Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tokoh

Ismid Hadad: Dari Harian KAMI, LP3ES, sampai Kehati

Ismid Hadad dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan pendiri Harian KAMI pada 1966, lembaga ekolabel, hingga Yayasan Kehati. Memoar seorang man of action.

19 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ismid Hadad berperan dalam gerakan mahasiswa yang dimotori oleh KAMI.

  • Ismid kerap dipanggil tentara yang berkeberatan terhadap artikel Harian KAMI yang sangat kritis kepada pemerintah.

  • Meletakkan perangkat radio amatir di panser untuk mengelabui pemerintah.

Ingatan lelaki 81 tahun itu masih tajam seputar gerakan mahasiswa 1966. Ismid Hadad dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan pendiri Harian KAMI pada 1966. Ia sesudahnya terlibat banyak pendirian organisasi yang bergerak di bidang riset, penelitian, dan penerbitan yang strategis dan berpengaruh. Ia seorang man of acion.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Tempo, Ismid menceritakan empat fase kehidupannya. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Pengurus Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Pusat pada 1968-1969; Ketua Biro Penerangan dan Juru Bicara Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat 1966-1969; Wakil Pemimpin Redaksi Harian KAMI 1966-1970; dan kemudian mendirikan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), yang pada Agustus 2021 berusia 50 tahun. Di LP3ES, dia juga memprakarsai penerbitan majalah Prisma yang legendaris dan menjadi pemimpin redaksinya pada 1971-1980.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1990-an, dari balik layar, Ismid berperan mendirikan berbagai lembaga swadaya masyarakat, antara lain Lembaga Ekolabel Indonesia, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), dan Perhimpunan Filantropi Indonesia. Pria kelahiran Surabaya, 29 April 1940, ini menceritakan kisah hidupnya kepada Tempo dalam tiga babak.


SAYA kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia pada 1960. Saat duduk di bangku kuliah, saya tidak pernah ikut organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Dewan Mahasiswa, ataupun Senat Mahasiswa. Saya justru memilih pers mahasiswa dan menjadi anggota Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sejak 1964.

Keadaan politik saat itu makin pengap setelah Presiden Sukarno mengumumkan Dekret Presiden yang menyatakan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Presiden juga mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan bertindak sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Mahasiswa pun terbelah. Ada yang berkiblat pada pemikiran Sukarno, yaitu nasionalis, agama, dan komunis. Namun mahasiswa lain tidak sepaham dengan gagasan Presiden.

Saya kemudian menjadi salah satu orang di balik layar dalam pergerakan yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi mahasiswa tersebut kritis terhadap pemerintah Presiden Sukarno. KAMI terbentuk pada 25 Oktober 1965 sebagai respons atas peristiwa G-30-S. Saya menjabat Ketua Biro Penerangan KAMI sejak 1966 karena memahami jurnalistik sejak bergabung dengan IPMI. Tugas saya antara lain membuat siaran pers tentang KAMI dan membangun komunikasi di antara kampus.

Ismid Hadad (ketiga kanan) bersama tim pameran foto Kebangkitan Generasi Muda yang diinisiasi oleh Biro Penerang KEsatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di Bandung, sekitar 1966-1967/Dokumentasi Ismid Hadad

Saya ingat demonstrasi terbesar KAMI terjadi pada 10 Januari 1966. Saya bersama Saverinus Suardi dan Nazarudin Nasution mendapat tugas menyusun pernyataan politik atau tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Sukarno. Pernyataan yang dibacakan di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta, itu kemudian dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi tuntutan itu ialah bubarkan Partai Komunis Indonesia, rombak kabinet Sukarno, dan turunkan harga bahan kebutuhan pokok.

Saat itu sebagian media massa sudah menjadi corong pemerintah Orde Lama, termasuk Radio Republik Indonesia (RRI). IPMI yang tadinya diperbolehkan bersiaran di RRI menjadi tidak diperkenankan. Tadinya IPMI setiap hari, kecuali Sabtu dan Ahad, mendapat slot program di RRI selama 30 menit. Itu yang kami pakai untuk kegiatan siaran, menyebarkan informasi, dan mempengaruhi publik. Belakangan, RRI tidak berani memberikan ruang siaran bagi gerakan mahasiswa karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah.

Ismid Hadad (kanan) bersama Goenawan Mohamad (kiri) mewawancarai Bung Hatta saat menjadi wartawan Harian KAMI, di Jakarta, pada 1970-an awal/Dokumentasi Ismid Hadad

Sejak saat itu, mahasiswa tidak memiliki suara. Namun mereka terus melakukan pergerakan dan unjuk rasa. Rapat-rapat ihwal rencana demonstrasi biasanya dilakukan setelah pukul 21.00 atau 22.00. Saya selalu mendapat tugas membuat notula yang bentuknya seperti siaran pers terkait dengan rencana aksi tersebut. Siaran pers itu seputar info demonstrasi. Saya ketik malam itu juga dan sebarkan. Isinya, misalnya, unjuk rasa digelar pukul 09.00 dengan titik kumpul di Monumen Nasional, lalu bergerak ke Istana.

Karena gerakan mahasiswa tidak memiliki media, mahasiswa fakultas teknik dari beragam kampus kemudian mendapat ide membuat radio amatir, QSO, sebagai saluran alternatif. Mereka merakitnya dari kumparan dan kabel-kabel. Melalui perangkat tersebut, mahasiswa kembali memiliki suara untuk menyebarkan informasi dan keputusan rapat-rapat pergerakan. Melalui radio itu saya kemudian broadcast-kan info-info unjuk rasa. Di sekitar Salemba itu saya ingat sudah ada 30-40 perangkat QSO.

Ismid Hadad di rumahnya di Jakarta, 18 Februari 2022/Tempo/Ratih Purnama

Saat itu ketatnya pengawasan oleh rezim Orde Lama membuat saya dan mahasiswa lain harus bergerak secara klandestin. Apalagi saat itu daerah Salemba sudah dikepung Cakrabirawa—pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno—dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang berpihak kepada Bung Karno. Untungnya saya dan KAMI sudah memiliki kedekatan dengan Komando Daerah Militer Siliwangi dan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

KAMI meminta agar dua panser dikerahkan ke Salemba. Perangkat Radio Ampera kemudian ditaruh di salah satu panser. Perangkat tersebut bisa ikut berkeliling dari Jakarta, Bogor, hingga Bandung. Bersama kendaraan tempur itu, radio tersebut terus menyiarkan pergerakan mahasiswa. Pesan-pesan KAMI akhirnya bisa didengarkan secara luas. Demonstran dari beragam kalangan—bukan hanya mahasiswa—bisa mengetahui waktu dan lokasi unjuk rasa.

Tak hanya lewat radio amatir, kawan-kawan saya di KAMI juga kerap menyampaikan kritik melalui gambar. Mereka membuat selebaran dan karikatur menggunakan stensil. Mesin stensil manual kecil tersebut berasal dari pinjaman seorang pengusaha. (Almarhum) Arief Budiman—kakak Soe Hok Gie—saya ingat saat itu bantu mengengkol mesin stensil manual tersebut dengan sepedanya.

Kritik terhadap pemerintah juga disampaikan melalui poster. Mahasiswa seni rupa Institut Teknologi Bandung juga melukis dinding-dinding bangunan. (Almarhum) Sanento Yuliman dari seni rupa ITB saya ingat juga terlibat. Gaya kritik mahasiswa saat itu seperti sindiran. Ada beragam media, cara berkomunikasi dengan publik, sehingga massa makin lama makin besar dan bersimpati.

(Dari kiri) Ismid Hadad, Emil Salim, Nono Makarim, dan Goenawan Mohamad, di Jakarta, Oktober 2021/Metta Dharmasaputra

Mahasiswa saat itu dielu-elukan masyarakat yang frustrasi terhadap kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang makin sulit. Bantuan dari masyarakat mengalir begitu saja. Misalnya, saat kami berunjuk rasa, ada saja kiriman seperti nasi bungkus. Salah satu nasi bungkus yang saya ingat bertulisan “Dewi”. Ternyata makanan tersebut dibuat di rumah dokter militer Brigadir Jenderal Eri Sudewo. Rumahnya yang beralamat di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, juga sering dijadikan markas pergerakan. Dalam sehari, ibu-ibu di sana bisa membuat 500-700 nasi bungkus yang dikirimkan pagi dan sore. Biaya pembuatan makanan tersebut berasal dari sejumlah pengusaha dan mantan pejabat yang tinggal di kawasan Menteng.

Umur KAMI tidak sampai setahun. Presiden Sukarno secara resmi melarang kegiatan organisasi mahasiswa itu setelah dua demonstran meninggal saat berunjuk rasa di Istana pada Februari 1966. Meski demikian, KAMI sempat mendirikan koran mahasiswa, Harian KAMI. Nomor perdana Harian KAMI terbit pada 18 Juni 1966. Harian KAMI terbit karena gerakan mahasiswa tak bisa hanya mengandalkan saluran komunikasi yang terbatas seperti QSO. Radio amatir itu juga kurang efektif menyampaikan pesan pergerakan ke luar Jakarta dan Bandung. Padahal gerakan di Jakarta-Bandung sangat menentukan. Apalagi saat itu pemerintah membredel sejumlah surat kabar, seperti Indonesia Raya dan Harian Abadi. Sedangkan media massa lain tak berani mengkritik rezim.

Ismid Hadad (kanan) bersama tim redaksi Harian KAMI di kantor redaksi Harian Kami, Jalan Kramat nomor 8, Jakarta, pada 1970-an/Dokumentasi Ismid Hadad

Nono Makarim menjabat Pemimpin Redaksi Harian KAMI dan bertugas menulis editorial. Sedangkan saya menjadi wakil pemimpin redaksi. Sejumlah nama pengurus Presidium KAMI, seperti Cosmas Batubara, Nazarudin Nasution, dan Mar’ie Muhammad, masuk sebagai pengurus Harian KAMI. “Untuk nakut-nakutin tentara.” Zulharmans sebagai Pemimpin Umum Harian KAMI bertugas mencari sponsor serta mengurus keuangan, administrasi, dan organisasi. Sedangkan saya bertugas di redaksi. Bantuan dari para donatur itu cukup untuk membantu operasi Harian KAMI. Mulanya para aktivis yang bekerja di surat kabar tersebut tidak dibayar. Lambat laun pemasukan mulai teratur. Koran tersebut juga bisa memberikan honor bagi wartawannya. Misalnya Nono yang menjabat pemimpin redaksi bisa mendapat honor sekitar Rp 7.500 pada 1968-1969.

Menurut saya, awak Harian KAMI seperti kumpulan anak bengal yang ingin menyalurkan rasa frustrasi terhadap pemerintah. Itulah yang menjadi daya tarik bagi mereka untuk bergabung dengan surat kabar mahasiswa itu. Mereka kami bebaskan (berkarya). Rekrutmen wartawan Harian KAMI juga tidak sulit.

Sejumlah nama, antara lain Goenawan Mohamad, Christianto Wibisono, dan Bastari Asnin, pernah bergabung dengan koran mahasiswa itu. Bahkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah menjadi koresponden Harian KAMI untuk wilayah Makassar. Nama lain yang bergabung dengan Harian KAMI ialah Erman Rajagukguk, Masmimar Mangiang, dan Burhan Magenda. Mereka pernah aktif dan menjadi reporter di IPMI. “Itu tim think tank sekaligus penulis yang siap dengan naskah bermacam-macam.”

Ismid Hadad (ketiga kiri) bersama tim radio amatir Biro Penerangan KAMI Pusat di Senayan, Jakarta, sekitar 1968/Dokumentasi Ismid Hadad

Salah satu wartawan Harian KAMI yang sangat berani ialah Zainal Zakse. Saat itu ia meminta izin pergi ke Monas. Ternyata dia pergi ke markas Cakrabirawa. Entah apa yang dilakukannya saat itu sehingga ia terkena tembakan. Setelah menjalani perawatan, Zainal wafat. Harian KAMI terbit setiap hari dengan setidaknya empat halaman. Tiras surat kabar tersebut pernah mencapai 10 ribu eksemplar. Sebanyak 21 redaktur bekerja di koran mahasiswa itu. Sejumlah tokoh, seperti Wiratmo Soekito dan Emil Salim, menjadi kolumnis tetap untuk Harian KAMI. Berita utama Harian KAMI biasanya kami beri judul yang bisa menggerakkan masyarakat. Para wartawan koran tersebut diberi kebebasan dalam menulis laporan.

Laporan yang kritis membuat redaksi Harian KAMI dipanggil tentara hampir seminggu sekali. Saya sering memenuhi panggilan tersebut. Interogasi kadang dilakukan di Kodam dan Cakrabirawa sesekali ikut bertanya mengenai artikel yang kami terbitkan. Tentara saat itu keras dan kadang kejam kepada mahasiswa. Jadi, setiap dipanggil, saya harus siap kena popor.

Meski demikian, saat Sukarno berkuasa, Harian KAMI masih dianggap teman oleh sebagian tentara, seperti Kostrad. Surat kabar ini harus lihai bergerak. Misalnya, ketika laporan dipersoalkan oleh Cakrabirawa dan berujung penangkapan, saya dan teman-teman mengadukan hal itu ke Kostrad agar segera dibebaskan. Namun, kalau Harian KAMI keliru, saya dan kawan-kawan harus rela ditempeleng. Situasi politik saat itu tidak ada garis komando yang jelas, sehingga area abu-abunya luas. Saya dan kawan-kawan di Harian KAMI harus cerdik bergerak dalam kondisi tersebut.

Ismid Hadad (kedua kanan) membuat notulensi saat rapat akbar perumusan tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Sukarno di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pada 10 Januari 1966/Dokumentasi Ismid Hadad

Saya kerap menjadi frontliner ketika berhadapan dengan tentara karena memiliki kedekatan dengan sejumlah jenderal. Namun, belakangan, yang memanggil jika pemerintah berkeberatan terhadap laporan Harian KAMI ialah Kejaksaan. Lembaga tersebut kerap didampingi Departemen Penerangan. “Di situ kami adu argumentasi tentang konten (artikel Harian KAMI).”

Sukarno jatuh. Namun Orde Baru ternyata tak sepenuhnya memberikan kebebasan bagi pers. Ada saja cara pemerintah mengatur media. Hubungan Soeharto dan pers pun meruncing. Saya berpikir Harian KAMI tinggal menunggu waktu untuk dibredel. Meski demikian, Harian KAMI tetap kritis dan pernah menyoroti perihal surat keterangan bersih diri. Surat yang menjelaskan seseorang tidak terlibat G-30-S itu menjadi syarat untuk memperoleh pekerjaan. Kenyataannya, surat tersebut justru menjadi sumber korupsi.

Pengekangan terhadap pers mencapai puncaknya setelah Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Soeharto berpendapat media ikut bertanggung jawab karena pemberitaan yang dianggap memanaskan situasi politik. Dua belas surat kabar dibredel, termasuk Harian KAMI. Namun, sebelum penutupan paksa itu, saya sudah keluar dari Harian KAMI, untuk menyiapkan institusi lain, yaitu LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).

Ismid Hadad (memegang alat rekam) dan Nono Makarim (kanan) mewawancarai Soebandrio untuk Harian KAMI di Lapas Sukamiskin, Bandung, pada 1970-an akhir/Dokumentasi Ismid Hadad

Saya sadar dokumentasi dan kliping-kliping tentang Harian KAMI penting. Sayangnya, saya kehilangan dokumentasi mengenai Harian KAMI. Dokumentasi surat kabar mahasiswa itu pernah dipinjam oleh Sartono Mukadis, tapi kemudian hilang. Artikel Harian KAMI juga sempat digunakan oleh Mahkamah Militer Luar Biasa saat mengadili mantan Menteri Luar Negeri, Soebandrio, yang dituduh terlibat G-30-S. Dokumentasi Harian KAMI pun pernah dipinjam Jenderal Ali Said. Karena berteman dekat dengan dia, saya pinjamkan dokumentasi koran tersebut. Belakangan, dokumentasi itu hilang lagi.

Pada 1980-an, saya pergi ke Perpustakaan Universitas Cornell. Di sana dokumentasi Harian KAMI lengkap dalam bentuk mikrofilm. Saya sempat menduplikasi data tersebut. Saat bekerja di PT Resource Development Consultants atau PT Redecon dan pindahan, lagi-lagi saya kehilangan dokumentasi surat kabar mahasiswa tersebut.

SENO JOKO SUYONO, SAPTO YUNUS, MAHARDIKA SATRIA HADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus