Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Johnny Hidayat adalah seorang kartunis yang boleh dibilang kaya gagasan.
Johnny Hidayat juga dikenal sebagai kartunis berjulukan Mbah Kartun Indonesia.
Johnny Hidayat hanya butuh waktu selama lampu merah menyala untuk membuat kartun di dalam mobil.
ADA kalanya yang disebut maestro tersembunyi di pojok sejarah nan gelap dan sunyi, terlewatkan dan kehadirannya tidak disadari. Namun dalam hal Johnny Hidayat A.R., kartunis fenomenal pada masanya, sebetulnya begitu mencolok. Sebab, kartun-kartunnya nyaris menguasai ruang majalah hiburan dekade 1970-1980-an. Adalah kacamata pengamatan, yang merabunkan pandangan, ketika kartun dianggap hanya lucu, ringan, dan gampang sehingga mengalihkan perhatian atas keberadaannya sebagai capaian kebudayaan.
Kartun Johnny bersifat cespleng, sekali tatap menimbulkan gelak, jaminan kebahagiaan seketika (instant happiness). Dalam logika humor yang slebor dan gokil, tersalurlah kejujuran pembaca untuk menjadi terbuka atas tabu yang tertindas santun peradaban. Ini katarsis yang sungguh dibutuhkan dalam iklim kebangkitan dunia kerja di wilayah urban pasca-1965.
Sebagai kartunis, Johnny bagaikan anak kebudayaan urban itu sendiri. Dilahirkan pada 1942 di Mojowarno, Jombang, ia meninggalkan Jawa Timur menuju Jakarta pada pertengahan 1960-an, dengan semangat tinggi untuk menjadi biduan. Bukan hanya menyanyi, putra sulung keluarga guru sekolah dasar ini, pasangan Kuswiyoto Priyopratiknyo dan Suwanti Lukas, juga mahir menggubah lagu. Saat tinggal di Malang, Jawa Timur, Johnny memang bertetangga dengan Ucok AKA, biduan lagu cadas yang beken.
Namun di Jakarta, walau sudah sering berlatih dengan kelompok Zaenal Combo, jalan kariernya ke arah musik baru tersalurkan di atap sebuah toko mebel di Jalan Thamrin yang masih penuh dengan becak. Di deretan toko mebel, dengan bekerja sebagai perancang mebel, Johnny bisa menumpang tidur dari toko ke toko. Tapi di atap itulah peruntungannya bermula.
Seusai kerja, sore hari ia suka memainkan lagu “Johnny Guitar” (Victor Young, 1964) yang populer setelah dibawakan Peggy Lee. “Setelah intro saya sambung lagu Sunda,” katanya. Toh, judul lagu itu yang diingat para dara ketika mencari dirinya yang bernama asli Arifin Hidayat, karena ada tiga orang yang bernama sama. “Yang main Joni Gitar,” begitulah selalu disebut, yang membuat ia bernama komersial Johnny Hidayat A.R., dan disematkan pada setiap kartunnya.
Padahal, meski sudah menggambar di tembok rumah sejak usia 12 tahun, menggambar kartun semula iseng-iseng saja, tapi menjadi kerja utama karena order para redaktur yang mengalir tiada habis. Ibarat kata tiada majalah hiburan tanpa kartun Johnny. Bukan berarti Johnny tidak punya ide lain. Iklan mebel Varia Nusantara dengan tema lagu dari film Jango di TVRI adalah gagasannya. Betapapun, jika dengan honorarium beberapa kartun saja, sepeda motor Kawasaki 90 cc seharga Rp 96 ribu bisa dibelinya pada 1969 (Rp 15.990.270 pada kurs 2020). Jadi tiada alasan ia menolak profesi ini—bahkan digelutinya.
Demikianlah diriwayatkan oleh Nasco dalam majalah Adam & Eva nomor 11 tahun 1977, “Sebelum saya membuat kartun, saya membaca semua isi koran yang terbit di Jakarta. Dengan membaca apa saja kejadian hari itu, saya sudah mendapat bahan kartun. Saya tidak bisa bekerja dengan ketentuan kartun seperti apa yang harus saya buat. Saya juga tidak bisa menunggu ilham dulu lantas baru kerja. Makin banyak yang mendesak minta dibuatkan kartun, karena stock sudah habis, makin giatlah saya bekerja. Semua gagasan datang sendiri tanpa susah-susah mikir. Ambil koran atau majalah, baca sebentar beritanya, ambil spidol sama kertas, jadilah corat-coret yang menghasilkan duit. Makin didesak, makin cepat saya bekerja. Kalau masih ada kartun saya di redaksi, saya tidak bekerja sama sekali. Berapa banyak kartun saya hasilkan setiap hari? Tidak ada yang pasti. Kalau bisa sebanyak mungkin setiap hari.” Dalam catatan Darminto M. Sudarmo, di masa keemasan majalah hiburan, rata-rata Johnny membuat 30 kartun per hari.
Saat majalah memudar sebagai media hiburan, kartun Johnny tetap hadir setiap hari di harian Pos Kota, dan perhatikanlah cara kerja suami Maria Margaretha Rondonuwu ini. Dalam perjalanan dengan mobil dari rumahnya ke kantor Pos Kota, terdapat sejumlah lampu merah. Setiap kali berhenti, Johnny bisa membuat satu-dua kartun. Setibanya di Pos Kota jadilah lima-enam kartun yang siap cetak.
Hanya stroke mampu menghentikan sungai gagasan Arifin Hidayat pada 2013. Ia mewariskan harta karun tak ternilai bagi kebudayaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo