Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMONSTRASI kawal putusan MK mengusik Agus Widjojo yang kini tinggal di Manila sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina. Ia gundah melihat perkembangan terakhir, terutama proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak mengesahkan undang-undang bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unjuk rasa tersebut berusaha menggagalkan upaya DPR mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah atau Undang-Undang Pilkada yang baru guna menjegal putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas suara partai untuk mengusung calon kepala daerah dan usia calon kepala daerah. Putusan MK itu menjegal keinginan Joko Widodo mencalonkan anak bungsunya, Kaesang Pangarep, yang belum cukup umur menjadi kandidat kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus disebut mengirim pesan kepada kolega-koleganya. "Pelihara momentum dan lanjutkan terus. Sebentar lagi masuk garis finis. Pelajaran ketiga untuk demokrasi Indonesia dan yang termahal. Kalau tidak gigih, bisa kalah," demikian isi pesannya.
Ketika Tempo meminta konfirmasi atas pesan berantai itu, Agus mengatakan hanya tahu garis finis jika mengikuti lomba lari maraton. "Saya tak tahu di mana finisnya," katanya, lantas terbahak. Menurut Agus, setiap orang punya aspirasi. "Aspirasi berbeda akan punya upaya yang berbeda."
Sebab, selain ingin mengesahkan Undang-Undang Pilkada, DPR hendak meloloskan Undang-Undang Kepolisian RI atau UU Polri serta Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, yang akan mengembalikan tentara ke ranah politik dan bisnis seperti pada era Orde Baru. Agus, yang dikenal sebagai tentara reformis, mengatakan perluasan kewenangan prajurit mesti dibatasi karena mengemban jabatan sipil bukan tugas pokok TNI. “Setelah itu (operasi militer selain perang), TNI harus kembali menjalankan fungsi pertahanan,” ucap lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1970 yang ikut melahirkan Undang-Undang TNI yang menghapus dwifungsi tentara pada masa Orde Baru tersebut.
Agus, 77 tahun, tak sepakat jika tentara kembali berbisnis. Menurut dia, tentara berpotensi memiliki loyalitas ganda jika diizinkan berbisnis. Negaralah yang mesti menjamin kesejahteraan prajurit, bukan membiarkan tentara mencari para tauke. “Jangan biarkan prajurit berpikir sendiri, luntang-lantung sendiri, mencari cukong, dan membuka warung,” ujarnya dalam wawancara melalui telekonferensi dari Manila, ibu kota Filipina, pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Agus menerima wartawan Tempo, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, Praga Utama, dan Yosea Arga Pramudita, dalam wawancara khusus selama hampir dua jam. Putra pahlawan revolusi Sutoyo Siswomiharjo itu juga membahas posisi TNI di tengah dinamika politik akibat rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang memicu gelombang unjuk rasa.
DPR hendak merevisi Undang-Undang TNI yang memperluas kewenangan militer. Anda pasti tak setuju. Tapi apa argumennya?
Reformasi TNI dulu dilakukan untuk membuat tentara yang profesional dalam sistem negara demokrasi. Sebab, praktik tentara sebelum periode 2000-an diambil dari masa darurat perjuangan karena waktu itu belum ada negara. Tentara yang menjadi cikal bakal TNI itu merupakan bangsa yang berjuang. Kondisinya tak bisa begitu terus sehingga perlu dibentuk tentara reguler. Bagi saya, ukuran reformasi TNI adalah menjalankan fungsi pertahanan berdasarkan konstitusi dan prinsip demokrasi.
Salah satu isi revisi adalah memperluas jabatan sipil yang bisa diisi prajurit. Anda melihat pemerintah mencoba mengembalikan dwifungsi ABRI?
Operasi militer selain perang enggak perlu dirinci. Ia bisa dipakai untuk apa saja. Praktik ini dulu disebut civic mission: tentara membantu meningkatkan produksi pangan, membangun jembatan, dan masuk ke desa. Hakikatnya adalah pendayagunaan semua aset yang diberikan negara kepada tentara untuk mendukung upaya perang. Namun, karena perangnya belum ada, mereka menjadi menganggur atau idle. Daripada begitu, mereka diberdayakan untuk membangun sawah dan jembatan.
Anda sepakat tentara mengemban jabatan sipil?
Jangan selamanya mereka diberi tugas itu. Harus dibatasi kerangka waktu dan anggaran. Karena itu bukan tugas pokok TNI. Operasi militer selain perang tak perlu dibatasi, tapi harus berpegang pada prinsip pengerahan berdasarkan keputusan presiden. Setelah itu, TNI harus kembali menjalankan fungsi pertahanan.
Bukankah presiden bisa saja bias dalam memutuskan pos jabatan yang boleh diisi tentara?
Panglima TNI tidak memiliki kewenangan memulai penggunaan tentara. Pengerahan militer merupakan keputusan politik. Panglima TNI tidak memiliki kewenangan membuat keputusan politik karena itu harus berasal dari otoritas politik. Panglima TNI tidak pernah dipilih oleh rakyat sehingga tidak memiliki pinjaman kedaulatan rakyat untuk membuat keputusan politik. Masalahnya di situ. Yang punya kewenangan adalah presiden dan kedudukan tentara di bawah presiden.
Apa tugas Panglima TNI dalam situasi yang landai seperti sekarang?
Dia menyiapkan pasukan, melaksanakan perintah setelah dikerahkan. Dia memilih cara, strategi, dan taktik untuk mencapai tujuan terkait dengan tugas yang diberikan kepadanya. Jadi sifatnya operasional.
Dalam draf revisi Undang-Undang TNI juga ada aturan bahwa tentara boleh berbisnis. Apa alasan tepat menolak gagasan ini?
Prajurit yang memegang senjata jangan sampai bingung menempatkan loyalitas. Jangan ada kesetiaan ganda. Semua harus dari negara. Yang akan memberi tugas adalah negara. Kalau ia mati, itu untuk negara. Kewajiban negara memenuhi semua kebutuhan prajurit. Jangan biarkan prajurit berpikir sendiri, luntang-lantung sendiri, mencari cukong, dan membuka warung. Nanti mereka terpecah.
Aturan berbisnis hanya akan menguntungkan para perwira dan segelintir elite....
Apa pun definisi tingkat kesejahteraan, ajari prajurit bahwa mereka hanya bisa mendapatkannya dari negara. Ajari negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anggota TNI. Yang sedikit itu dibagi rata. Kalau semua mendapat sedikit, semua akan mengerti. Tidak harus berfoya-foya, sesuaikan dengan kemampuan negara.
Anda yakin revisi itu bertujuan memangkas kesenjangan kesejahteraan antara tentara dan polisi yang terjadi akhir-akhir ini?
Siapa yang berwenang menentukan anggaran TNI? Anggaran Polri? Itu otoritas politik. Tanyakan kepada mereka mengapa pilih kasih. Saya tidak percaya otoritas politik pilih kasih. Coba lihat secara jujur dan terbuka, polisi dapat kesejahteraan dari mana? Ada kantor samsat, sedangkan TNI enggak punya. Itu sumber-sumber yang tidak direncanakan dalam struktur kenegaraan. Kalau itu dibersihkan, saya yakin TNI dan Polri sama. Saya yakin pemerintah tidak pilih kasih memberikan anggaran lebih besar untuk Polri ketimbang TNI. Tertibkan, dong. Polisi menerima lebih tebal ketimbang TNI karena di pembuluh darahnya ada kolesterol. Jadi kolesterol itu yang harus dibersihkan.
Beberapa waktu lalu, muncul gerakan masyarakat sipil memprotes revisi Undang-Undang Pilkada. Apa kaitannya dengan peran TNI?
TNI diberi peran pertahanan nasional oleh konstitusi. Pertahanan nasional itu mempertahankan kedaulatan negara, integritas, dan keutuhan wilayah nasional. Sebuah negara berdaulat bila memiliki pemerintahan dan diakui negara lain. Intinya adalah tegaknya pemerintahan yang sah. Ancaman terhadap kedaulatan, dalam konteks TNI, hanya bisa datang dari luar negeri apabila dipaksakan dengan kekuatan militer.
Mengapa ancaman kedaulatan dimaknai datang dari luar negeri?
Apa ada ancaman kedaulatan datang dari dalam negeri? Kalau dari dalam negeri, itu masuk wilayah yurisdiksi sistem hukum nasional. Untuk segala sesuatu yang datang dari dalam negeri, alatnya sudah ada, yakni penegakan hukum. Ia tidak mungkin ujug-ujug mengancam kedaulatan dan menggulingkan pemerintah.
Apa contohnya?
Misalnya, ada ancaman melalui Laut Cina Selatan, mendarat di Kalimantan Barat, lalu menduduki sebagian wilayah itu. Ancaman ini merusak keutuhan wilayah nasional, merusak integritas wilayah nasional. Kalau ada perusakan wilayah nasional dengan kekuatan paksa dari luar, yang kalah bukan pemerintah daerah Kalimantan Barat, melainkan pemerintah nasional Indonesia.
Ada juga kelompok di daerah yang memberontak dan punya aspirasi merdeka....
Itu merupakan tindakan pidana, pelanggaran hukum, sehingga perlu ditindak. Jika pada tahap awal aktivitas itu ada penegakan hukum secara efektif, logikanya tidak mungkin ada ancaman terhadap kedaulatan dari dalam negeri.
Agus Widjojo
Tempat dan tanggal lahir:
- Solo, Jawa Tengah, 8 Juni 1947
Jabatan:
- Duta Besar Indonesia untuk Filipina (2022-sekarang)
- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (2016-2022)
Pendidikan:
- Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
- Master of military art and science US Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat
- Master national security US National Defense University, Washington, DC
- Master administrasi publik George Washington University, Washington, DC
Dalam konteks hari ini, ancaman dari luar atau dalam negeri menjadi lebur karena adanya proksi, kan?
Saya kira masih relevan, tapi jangan buru-buru menggunakan istilah perang proksi. Fokus utama tugas TNI adalah perang dan jangan dilepaskan dari itu. Jika itu terjadi, sumber daya akan hilang dan tentara malah tak jago perang.
Kapan saat yang tepat mengerahkan TNI untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri?
Ada jalannya. Semua harus datang dari presiden melalui deklarasi bahwa ada bidang pemerintahan yang memerlukan bantuan TNI. Presiden menggunakan TNI untuk operasi bantuan dalam keadaan damai. Bisa untuk memulihkan keamanan atau mempercepat pembangunan. Pengerahan itu didasarkan pada tingkat kedaruratan dan yang paling tinggi adalah tertib sipil. Dalam kondisi tertib sipil, pemerintahan sipil yang dipilih rakyat punya kewenangan penuh menyelenggarakan pemerintahan.
Prajurit TNI mengawasi sejumlah mahasiswa yang menerobos pagar saat berunjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, 22 Agustus 2024. Antara/Galih Pradipta.
Bagaimana jika ada gangguan yang membutuhkan penanganan keadaan darurat?
Pada tingkat pertama adalah keadaan darurat sipil. Dalam keadaan darurat sipil, pemerintahan sipil memegang wewenang penuh, tapi bisa membatasi kebebasan hak-hak penduduk. Misalnya, membatasi gerakan melalui jam malam dan membatasi kegiatan berkumpul.
Sebagian masyarakat, misalnya di Aceh, punya trauma terhadap situasi darurat itu. Apakah masih relevan menggunakan terminologi tersebut dalam kondisi demokrasi hari ini?
Demokrasi tidak menghilangkan kata darurat. Perangkat negara harus disiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan. Jangan juga, kalau negara sudah demokratis, merasa tidak memerlukan tentara. Tentara sangat dihormati di negara paling demokratis, seperti Amerika Serikat dan Filipina. Jangan dikira, kalau sudah jadi negara demokrasi, segala sesuatu yang berbau kekerasan hilang. Menurut saya, pernyataan keadaan darurat berkaitan dengan kewenangan penggunaan hukum. Jika tak ada pernyataan darurat, tentara juga dikerahkan. Mereka mengambil tindakan terhadap orang yang dianggap ancaman tanpa payung hukum yang jelas. Itu menjadi tak terkontrol seperti di Papua saat ini. Di sana kondisinya berlarut-larut dan berbagai cara sudah dipakai untuk mengerahkan pasukan TNI.
Soal pengerahan TNI di Papua, bagaimana Anda melihatnya?
Pada kenyataannya, hasilnya kurang efektif dan prajurit TNI tetap banyak yang terbunuh. Prajurit TNI juga tidak bisa berbuat banyak karena status hukumnya tertib sipil. Karena itu, prajurit TNI tidak bisa mengeluarkan tembakan, mengadakan operasi militer, dan melakukan pengejaran karena tidak ada dasar hukumnya. Akhirnya, prajurit TNI yang menjadi target karena tidak bisa melawan. Tapi kelompok bersenjata di Papua mudah sekali menemukan tempat-tempat tentara.
TNI beberapa kali dikerahkan untuk penanganan demonstrasi, salah satunya mengawal revisi Undang-Undang Pilkada. Apakah tepat?
Konteksnya TNI membantu pemulihan keamanan sehingga harus dipikirkan soal aturan pelibatannya. Bagaimana TNI memperlakukan demonstran? Apakah TNI juga berlaku sebagai polisi? Siapa yang memegang komando, polisi atau TNI? Jadi perlu diputuskan dan harus kontekstual.
Bagaimana semestinya TNI bersikap dalam situasi politik hari ini?
Jangan tanyakan itu kepada TNI. Itu bukan urusan TNI. Itu urusan politik. Apabila terjadi pengembangan eskalasi ancaman keamanan, apabila diperlukan, TNI menunggu perintah dan akan melaksanakan perintah itu. Jadi mantra prajurit itu kerjakan, kerjakan, dan kerjakan.
Jadi TNI sangat bergantung pada keputusan politik?
Ajarilah otoritas politik mempelajari konstitusi. Jangan terlalu cepat tangan ini gatal memakai tentara hanya karena ada sedikit gangguan. Tentara itu patuh, gampang dikerahkan: untuk bikin jembatan, turun ke sawah, hingga membunuh musuh. Tapi jangan gatal menggunakan tentara untuk kerja murahan.
Kapan presiden bisa meminta pertimbangan sipil untuk pengerahan militer?
Boleh sekali dan ia ada pada tingkat tertinggi. Tapi, kalau kita bicara TNI, jangan seolah-olah semuanya ikut berpikir tentang itu. Karena itu, dalam struktur pemerintahan, ada tingkat pimpinan, pengambil keputusan, dan pembantu pengambil keputusan. Tapi itu bukan dalam konteks penggunaan senjata, melainkan pada tingkat apakah perlu menggunakan TNI. Prinsipnya seperti perusahaan. Ada pemimpin yang akan mengambil keputusan dan tanggung jawab. Wewenang pengerahan TNI hanya ada pada satu orang: presiden. Tentu itu harus dikontrol DPR. Kita tak dapat mengandalkan TNI sebagai obat mujarab.
Apakah kita masih bisa berharap pada fungsi checks and balances ketika pemerintah membangun koalisi gemuk?
Demokrasi tidak takut pada mayoritas. Demokrasi tidak takut pada perimbangan yang jomplang. Justru demokrasi menyatakan, kalau mayoritas menang, mereka harus bisa juga memikirkan hak-hak minoritas. Terkadang kita tidak utuh memahami demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo