Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelinci Sumatera yang sangat sulit ditemukan secara langsung ternyata ada di Taman Nasional Kerinci Seblat.
Penemuan seekor kelinci Sumatera oleh petani di lereng Gunung Kerinci pada November 2020 itu diberitakan oleh media lokal dan luar negeri.
Peneliti Universitas Andalas pernah mencari kelinci Sumatera di kawasan Danau Gunung Tujuh, Gunung Kerinci, dan Lempur pada 1991-1996. Tim hanya menemukan pakannya, yakni daun cyrtandra.
DENGAN mata dan tangan sendiri, Nurhamidi membuktikan bahwa kelinci Sumatera yang sangat sulit ditemukan secara langsung ternyata ada di Taman Nasional Kerinci Seblat di perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kerinci itu ikut melepaskan seekor kelinci Sumatera yang ditemukan petani pada November 2020. “Terakhir pada 5 Januari lalu petugas juga melihat kelinci ini di Pos 2 jalur pendakian Gunung Kerinci,” kata Nurhamidi saat dihubungi, Ahad, 16 Januari lalu.
Kelinci Sumatera, yang juga disebut kelinci belang Sumatera atau kelinci telinga pendek Sumatera, pertama kali diidentifikasi pada 1880 oleh Hermann Schlegel berdasarkan spesimen yang diperoleh Elisa Netscher di Padang Panjang, Sumatera Barat, setahun sebelumnya. Atas sumbangan spesimen utuh yang kini tersimpan baik di Nationaal Natuurhistorisch Museum di Leiden, Belanda itu, Schlegel menggunakan nama Netscher sebagai nama ilmiah kelinci itu, Nesolagus netscheri. Di museum itu juga tersimpan 11 spesimen lain yang dikumpulkan dari berbagai wilayah Sumatera.
Lantaran sulit terlihat langsung, kelinci Sumatera sempat dianggap punah. Saat menyurvei badak pada 1972, Markus Borner mengklaim melihatnya di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto pertama spesies ini dibuat oleh Jeremy Holden di Taman Nasional Kerinci Seblat pada 1997. Kelinci itu juga terekam kamera jebak Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada 2000 dan 2007. Pada Mei 2020, ucap Nurhamidi, enam kamera jebak yang dipasang di sepanjang jalur pendakian Gunung Kerinci juga memotret satwa ini.
Atas temuan kamera jebak itu, Nurhamidi melanjutkan, Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat melepas kelinci Sumatera yang ditemukan pada awal November 2020 di sekitar di jalur pendakian Pos Bangku Panjang pada ketinggian 1.889 meter di atas permukaan laut. Pelepasliaran itu dilakukan secepatnya agar kelinci tidak terlalu lama berkontak dengan manusia dan mendapat makanan semestinya. “Saat dilepas, kelinci itu langsung memakan daun di lantai hutan. Itu menunjukkan habitatnya,” tutur Nurhamidi.
Cerita penemuan kelinci Sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat ramai diberitakan media lokal dan luar negeri pada Agustus 2021, sembilan bulan setelah pelepasliaran. Situs web pengumpul berita sains, riset, dan teknologi, Phys.org, bahkan membuat judul “World's rarest rabbit spotted on Facebook”. Menurut berita itu, penemu kelinci Sumatera berniat menjualnya melalui media sosial, tapi bisa digagalkan oleh petugas Taman Nasional Kerinci Seblat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelinci Sumatera/DOK TNKS Sumatera Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo menemui petani penemu kelinci Sumatera itu yang bernama Suparno di rumahnya di Desa Gunung Labu, Kecamatan Kayu Aro Barat, Jambi, pada 31 Desember 2021. Suparno bercerita, saat pulang dari ladang menggunakan sepeda motor, ia melihat seekor binatang hanyut di parit. Saat itu hujan lebat. Ia berhenti dan mengejar hewan itu dan berhasil menarik telinganya. Hewan yang ternyata kelinci itu marah sehingga Suparno melepasnya. Kelinci itu tidak bergerak karena lemas. Rupanya, ada luka gores di paha bagian dalam.
Suparno sempat bimbang apakah akan meninggalkan kelinci itu atau membawanya pulang. Karena merasa kasihan, ia memutuskan membawanya pulang untuk diobati. Suparno memberi kelinci itu rumput sintrong, pakan yang biasa dia berikan kepada kelinci yang ia pelihara sebelumnya. Namun kelinci itu tidak mau memakannya. Pada hari ketiga, kelinci tersebut baru mau makan setelah Suparno memberikan wortel.
Suparno baru pertama kali melihat kelinci seperti itu. Warnanya aneh. Badannya belang hitam dan kuning kecokelatan. Telinganya pendek, tegak seperti telinga kucing. Suparno mencari informasi di kanal YouTube yang membahas kelinci. Suparno mengunggah tautan foto kelinci itu di kolom komentar pemilik akun YouTube yang ia ikuti dan menanyakan jenis kelinci tersebut serta pakannya. “Ternyata banyak yang tertarik. Bahkan yang dari Malaysia dan Singapura menginginkan kelinci itu, tapi saya tidak mau,” katanya.
Unggahan foto itu juga dilihat oleh aktivis Wildlife Conservation Society yang kemudian melapor ke Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Beberapa petugas TNKS mencari rumah Suparno di lereng Gunung Kerinci. “Perlu pendekatan beberapa kali, karena dia sepertinya sudah mulai sayang ke kelinci itu,” ujar Teguh Ismail, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai Besar TNKS. “Setelah kami jelaskan bahwa hewan itu dilindungi undang-undang, dia memberikannya.”
Berita penemuan kelinci Sumatera itu juga sampai ke Ardinis Arbain dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Andalas, Padang. Ardinis pertama kali mengetahui ihwal kelinci Sumatera saat kuliah doktoral di Universität Heidelberg, Jerman, pada 1989. “Teman kuliah saya, M. Riffek, memperlihatkan foto kelinci Sumatera dari Rijksmuseum van Natuurlijke Historie di Leiden, Belanda. Spesimen itu berasal dari hutan Bukit Barisan di Ladang Padi, Solok, pada 1919,” kata Ardinis saat ditemui, Selasa, 11 Januari lalu.
Selesai kuliah, Ardinis menambahkan, ia bersama Riffek mulai mencari kelinci Sumatera sesuai dengan lokasi temuan pada zaman kolonial Belanda itu. Ia menelusuri kawasan hutan Bukit Barisan seperti Ladang Padi, Lembah Anai, Batusangkar, dan Bukit Pinang-Pinang. Ia dan Riffek mencari jejak kelinci itu di hutan, dari kotoran hingga daun yang pernah dimakan. “Pada malam hari kami duduk tidak bersuara, menunggu keluarnya satwa nokturnal itu,” tuturnya. Pencarian itu berakhir tanpa hasil.
Pada April 1991, bersama mahasiswanya di Jurusan Biologi Universitas Andalas, Ardinis mencari di Siginjai, Solok Selatan, Sumatera Barat. Mereka menunjukkan kepada para petani foto kelinci Sumatera itu. Seorang petani mengaku menemukan kelinci mati dalam perangkap dan ia telah menguburnya tiga hari. “Kami gali kuburan kelinci itu, ternyata benar kelinci Sumatera,” ujarnya. Spesimen kelinci itu disimpan di Museum Zoologi Universitas Andalas. Kini warna bulunya sudah berubah menjadi putih.
Ardinis meneruskan pencariannya sepanjang 1991-1996 saat meneliti badak dan tapir di kawasan TNKS di Kabupaten Kerinci. Meski sudah menjelajahi kawasan Danau Gunung Tujuh, Gunung Kerinci, dan Lempur ia tak menemukan kelinci Sumatera. “Padahal makanannya masih ada di hutan itu, yaitu daun cyrtandra dari keluarga Gesneriaceae,” katanya. Menurut Ardinis, kelinci Sumatera selalu dianggap satwa langka. Bahkan penduduk tak mengetahui hewan ini sehingga ia tak memiliki nama lokal.
Kelinci Sumatera langka, Ardinis menjelaskan, karena habitatnya sudah banyak yang hilang. “Kelinci Sumatera tinggal di daerah hutan-hutan yang orisinal karena ia tidak mau di tempat yang kena sinar matahari. Makanannya juga dari hutan-hutan purba,” ucapnya. Dengan ditemukannya seekor kelinci Sumatera di Gunung Kerinci, Ardinis berharap habitatnya di Taman Nasional Kerinci Seblat bisa dijaga. “Jangan sampai kita kehilangan lagi.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo