitas kolektor yang terkadang anonim. Mico merasa hal itu menyulitkan dirinya sebagai seniman untuk berinteraksi ataupun meminta umpan balik dari kolektor karyanya. R.E. Hartanto pun melihat potensi plagiarisme di dunia NFT besar. Hingga kini, menurut dia, belum ada mekanisme pasti penindakan kecurangan di pasar NFT. Tanto menjelaskan, bila muncul dugaan penjiplakan, seniman bisa melapor ke pasar daring untuk men-delisting atau mencopot karya bajakan. Sayangnya, tak ada regulasi ataupun badan khusus yang secara legal dapat memberi sanksi kepada para penipu. Kondisi ini disebut Tanto mirip dengan zaman koboi “Wild-Wild West” dalam film-film Amerika Serikat. "Jadi ini mirip zaman ‘Wild Wild West’, zaman koboi dulu. Di East Coast ada banyak emas, tapi di sana juga banyak penipu, perampok, dan orang Indian," kata Tanto.

Kendati banyak kekurangan, pasar NFT dianggap Mico akan makin diminati. Mengutip DappRadar, transaksi penjualan NFT secara global mencapai US$ 25 miliar sepanjang 2021. Apalagi dunia virtual tiga dimensi yang dihuni avatar orang sungguhan terus dikembangkan. Bukan hanya Facebook yang sudah melirik jagat metaverse, tapi juga perusahaan besar lain seperti Microsoft. Merek mode Burberry dan Gucci pun sudah merilis koleksi mayanya. “Selama dunia digital tidak mati, NFT akan bertahan lama. Kita bisa membayangkan nanti di metaverse akan ada galeri-galeri yang memajang karya NFT,” tutur Mico.

•••

Ajay Ahdiyat memandang, foto-foto selfie Ghozali Everyday yang laku senilai miliaran rupiah mirip dengan “boom seni rupa” pada 2007. “Hal semacam ‘goreng-menggoreng’ konten untuk menaikkan nilai itu bisa saja terjadi. Ghozali dalam sebuah wawancara pun bilang bahwa NFT-nya mungkin terjual karena proses seperti itu,” ujarnya.

Wiyu Wahono melihat cryptocurrency makin hari makin penting dalam kehidupan kita. Juga untuk pasar seni. “NFT art adalah satu bentuk karya seni yang penting untuk dikoleksi dan akan tetap sustained hingga masa yang akan datang,” katanya. Tapi, dia menambahkan, masa depan NFT art masih sangat dini untuk diprediksi. Tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan NFT art akan mencengangkan seperti apa.

R.E. Hartanto berharap kualitas karya yang dipasarkan di platform NFT makin tinggi. “Di marketplace NFT, mencari karya yang bagus sesungguhnya seperti mencari emas dalam lumpur,” ucapnya. Pendapatnya itu sejurus dengan Sturgeon’s Law yang menyebutkan “90 percent of everything is crap”. Kondisi pasar NFT yang masih belum bisa diduga sama sekali dan “volatile” terhadap penipuan itu membuat Weldy Rhadiska membuat komunitas: The Monday Art Club. Komunitas ini menaruh perhatian pada dampak psikologis NFT. “Buat orang yang suka membandingkan sesuatu, pasar ini bakal berat banget. Sebab, kita bisa melihat karya orang lain laku dengan cepat, sementara kita merasa sudah bikin karya yang jauh lebih rumit dari dia. Makanya kami di komunitas menyarankan seniman tak perlu berekspektasi tinggi, apalagi menganggap NFT adalah jalan pintas mencari uang.”

Ajay juga mengaku tak bergantung sepenuhnya secara finansial pada NFT. Itulah sebabnya, dalam memasarkan karyanya di platform NFT, Ajay selalu memakai nama asli. Hal itu berbeda dengan sebagian seniman yang memilih menggunakan nama panggung khusus atau pseudonim bila memasarkan karya mereka di platform NFT. “Jadi kalau tiba-tiba NFT enggak ada lagi, saya ada bekal riwayat karya dan nama yang sekarang saya pakai,” kata master studi desain Institut Teknologi Bandung ini.

SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus