Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran karya para finalis kompetisi seni lukis Titian Prize di Bali
Tafsir dan pengembangan gaya lukisan Bali.
Para pelukis modern didekatkan kepada kekhasan sangging (raut lukis) tradisional Bali.
ADA dua hal yang mendorong Walter Spies membentuk perkumpulan Pita Maha pada 1936. Hal pertama adalah dorongan kekhawatiran seni lukis (tradisional) Bali akan jalan di tempat apabila tidak disentuh kelebat cahaya seni dari Barat. Juga lukisan Bali akan terancam keseragaman apabila tidak diselusupi semangat individual. Hal kedua adalah ajakan agar para pelukis Bali—yang memegang teguh spirit menyama braya (persaudaraan dan persamaan) ala tat twam asi (aku adalah kau dan kau adalah aku)—menumbuhkan semangat kompetisi. Sebab, elan bersaing selalu menjanjikan kemajuan.
Apa yang dipikirkan Spies diamini oleh rekannya, Rudolf Bonnet. Bonnet juga melihat Bali yang melahirkan begitu banyak pelukis justru sangat sedikit munculkan seniman. Pelukis yang ia maksud adalah artisan (tukang gambar, peniru, dan penerus ikon presentasi). Sementara itu, seniman adalah kreator, penggubah gambaran-gambaran baru. Untuk itu, dalam Pita Maha, semangat kompetisi diam-diam tertumbuhkan.
“Saya yang tak biasa bersaing adalah salah seorang korbannya. Sedangkan Ida Bagus Made Nadera adalah juaranya,” ucap Ida Bagus Made Poleng suatu kali. Nadera memang pernah dipilih oleh Spies dan Bonnet untuk mengerjakan “lukisan agung” sepanjang 9 yard pada kurun itu, yang bikin pelukis lain cemburu.
Setelah Pita Maha tutup buku, spirit kompetitif dilanjutkan pada 1956 ketika Bonnet menggagas lahirnya Golongan Pelukis Ubud. Namun, setelah Bonnet balik ke Belanda, semangat “bersaing” yang menstimulasi lahirnya evolusi dan inovasi melempem lagi. Seni lukis Bali pun kekurangan kreasi baru yang menohok. Meskipun demikian, ribuan karya yang apik wujud terus bermunculan di segala pelosok, berbarengan dengan serbuan pariwisata yang tak henti mengkonsumsinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan Ida Bagus Suryantara berjudul “Mankind”. Agus Dermawan T
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesadaran mengompetisikan seni lukis ini pada 2000 menyentuh pikiran Sumantri Widagdo, orang Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat. “Seni lukis Bali memang harus selalu berulah-ulah untuk menuju yang baru-baru. Namun, sejauh-jauh berubah, seni lukis Bali jangan meninggalkan akar atau hulu,” ujarnya.
Ia pun membuka Titian Art Space di Ubud. Di sini pameran lukisan Bali pilihan berkali-kali digelar. Sampai akhirnya Titian memasuki tahap perlombaan untuk mewadahi yang baru-baru dan untuk menstimulasi lahirnya karya berinovasi. Titian Prize pun diselenggarakan.
Dan agar tetap berada di koridor “lukisan Bali”, ia mengajak pelukis Bali menengok tradisi Bali dari banyak arah. Pelukis bergaya tradisional diimbau memperhatikan modernisme demi pengembangan gaya, bentuk, dan model tafsir. Ini diperlukan agar yang terpresentasi tidak terlampau dikurung oleh pakem klasik yang bisa-bisa membosankan.
Sementara itu, pelukis Bali yang sudah modern digiring kembali untuk menatap tradisionalisme. Mereka diajak selalu ingat aspek-aspek mitologi. Pun mereka diharapkan tetap melihat elemen-elemen dekoratif yang terbukti menjadikan seni rupa Bali dikenang sepanjang zaman, seperti yang ada pada ider-ider, parba, langse, dan ulon. Ini dimulai dari ragam hias kekarangan (stilisasi hewan) yang biasanya ada dalam arsitektur sampai ornamen pepatran (stilisasi tetumbuhan) yang banyak tertera dalam tenunan. Para pelukis modern juga didekatkan kepada kekhasan sangging (raut lukis) tradisional Kamasan, Batuan, Ubud, Sanur, dan lainnya.
Lukisan I Kadek Yuliantono berjudul “Red”. Agus Dermawan T
Titian Prize diadakan pertama kali pada 2017 dan berlanjut pada 2018. Selanjutnya—mungkin karena biaya—kompetisi diadakan dua tahun sekali. Hingga kini muncullah Titian Prize 2020. Kompetisi ini mengundang pelukis asal Bali di mana pun. Hadiahnya—yang sepenuhnya dibiayai Yayasan Titian— adalah tiket tur seni rupa ke luar negeri dengan pilihan tujuan yang ditentukan oleh pemenang sendiri.
Titian Prize 2022 urung diselenggarakan lantaran pandemi Covid-19 merebak. Sebagai gantinya, para pemenang dan sejumlah finalis Titian Prize 2017, 2018, dan 2020 diundang memamerkan karya barunya. Pameran digelar pada Mei sampai medio Juni 2022 di Biji World, Jalan Raya Mas, Ubud, dengan judul “Exploration: The New Frontier”.
Maka mari kita simak karya Nyoman Arisana, yang menghadirkan gambaran simbolik sekumpulan manusia di dalam tabung yang dicemplungkan ke laut. Lukisan berjudul Terjun dari Zona Nyaman (2021) ini memang tidak mengandung cerita tradisi Bali. Namun teknik penciptaannya ditengarai tetap menyelipkan nuansa sangging khas Bali, yang menggunakan penelak atau runcing lidi bambu sebagai pena.
Lukisan Wayan Aris Sarmanta menggabungkan unsur-unsur bentuk lukisan gaya Ubud, Kamasan, dan Batuan ke dalam sebuah konstelasi penuh warna. Berbagai figur mitologi serta pewayangan mendadak berdampingan dengan turis, penyiar televisi, hingga Mickey Mouse. Lukisan ini diberi judul Encounter (2022).
Soemantri Widagdo. Facebook
Wayan Eka Mahardika melukiskan kisah Batara Kala menyantap matahari. Cerita klasik Kalarau yang cenderung tenget itu berubah menjadi humoristik ketika Mahardika menggambarkan sejumlah astronaut di antariksa keluar dari kapsul untuk memotret dan memukul kulkul atau kentongan. Lukisan berjudul Candra Kepangan (2022) ini mengambil idiom bentuk lukisan tradisional bergaya Ubud.
Kadek Yuliantono semula adalah pelukis tradisional yang tertib menggubah adegan wayang klasik dengan mengandalkan nyawi (membuat detail) serta kekuatan nyenter (mengolah cahaya pada bentuk). Namun dalam lukisan berjudul Red (2022) semua itu berubah. Figur wayangnya hadir secara realis karikatural. Temanya pun menjadi komedi lantaran membenturkan wayang-wayang dengan tokoh Marvel dan robot Star Wars, R2-D2, yang lucu.
Mangku Muriati Mura dengan asyik mempresentasikan dunia wanita karier dalam gaya lukisan Kamasan. Maka terlihatlah wanita yang sedang mengajar membaca, menjadi petugas satpam, belanja ke mal, dan bekerja di kantor. Pola bentuk dan ornamen khas Kamasan dipatuhi. Bahkan catnya pun dibikin dari bahan pewarna alami khas Bali, seperti serabut kelapa, daun mangga, dan getah kemiri. Sifat lukisan itu mirip karya Putu Dudik Ariawan yang mengilustrasikan cerita masa kini di daun lontar.
Suasana di ruang pameran Titian Art Space di Biji World, Ubud, Bali. Agus Dermawan T
Puluhan lukisan disuguhkan dalam pergelaran ini. Sebagian besar menggelitik. Sebab, dalam tema, gaya, figurasi dan teknik, karya-karya itu bergoyang di perbatasan antara tradisional dan bukan tradisional serta pasca-tradisional dan tradisional kontemporer atau Bali kontemporer.
Menilik misi dan hasil Titian Prize, rasanya kompetisi ini harus diadakan lagi setahun sekali untuk mendampingi segelintir kompetisi di Indonesia, seperti UOB Painting of the Year, Bandung Contemporary Art Awards, serta Indonesia Art Awards. Hal ini tentu untuk meneruskan aspirasi Walter Spies dan Rudolf Bonnet yang berharap lukisan Bali terasa terus baru, meski membawa karakter lama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo