Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas monolog Negeri Sarung oleh Inaya Wahid di gedung Makara Art Center Universitas Indonesia.
Inaya Wahid memerankan seorang penjual sarung dalam monolog karya KH M. Shalahuddin A. Warits alias Ra Mamak.
Menyajikan monolog dengan humor-humor segar yang mengkritik perilaku politikus.
BERBAJU batik ungu dan berkain sarung hijau, Inaya Wahid tergopoh-gopoh naik ke atas panggung di gedung Makara Art Center Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 27 Agustus lalu. Dia membawa tas besar yang berisi puluhan kain sarung dagangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu Nay—panggilan akrab Inaya Wulandari Wahid—sedang berperan sebagai bakul (pedagang) sarung dalam pentas monolog bertajuk Negeri Sarung yang digelar oleh Makara Art Center untuk memperingati hari ulang tahun ke-3 Jejaring Dunia Santri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung Nay dengan santai membawakan naskah monolog karya KH M. Shalahuddin A. Warits alias Ra Mamak, kiai muda dari Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Meski naik panggung berdasarkan naskah, sering kali humor sekaligus kritik segar ia lontarkan secara spontan dan membuat seisi gedung tertawa.
Misalnya, Nay menceritakan bahwa, selain berjualan secara langsung dari rumah ke rumah, ia membuka lapak sarung secara online. Tapi sarung enggak laku karena di kampung tempat ia tinggal jaringan Internet-nya tidak pasti, sama tidak pastinya dengan penegakan hukum di negeri ini.
Menurut Nay, naskah dasar monolog itu memang dari Ra Mamak. Tapi ada banyak improvisasi yang dia lakukan dengan melihat siapa yang hadir, termasuk joke-nya. “Ada beberapa joke atau dialog yang enggak ada di naskah,” tutur putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini.
Meski banyak banyolan yang terlontar dari mulutnya, pada pentas yang berlangsung sekitar dua jam itu Nay seolah-olah lebih banyak menumpahkan kritik sosial. Ia juga menyindir penampilan para politikus yang tiba-tiba sarungan ke mana-mana, terutama pada tahun-tahun politik. Padahal, Nay menjelaskan, penampilan mereka itu acap hanya untuk kebutuhan mendulang suara, terutama suara dari kalangan santri yang memang sehari-hari mengenakan sarung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo