Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lewat yayasan Kalaweit, Chanee mengupayakan perlindungan dan konservasi owa di Kalimantan dan Sumatera.
Femke den Haas asal Belanda mendirikan JAAN dan pusat-pusat perlindungan satwa di Jakarta hingga Bali.
Peneliti lingkungan David Gaveau memperjuangkan penyelamatan hutan Indonesia dari deforestasi.
BERAWAL dari kecintaannya terhadap owa, Aurelien Francis Brule memutuskan menetap di Indonesia. Kebakaran hebat yang melahap hutan dan lahan di berbagai wilayah Nusantara pada 1997-1998 membetot perhatian pria asal Fayence, Prancis selatan, itu. Saat itu Pulau Kalimantan, yang merupakan habitat satwa endemis orang utan dan owa, tidak luput dari amukan si jago merah. Melihat pemberitaan itu, Chanee—sapaan akrabnya—langsung tergerak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chanee, 42 tahun, mengatakan kebakaran hutan itu menjadi titik balik baginya memantapkan tekad membangun konservasi owa di Indonesia. Pria yang tertarik pada owa sejak berusia 12 tahun itu memilih Indonesia karena mayoritas owa hidup di negeri ini dan kelangsungan hidupnya paling terancam. “Saat kebakaran hebat itu, banyak orang fokus perlindungannya ke orang utan. Jadi saya mencoba untuk membuka konservasi owa di sini untuk melindungi mereka,” ujar Chanee saat dihubungi Hurryyati Aliyah dari Tempo, Rabu, 27 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada usia 18 tahun, ia terbang sejauh lebih dari 11 ribu kilometer meninggalkan kampung halamannya. Setiba di Kalimantan, Chanee juga mendapati banyak owa dipelihara masyarakat di kampung-kampung. Padahal primata yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut kalaweit itu seharusnya hidup di alam bebas. Karena itu, tiga bulan setelah kedatangannya pada Mei 1998, Chanee langsung mengurus surat izin kerja sama dengan Departemen Kehutanan untuk membangun Yayasan Kalaweit Indonesia sebagai pusat konservasi owa pertama di Indonesia.
Hingga kini Yayasan Kalaweit Indonesia masih beroperasi di dua kawasan konservasi, yaitu Pararawen dan Dulan di Kalimantan Tengah, dengan luas area 302 hektare dan 675 hektare, serta Supayang di Sumatera Barat seluas 390 hektare. Selain owa, yayasan itu menerima berbagai satwa yang perlu dilindungi dan terancam hidupnya di kawasan konservasi mereka. “Ada kepuasan sendiri setiap kali melindungi atau menyelamatkan satwa. Saya merasa ada gunanya,” kata Chanee, yang sering mempublikasikan kegiatannya lewat kanal YouTube, Chanee Kalaweit.
Femke den Haas di pusat rehabilitasi untuk lumba-lumba di Buleleng, Bali, 10 Desember 2019. Courtesy of/Tim Calver/Ric O'Barry's DolphinProject.net/Handout via REUTERS
Keberagaman dan keunikan biodiversitas di Indonesia sudah lama menarik perhatian para peneliti asing. Seperti Chanee, Femke den Haas telah mengenal Indonesia sejak berusia 16 tahun saat mengikuti ayahnya yang bekerja di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Sejak berumur delapan tahun, Femke mengaku sudah aktif membantu satwa liar dan tidak lagi mengonsumsi daging. “Saya tertarik dengan dunia penyelamatan satwa karena saya tidak tega melihat penderitaan satwa,” tutur Femke, 43 tahun, saat dihubungi, Sabtu, 30 Oktober lalu.
Keterlibatannya dalam program konservasi di pusat penyelamatan orang utan yang dikelola yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation di Balikpapan memupuk kepeduliannya terhadap satwa endemis Indonesia. Ketika di Belanda, ia pernah bekerja di pusat penyelamatan primata European Endangered Species Programmes. “Di sana banyak satwa yang masuk untuk dilindungi rata-rata diselundupkan dari Indonesia untuk dijadikan peliharaan atau diperjualbelikan,” ujarnya.
Sejak saat itu, Femke bertekad mengkampanyekan perlindungan dan pelestarian satwa. Pada 2002, ia terlibat dalam pendirian pusat-pusat penyelamatan satwa hasil sitaan negara yang saat itu belum ada di Indonesia. Ia juga turut membentuk pusat penyelamatan kukang, elang bondol, lumba-lumba, dan monyet. Lokasinya tersebar dari Ciapus, Bogor, Bali, hingga Sumatera. Pada 2008, Femke bersama dua rekannya, Karin Franken dan Natalie Stewart, mendirikan Jakarta Animal Aid Network (JAAN). JAAN berfokus pada perlindungan dan penyelamatan hewan domestik, seperti anjing dan kucing, serta satwa liar.
Bagi peneliti hutan dan aktivis lingkungan David Gaveau, ketertarikannya pada alam Indonesia bermula sejak belia. Masih lekat dalam ingatannya saat berusia sekitar delapan tahun dan membaca buku-buku lama dengan ilustrasi foto hitam-putih tentang hutan dan masyarakat adat di Sumatera, Kalimantan, serta Bali. Ia terkesima pada apa yang dilihatnya. “Hati saya merasa terpaut di sana,” kata pria asal Montpellier, Prancis selatan, ini pada Kamis, 28 Oktober lalu.
David Gaveau. Dok. Pribadi
Merasa mendapat panggilan jiwa, Gaveau memutuskan berkelana ke Indonesia pada 2002 saat berusia 28 tahun. Terbang dari Prancis ke Malaysia, ia mengunjungi Medan dengan kapal berbekal visa turis. Ia bepergian selama beberapa bulan, termasuk 12 hari perjalanan ke jantung Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh. Persinggungannya dengan lembaga konservasi lingkungan di sana memberikan jalan untuk tinggal dan bekerja di Indonesia hingga hampir 18 tahun.
Sebagai peneliti lingkungan, Gaveau terlibat dalam berbagai program konservasi. Ia pernah menyelidiki pembukaan hutan secara ilegal oleh petani kopi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, menyaksikan langsung hutan-hutan yang belum tersentuh di Papua pada 2018, hingga meneliti wilayah hutan yang terbakar di Kalimantan pada 2015 dan 2019. Pada awal 2020, ia dideportasi setelah menerbitkan hasil penelitiannya tentang kebakaran hutan tahun sebelumnya itu. “Perkiraan kami tentang area yang terbakar dua kali lipat dari angka yang dilaporkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tuturnya.
Peristiwa itu tidak membuat David Gaveau kapok. Ia lantas mendirikan TheTreeMap dan membuat Nusantara Atlas. Publik dapat menggunakan aplikasi gratis tersebut untuk memantau deforestasi di Indonesia. Informasi di dalamnya akurat karena menggunakan citra satelit dan data kadastral terbaik. “Saya hanya memberikan informasi yang sesuai dengan fakta lapangan,” ujar Gaveau.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo