Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perayaan Hari Film Nasional tak bisa lepas dari sosok Usmar Ismail.
Hari Film Nasional bertepatan dengan tanggal hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa.
Lewat bukunya, Ekky Imanjaya menyebut Usmar sebagai pejuang di wilayah seni-budaya.
Mujahid Film: Usmar Ismail; Ekky Imanjaya; 130 halaman; Storial.Co/Kineforum (2021)
PERAYAAN Hari Film Nasional tak bisa lepas dari sosok Usmar Ismail yang akhirnya, setelah melalui berbagai proses yang cukup panjang, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Gelar itu diberikan secara resmi di Istana Negara pada Rabu, 10 November 2021, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 109/TK/TH 2021 tertanggal 25 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 30 Maret yang ditetapkan sebagai Hari Film Nasional adalah tanggal hari pertama pengambilan gambar atau syuting film Darah dan Doa karya Usmar yang seluruh proses produksinya pada 1950 dikerjakan oleh orang Indonesia. Film Usmar lainnya, Lewat Djam Malam (1954), ditayangkan dalam Festival Film Cannes kategori Classics pada 2012, dirilis ulang oleh Criterion Collection, dan diberi kata pengantar oleh sutradara kenamaan Martin Scorsese.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sosoknya masih dan sering dibicarakan serta dirayakan (bersamaan dengan penayangan sejumlah filmnya yang sudah direstorasi) hingga kini, sayangnya, buku tentang Usmar Ismail sudah lama tak beredar di pasar. Kalaupun ada, buku itu tak secara khusus membahas karyanya tersendiri. Di antaranya Pantulan Layar Putih (Salim Said, Pustaka Sinar Harapan, 1985), Profil Film Indonesia (Salim Said, PT Pustakakarya Grafikatama, 1983), Apa dan Siapa Orang Film Indonesia (Departemen Penerangan RI, 1999), serta Katalog Film Indonesia 1926-2007 susunan J.B. Kristanto (yang kemudian dikembangkan menjadi data daring Filmindonesia.or.id). Buku yang khusus membahas tulisan dan pemikirannya adalah Usmar Mengupas Film (Pustaka Sinar Harapan, 1986) dengan editor Satyagraha Hoerip.
Kehadiran buku ini tentu memberi semacam oasis bagi yang ingin mengetahui kiprah tokoh tersebut lebih dekat. Makna judul yang dipilih, Mujahid Film, yang berasal dari ajaran Islam “jihad” yang berarti “perjuangan”, diperluas Ekky Imanjaya menjadi bukan sekadar “perjuangan di bidang agama”, melainkan perjuangan Usmar di banyak wilayah seni dan budaya. Usmar adalah wartawan, sastrawan, pendiri Akademi Teater Nasional, produser, dan sutradara film yang juga tercatat dalam Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang salah satu ideologinya ialah “seni untuk rakyat”. Pendek kata, buku ini ingin menyampaikan lebih luas ihwal sosoknya yang bukan sekadar “tokoh film”.
Aspek lain yang relatif kurang terungkap ada di sini. Misalnya pertarungan ideologis dirinya sebagai seniman muslim di Lesbumi/Nahdlatul Ulama (halaman 23). Usmar membantah pendapat bahwa film adalah barang haram. Bagi dia, film itu netral, pembuatnyalah yang menentukan kadar “najis” dan “haram” film tersebut. Ia menegaskan, pembuat film yang juga berarti “duta film” juga bertugas memberi penerangan kepada publik “untuk menyukai kebenaran”. Tak terlalu penting caranya, membuat penonton tersenyum, menangis, atau tertawa. Dari sini terbaca idealismenya yang begitu gigih menjelaskan bahwa membuat film tak sekadar menjadikannya produk dagangan, tapi juga memberikan edukasi kepada publik.
Dalam salah satu teks pidatonya di Lesbumi yang kemudian dimuat dalam surat kabar Pembina edisi 8 September 1965, “Film sebagai Dakwah”, ia menulis, film dapat pula dinyatakan sebagai “media dakwah” atau perjuangan “jika para ulama juga memusatkan perhatian untuk mencari dan menyelidiki secara sadar rahasia selera penonton pada umumnya dan bagaimana caranya untuk memberi kepuasan terhadap selera itu. Penulis Muslim, hendaknya selain mampu menggali sumber ilham dari Quran, juga terampil dalam menulis skenario”, satu hal baru dari Usmar dalam buku ini yang terungkap pada halaman 22 dan 60 (“Lesbumi, Jembatan Ulama-Seniman”).
Buku ini juga menjelaskan proses restorasi Lewat Djam Malam yang mendapat ulasan positif dari Martin Scorsese—juga Ketua World Cinema (halaman 68). Pemenang Festival Film Indonesia 1955 yang pernah dikirim ke Asia-Pacific Film Festival di Singapura ini akhirnya direstorasi karena dari kisahnya sendiri film tersebut mampu menunjukkan kekuatan artistik di awal abad ke-20 dengan menceritakan pergumulan psikologis para karakternya sebagai mantan serdadu perang revolusi 1945.
Tentu saja ini juga manifestasi atas sosok Usmar sendiri yang pernah menjadi tentara sehingga ia mampu menjiwai dan menghidupkan karakter dalam film tersebut dengan sangat baik. Satu hal yang cukup mendobrak dalam sejarah film Indonesia pada 1950-an, sementara film yang diproduksi dan beredar pada saat bersamaan lebih menekankan aspek hiburan—efek peralihan kebanyakan sutradara pada masa itu yang rata-rata sebelumnya besar dan lahir dari panggung tonil. Hal demikian kemudian dicatat pula sebagai salah satu “world heritage” milik Indonesia yang perlu dinikmati publik lebih luas.
Satu hal lain yang mungkin baru terungkap dalam buku ini adalah ide restorasi film tersebut sebenarnya ada sejak 1970 (halaman 72). Kala itu, Misbach Yusa Biran, sahabat Usmar yang juga sineas, mendirikan Sinematek Indonesia, perpustakaan film pertama Indonesia. Ide Biran itu dicemooh, disebut tak berguna dan kurang menguntungkan dari segi bisnis, sehingga pembaca buku ini bisa mendapatkan informasi tentang betapa panjangnya proses restorasi film-film karya Usmar.
Uniknya, tulisan yang membahas proses restorasi karya penting Usmar tersebut dihadirkan penulis dalam bahasa Inggris karena aslinya adalah makalah yang ia bawakan dalam acara Southeast Asian Cinemas Conference di Singapura pada Juni 2012. Pertimbangan menghadirkan sumber tulisan tersebut sedemikian adanya adalah untuk memunculkan suasana dialog internasional tentang sosok Usmar Ismail yang pada hari ini mungkin sudah bukan hanya menjadi milik bangsa Indonesia, melainkan milik dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo