Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKULAN drum mengantarkan sosok wayang berkepala gajah dengan gading yang mencuat panjang muncul di layar utama. Dalam fokus lingkaran di layar, si gajah tampak sangat berkuasa. Terdengar tawanya terkekeh-kekeh. Gerombolan makhluk bermoncong aneh mengikutinya. Di sisi kiri dan kanan layar utama terlihat gambar tikus-tikus berseragam hitam berdiri berderet, seakan-akan siap menjaga sang penguasa. Dengan kekuatannya, mereka kemudian membabat hutan. Pepohonan tumbang, terpotong satu demi satu. Hewan-hewan hiruk-pikuk melarikan diri dari rumah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula divisualkan pepohonan yang mencengkeram bumi dengan akar yang menghunjam mengikat air. Rimbunnya daun dari dahan yang kokoh meneduhi binatang-binatang dan menjadi sumber pangan bagi mereka. Binatang dan pepohonan saling menumbuhkan kehidupan. Layar meredup, lalu berganti dengan kemurkaan alam. Air membanjiri semesta tanpa tameng pepohonan ditampilkan dalam animasi air bah yang bergelombang. Awan bergumpal-gumpal dalam balutan corak awan batik mega mendung dan kilat terang. Musik yang nge-rock dengan gebukan drum bertempo cepat mendramatiskan suasana kemarahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas Herry Dim dengan Wayang Motekar berjudul Let’s Save The Earth, di Galeri Salihara, Jakarta, 4 September 2022. Salihara/Witjak Widhi Cahya
Begitulah Herry Dim dengan wayang motekar mengangkat tajuk Let’s Save the Earth pada Ahad, 4 September lalu, di Teater Salihara, Jakarta. Pertunjukan itu menutup Festival Musim Seni Salihara 2022. Herry tidak bekerja sendirian. Kali ini ia sebagai sutradara menggandeng Opick Sunandar Sunarya, dalang yang biasa membawakan wayang golek. Opick menjadi dalang lakon ini.
Herry pertama kali menyajikan eksperimen wayang motekar pada 30 Juni 2001. Dengan sentuhan digital, permainan sorot cahaya dari proyektor, dan gambar animasi, kini pentasnya makin modern. Penonton melihat bayangan wayang dari belakang dan gambar animasi dari sorot cahaya di depan layar.
Panggung dari pentas Herry Dim dengan Wayang Motekar berjudul Let’s Save The Earth, di Galeri Salihara, Jakarta, 4 September 2022. Salihara/Witjak Widhi Cahya
Di pentas terpasang sebuah layar utama yang memanjang seperti layar untuk menggelar wayang pada umumnya, juga di bagian atas yang dipasang horizontal. Adapun di kiri, kanan, dan atas pentas dipasang layar secara vertikal. Layar di tengah sebagai layar utama menjadi medium bagi dalang yang membawakan cerita dari balik layar. Lampu senter dipasang di kepala dalang untuk memudahkan mobilitas, menggantikan blencong yang biasa dipakai para dalang zaman dulu.
Wayang-wayang plastik mika dibentuk sedemikian rupa dan ditata di balik layar utama. Ada gunungan yang berbentuk seperti daun, ada sosok-sosok manusia, ada pula beragam figur burung yang membentangkan sayapnya. Diterpa cahaya lampu, wayang-wayang Herry Dim menghasilkan siluet beraneka warna. Wayang motekar lebih menekankan pertunjukan rupa dan bunyi. Karena itu, ada sekelompok grup musik yang menjadi pengiring, berada di sisi kanan dalang. Ia pun tak lupa menyisipkan sajak atau puisi dan gerak yang dimunculkan di akhir pertunjukan, ketika seorang perempuan menari dalam bahasa tubuh yang muram diiringi lagu “Ibu Pertiwi”.
Pertunjukan ini menjadi tontonan keluarga. Hal ini terlihat dari beberapa penonton yang membawa anak-anak mereka. Materi cerita visual yang sederhana mudah dipahami. Secara teknis, tampilan sorot proyektor cukup baik dengan warna-warna yang tajam. Sayangnya, sorotan proyektor di bagian atas tak tertangkap oleh semua penonton, terutama mereka yang duduk di kursi di deretan bawah atau duduk lesehan.
Panggung dari pentas Herry Dim dengan Wayang Motekar berjudul Let’s Save The Earth, di Galeri Salihara, Jakarta, 4 September 2022. Salihara/Witjak Widhi Cahya
Lewat lakon berdurasi 45 menit ini, Herry Dim mengajak masyarakat menjaga dan merawat bumi. Ia mengangkat tema umum yang sederhana, tak aneh-aneh dan rumit, seperti ketika orang membincangkan lingkungan dan kerusakan alam sekitar. “Meskipun tontonan anak-anak, ini persoalan dunia, persoalan kita semua,” ujarnya kepada Tempo. Secara sederhana ia menyampaikan bahwa, ketika pohon ditebang, bumi akan hancur. “Bersamaan dengan itu, hancurlah kita juga.”
Sejak awal dalang Opick mengantarkan cerita dalam bahasa Sunda. Namun Herry mengatakan tak khawatir akan bahasa yang dipilih untuk lakonnya. Ia menjelaskan bahwa bahasa Sunda, tembang, dan sedikit bahasa Jawa dalam lakon diperlakukan sebagai bagian dari bunyi atau musik. Herry berharap orang dengan latar belakang bahasa apa pun dapat mengerti, termasuk anak-anak.
Meski Herry mengambil tema sederhana, perjalanan menuju ke sana boleh dikatakan tak demikian. Tantangan muncul ketika dia harus mendeskripsikan bahasa ke bentuk gambar dan melepas penggunaan bahasa. Adapun Opick yang biasa mendalang wayang golek dengan pola dan gaya pakem dalam durasi panjang harus melatih vokal serta banyak menghafalkan cerita dengan beragam elemen secara terus-menerus.
Herry menjelaskan, proses produksi wayang motekar Let’s Save the Earth memakan waktu sekitar enam bulan, dari pembuatan gambar, video mapping, penyiapan kostum, hingga latihan. Dalam penggunaan video dan animasi, ia menggandeng Motionbeast. Adapun musiknya digarap Flukeminimix. “Yang seru, ketika mengerjakannya masih di masa Covid. Karena khusyuk, ya, di rumah terus,” tuturnya.
FIKRI RAMADHAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo