Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Riset Saja Daripada Ribut

Atraksi pertunjukan lampu di malam hari atau glow di Kebun Raya Bogor menuai protes. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko menjelaskan ide awalnya.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Usulan operator untuk membuat atraksi glow disetujui untuk kebutuhan edukasi.

  • Setelah ada protes atas atraksi Glow, Badan Riset dan Inovasi Nasional meminta ada kajian atas dampaknya.

  • Pengajuan Kebun Raya Bogor sebagai warisan cagar budaya dunia sudah masuk daftar tentatif.

ATRAKSI glow atau pertunjukan instalasi lampu pada malam hari di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, memicu protes dari sejumlah kalangan sejak September lalu. Para penolak glow mengkhawatirkan terganggunya ekosistem kebun botani yang sudah berumur 204 tahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menjelaskan, ide awal glow muncul dari PT Mitra Natura Raya yang menjadi mitra BRIN dalam mengelola Kebun Raya Bogor. Handoko menekankan pentingnya mengkaji dampak lampu penerang dan efek kebisingan suara bagi Kebun Raya Bogor. Dalam wawancara dengan Tempo, Handoko juga menjelaskan perkembangan pengusulan Kebun Raya Bogor sebagai World Heritage Site UNESCO.

Tanggapan Anda atas protes soal atraksi glow ini?
Protes biasa saja. Kalau tidak protes, bukan akademikus. Saya sudah baca surat protesnya. Sejujurnya saya sendiri tidak langsung terkait dengan itu. Karena itu pengelola kebun raya (PT Mitra Natura Raya). Makanya saya tanya, ini apa? Saya tahu ada rencana glow itu seingat saya sebelum masa pandemi.

Bagaimana ide awal glow itu?
Mitra operator Kebun Raya, PT MNR, mempunyai usul untuk edukasi pengunjung memakai glow. Saya waktu itu mengatakan silakan saja untuk edukasi. Intinya, di Kebun Raya, meski sebagai mitra operator, dia tak bisa seenaknya. Dia tidak ikut memiliki lahan. Karena lahan itu harus tetap bisa dipakai untuk riset.

Kenapa membuat pertunjukan itu?
(Alasan operator) Kebun raya di berbagai negara melakukan itu. Singapura, Perth, Edinburgh, New York, dan macam-macam.

Apakah ada kajian sebelumnya?
Waktu itu sejujurnya saya tanya, problem enggak? (Mereka mengatakan), “Yang lain juga melakukan”. Makanya waktu ada yang mempertanyakan sekarang, saya pertanyakan lagi gimana ini? Apakah betul oke bagi lingkungan? Teman-teman saya ada dua pendapat. Ada yang mengatakan berpotensi merusak lingkungan, ekosistem. Yang lain mengatakan tidak ada masalah karena kebun raya itu taman kota, artifisial.

Meskipun kebun raya ini sudah berumur 200 tahun?
Iya. Tapi tiap hari kan harus dipotong. Jadi tidak ada ekosistem alami di situ. Saya sampaikan, ya sudah suruh riset saja daripada ribut.

Glow tetap dioperasikan saat proses riset?
Kalau tidak ada glow-nya, gimana mau riset? Pertunjukan glow itu kan ada juga unsur ceritanya. Pengunjung, rombongan sampai 20 orang, dipandu. Muatan informasinya soal tumbuhan, tanaman, dan lingkungan. Bukan kayak suasana dugem begitu.

Glow itu kan bagian dari artificial light at night (ALAN) yang itu sudah banyak riset soal dampaknya?
Justru itu yang saya suruh riset. Bukan hanya glow. Kebun raya kita ini di tengah kota sangat padat dan sangat terang. Apalagi setelah ada jalur pedestrian di sekelilingnya. Lampunya banyak. Saya ingin sekalian dicek. Itu harus diteliti supaya saya punya basis, panduan, untuk semua kebun raya dan taman kota.

Kalau terbukti merusak, apakah atraksi glow bisa direvisi?
Ya, dong. Yang merusak lingkungan itu kita ingin tahu apa, bukan merusak atau tidak merusak. Termasuk di situ masalah suara. Ini juga gede pengaruhnya. Secara umum justru yang paling gede. Apalagi di sini angkutan kota 24 jam mengitari Kebun Raya Bogor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah ada penelitian sebelumnya soal apa yang mempengaruhi kebun raya?
Belum ada. Makanya saya bilang lakukan, dong. Jadi (ada referensi) waktu nanti kita mengembangkan kebon raya baru seperti di Observatorium Nasional di Gunung Timau. Saya justru lebih khawatir di sana. Kalau ini (Kebun Raya Bogor) kan barang artifisial dari sononya.

Kasus soal glow ini apakah akan berpengaruh terhadap nasib usul Kebon Raya Bogor sebagai WHS?
Apa urusannya?

Permohonan itu seperti apa perkembangannya?
Sekarang masih dalam proses. Masih dalam shortlist (tentative list, redaksi).

Luas yang dimohon sebagai WHS benarkah ada perubahan?
Saya ubah dari yang awal. Luasnya tidak hafal (berdasarkan data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: 27,1 hektare zona inti dan 92,4 hektare zona penyangga, redaksi). Di awal itu semua kebun raya (yang diusulkan). Tak bisa begitu. Kalau semuanya, penduduk kena. Nanti kalau penduduk mau renovasi, kan harus minta izin ke (kantor pusat UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani pendidikan, sains, dan kebudayaan, ) Paris. Selalu ada buffer zone. Di mana pun di dunia yang memohon WHS itu sekecil mungkin. Yang penting sudah ada. Kalau terlalu luas, kalau nanti peneliti perlu menanam anggrek, enggak bisa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus