Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BULAN MADU
PEREMPUAN inilah yang tenggelam lebih dulu. Aku tidak mempersalahkannya, karena lingkar tubir bulan tampak begitu jauh dan kabur dan terpiuh oleh kuning senjakala. Segera saja aku menyusulnya: betapa sial, kami tercengkeram oleh rasa manis yang sungguh terlalu.
Terlempar di laut lebat yang penuh oleh para pasangan yang gila berenangan, kami meluncur tanpa arah, tak mampu membebaskan diri. Mengambang tersesat, kami berpeluk dengan setengah hati. Kamar tidur bundar tanpa muka dan belakang ini terbuat dari madu: di dalamnya kami berlambat-lambat mencari pintu keluar. Sekali-sekala kami terantuk pada sepenggal kenyataan, secercah pulau maya, atau mungkin sepucuk kubah gula yang membatu. Tapi perempuan pasanganku ini selalu saja cenderung hilang-keseimbangan dan dia pun tenggelam kembali seraya menarik tubuhku ke laut yang betapa mengisap. Demikianlah, kami karam berkali-kali.
Menyadari bahwa tak ada pintu keluar di permukaan, kubiarkan diriku terseret ke dasar terdalam. Tak penting benar berapa lama kami menyelam tegak lurus di laut yang tak terlukiskan manisnya. Pada akhirnya aku mencapai ranah perawan di mana endapan madu tebal membentuk lelapis batuan kuarsa keras penuh rumpang. Aku menapaki sebatang jalan di antara tiang-tiang stalaktit yang siap melukaiku. Begitu sampai di udara terbuka, aku pun bergegas lari seperti seorang buron. Di tepi sebatang sungai aku berhenti, menarik napas dalam-dalam dan membersihkan tubuhku dari kerak madu yang tersisa.
Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah kehilangan pasanganku.
PETA BENDA-BENDA HILANG
LELAKI yang telah menjual peta ini kepadaku tidaklah ganjil-ganjil amat. Sesungguhnya ia manusia rata-rata saja, hanya saja sedikit sinting. Ia memang terasa memaksa, seperti halnya para penjaja jalanan yang kau temukan di mana saja. Ternyata ia melepas petanya terlalu murah; yang terpenting bagi dia, peta ini enyah dari hidupnya. Ketika ia menawarkan padaku bagaimana cara menggunakannya, aku mengiyakan dengan penasaran. Kenapa tidak, pikirku, sebab hari itu hari Minggu dan aku memang sedang bersantai. Kami pun pergi ke lokasi yang dekat-dekat saja untuk mendapatkan benda malang yang pernah ia buang, benda yang tak akan diambil siapa pun: sebuah sisir plastik berwarna merah, yang terimpit kerikil. Sampai kini aku masih menyimpannya bersama selusin printal-printil lain yang memikatku, terutama juga karena aku menganggapnya pemula bagi rangkaian temuan berikutnya. Aku sungguh menyesal kenapa aku tidak menyimpan benda-benda temuan yang sudah kujual dan koin yang sudah kubelanjakan. Memang sejak itulah aku bertahan hidup dengan menjual apa saja yang kudapat melalui peta ini. Benarlah aku miskin, tapi aku bebas dari kecemasan selama-lamanya. Kadangkala seorang perempuan yang tersesat, yang sanggup menyesuaikan diri dengan hidupku yang kelewat sederhana, muncul di atas peta ini.
PUISI UNTUK SANG BAKAL MEMPELAI
KAMAR yang ditinggalkan sepasang kekasih ini sungguh porak-poranda, penuh dengan tilas persetubuhan mereka. Helai-helai pakaian, kelopak-kelopak kembang layu, ceceran anggur, dan tumpahan parfum. Di atas ranjang yang habis teraduk-aduk, di atas bantal yang cekungnya tercetak dalam-dalam, kata-kata mengambang namun terasa lebih berat ketimbang aroma kembang liar dan setanggi, dan terdengar seperti dengung sekawanan lalat. Udara jenuh oleh penggalan kalimat seperti "aku cinta padamu" dan "manisku, merpatiku".
Ketika aku membersihkan dan merapikan kamar tidur ini, angin pagi dengan ringan tangan menjulurkan sehimpun rasa manis karamel pekat. Tanpa sadar aku menginjak kuncup mawar yang pernah dikenakan sang perempuan di belahan dadanya. Aku seperti mendengar suaranya kini, suara seorang anak dara yang menggelora oleh asmara dan haus akan belai dan cumbu. Tapi hari-hari esok akan segera tiba, ketika ia ditinggalkan sendiri di sarangnya sementara lelakinya mencari cinta yang baru di lindungan rumah yang lain.
Aku kenal lelaki itu. Ia pernah menyerangku di hutan, ketika aku masih berumur lima belas tahun. Tanpa basa-basi, tanpa memandang wajahku, tiba-tiba saja ia menghantamku. Seperti seorang penebang pohon yang terlalu gembira, yang kebetulan lewat sambil menyanyikan sepatah lagu saru, ia dengan cepat merobohkan aku ke tanah, seperti menebang sebatang palem muda kurus dengan sekali tebasan.
Juan Jose Arreola (1918-2001) adalah penulis Meksiko.
Tiga cerita di atas diterjemahkan oleh Nirwan Dewanto berdasarkan versi Inggris George D. Schade.
BIOGRAFI KUPU-KUPU
Kubisikkan keinginanku kepada peri kupu-kupu
agar disampaikan kepada langit dan dikembalikan
sebagai keindahan
Ia pun samadi di atas kelopak kembang
menggendam tenaga purba dari delapan penjuru mata angin
Angin berdesir, daun-daun bergoyang, sukmaku melayang
Dari ketinggian yang luas tanpa batas
kusaksikan tubuhku menyerpih bagai anyaman kapas
Aku lahir kembali ketika di sudut gelap puncak Acropolis yang kelam
seekor kupu-kupu meninggalkan kepompong dengan sayap kusam
Pijar api di genggaman Prometheus telah lama padam
Alangkah kasihan! Lalu Dewi Pelangi yang terharu
menangkupkan selendang suteranya ke pundakku
Aku pun terbang ke Timur, ke sumber cahaya
hinggap di gigir Tembok Besar, memandang hijau hutan
liku-liku lembah, tebing-tebing cadas coklat-kemerahan
Nun di bawah ladang yang tandus, tak jauh dari Gunung Li
kusaksikan laskar terakota dengan tubuh kaku dan paras pasi
seolah hendak mengabarkan padaku: kematianlah yang abadi
Alangkah kasihan! Lalu kukepak sayapku dan angin bernyanyi
merasuki tubuh para prajurit itu dan seketika bernafas kembali
Mereka menyebar ke dusun-dusun pinggiran Provinsi Shaanxi
hidup bahagia sebagai petani, dan ketika musim tanam berlalu
sebagian menggambar atau menulis dongeng tentangku
Bersama arwah orang-orang yang gugur demi cinta
di bukit-bukit sunyi bagian bumi selatan dan utara
kuarungi angkasa Pasifik, belanga agung yang haus kehidupan
Taifun kabut dan badai salju kujadikan titian
Di padang-padang gersang benua baru
di antara gerumbul kaktus dan semak perdu
aku terlempar bagai sebutir kerikil batu berbercak darah
Alangkah kasihan! Lalu Roh Agung meniupkan nafas dari surga
dan jadilah aku duta penyampai mimpi kaum berwajah merah
Menjelang musim panas tiba, kuluruhkan seluruh warna
pada sayapku yang tembus pandang mereka membaca cuaca
Peluhku menjelma hujan
dari dakiku tetumbuhan bersembulan
Bila kutangkupkan sayap-sayapku
musim dingin datang, nafas putihku menaburkan serbuk salju
Para prajurit memujaku sebagai titisan pahlawan pemberani
para orang tua pilih bersunyi diri bersamaku sebelum mati
agar arwah mereka bahagia dan kembali
sebagai kupu-kupu, dan ketika kupu-kupu mati
sampailah mereka ke Kosong Abadi
Arwah para pencinta ini
mereka merindukan kobar api
mendamba moksa dalam nyala
meluruhkan yang busuk dan sia-sia
Mereka pun ingin menghibur diri dengan bernyanyi
seperti pernah mereka lakukan bersama para Siren di lautan
atau menari bersama Sembilan Muse di angkasa dan daratan
Demi menghormati kaum burung, aku memilih diam
diam-diam hinggap di kelopak bunga menghisap madu
atau melayang tenang lalu bertandang ke ruang tamumu
Bila kau baik padaku, akan kubawakan mimpi ke tidurmu
dan bila kau berkenan membisikkan keinginan
akan kusampaikan ke langit, agar dijelmakan
sebagai keindahan
OTRABANDA
Malam menyempurnakan diri di pundak pantai ini
gaung badai bangkit dari pepokok rambut pelangi
Biarkan ia bebas bersama kelepak sayap kelelawar
lepas ke langit menggerus gugus planet yang gemetar
sampai memercik bunga api sebagai kerlip bintang
menyentuh manik matamu yang bening menerawang
Menggeliatlah di pinggangku yang beraroma hutan
seperti sungai yang menyusur pulau jajahan ini
agar ada alasan bagi cinta untuk jadi jembatan
menghubungkan kau dan aku dalam sunyi
Sebab setiap kesedihan membutuhkan jalan
seperti airmata yang mengembara ke luas lautan
mengendapkan daki duka pada mezbah delta
tempat kita reguk racun dari gelas yang sama
Di atas segala erangan nafas kita berlesatan
membentur gedung warna-warni serupa mainan
bergema setajam irama blues
menyembilu di dinding usus
Seorang bocah hitam yang mengetukkan jemari pada lutut
khidmat menyimaknya sebagai titah suci malaikat maut
sebab tak lama sesudahnya ia menari ria
di antara para pelancong dan pellagra
sambil memanggil ayah-bundanya
yang damai di surga
Tapi surga telah turun dan memeluk kita sekarang
di bawah pohon kuldi jelmaan tangan Tiziano Vecellio
tanpa ular berkepala peri mengulurkan buah terlarang
atau kata-kata magi seperti sajak Antonio Machado
Lapar telah menjelmakan diri sebagai santapan cepat saji
tapi kau rakus melahapku seakan tak ada lagi esok pagi
Sebentar lagi fajar tetap tumpah pada bandar
setipis gaun katunmu yang menyamarkan kilau
laut masih melabuhkan dolar dan kapal-kapal pesiar
mendaratkan bahasa-bahasa asing ke lidah Papiamento
Lidah telah berkenalan dengan lidah
menyebut nama masing-masing sebagai takdir
ada yang masih menjajah, kita bahagia saling jamah
dalam stanza yang resah karena rindu tanah air
AKU TAK TAHU
Aku tak tahu bagaimana jantungku mengenalimu
detaknya kian kuat tiap kali kau kuingat
Aku tak tahu sejak kapan darahku merindukanmu
arusnya berdesir tiap kali kau menghampir
Aku tak tahu mengapa anganku diam-diam mengabadikanmu?
seolah paham betapa kenangan bisa rapuh tiap kali kau jauh
Aku tak tahu sungguhkah jiwa bisa terbelah menjadi kau dan aku
tapi betapa aku merasa retak bila setapak saja kita berjarak
Aku tak tahu dengan cara apa perasaanku menghayati keindahanmu
di hadapan kebersahajaanmu seluruh karya seni seolah lesi
Aku tak tahu bejana gaib macam apa yang menghubungkan kau dan aku
dukamu sebab siksaku, lukamu sumber sakitku
Aku tak tahu bagiku kau musibah atau anugerah
tiap kali bersamamu derita dan bahagia tak terpilah
Aku tak tahu sampai kapan sajakku tak jemu memuja juwitamu
kata-kata selalu meratap pilu tiap kali merapal pesonamu
Aku tak tahu cukupkah seluruh tak mahirku sebagai mahar untukmu
meski, sungguh, aku tahu betapa penuh aku mencintaimu
_MANIFESTASI
Cinta adalah kata yang bersikeras mewakilimu
agar aku bisa menamai dan menyebutmu
Kicau merdu tanpa burung
desah semak belukar di lereng gunung
memantul di langit yang rindu lautan
berjatuhan sebagai peluh hujan
Cinta adalah gerak bermiliar molekul yang bersekutu
mewujudkan dirimu agar aku bisa mengenalimu
Riap anak rambut, kerjap pelupuk
rekah bibir, tubuh yang menggeliat lentuk
Mata yang bagai mutiara menyimpan kilau palung lautan
menimangku seperti buih, mengubah hatiku jadi buah
sampai jatuh ke dalam geloranya yang basah
Cinta adalah ruh yang tulus menghuni tubuh
agar aku bisa menyentuhmu
Getar magnet yang merambat di kulit
seperti tangan langit merabai wajah lautan
di mana aku mengapung bagai buih
atau puting beliung yang mengguncang jantung hutan
di mana aku lumpuh usai meluruhkan benih
?Kadang cinta menampakkan diri sebagai hijau daun
gairah yang mengalun di hamparan ladang jagung
layar perahu para petualang yang tak menemu arah pulang
kepak sayap gaib malaikat yang menyebabkan siang dan malam
Jadilah kau siang hari
karena malam adalah ibuku yang mengurai diri
demi bisa menemaniku tidur tanpa menjadikanku Oedipus
agar tak ada peniti emas menakik mata air darah di mataku
Cinta adalah hasrat suara yang meronta di mulut kelu si gagu
seperti gerak naluri yang membimbingku kepadamu
Gaung genta yang didentur angin bukit, laung azan tanpa muazin
dendang tembang tanpa biduan, lenguh setubuh tanpa kelamin
lirih memanggilmu tanpa kautahu siapa yang bertalkin
nafasnya segemerisik gaun peri di ranting kemuning
menggeriapkan bulu-bulu tengkukmu
seperti ketika kau bercumbu
?
Melalui kau aku bisa melihat cinta
mungil dan anggun seperti kedasih
ungu serupa kelopak selasih
tanpa aroma seperti tubuh orang suci
penuh damba seperti doa untuk orang mati
Kadang cinta ngembara dengan gaun berumbai seperti angin
mengusap semua benda untuk menemu mata paling bening
mata menjadi suar yang memberi cinta wujud tak asing
menyihir seluruh pandangan hingga tak ingin berpaling
Kini kau bisa menyebutku dan aku menyebutmu
aku lambang yang menandai kau, kau merujuk aku
sebagai molekul-molekul kita bersenyawa
menyatakan cinta
Buku-buku Sitok Srengenge, antara lain, Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil (kumpulan esai, 2012), On Nothing (kumpulan sajak terpilih beserta terjemahan ke bahasa Inggris, 2005), dan Menggarami Burung Terbang (novel, 2004).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo