Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dudung Abdurachman membantah tudingan soal ketidaklayakan anaknya masuk Akademi Militer.
Selama memimpin TNI AD, Dudung melakukan sejumlah pembenahan internal.
Dia juga menjelaskan masalah kekerasan dan kelompok kriminal bersenjata di Papua.
AKHIR tahun lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Effendi Simbolon, mengabarkan bahwa Muhammad Akbar Abdurachman tidak lulus tes Akademi Militer. Akbar adalah anak Jenderal Dudung Abdurachman, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, yang punya hajat penerimaan taruna baru. Informasi yang dibawa Effendi langsung membuat panas. Ada yang menghubungkan persoalan tak diterimanya Akbar dengan rivalitas Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Dudung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Dudung menjadi salah satu calon pengganti Andika yang akan pensiun pada akhir tahun lalu. Apalagi Dudung memprotes pencoretan nama anaknya sebagai calon taruna lewat surat kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Prabowo lalu menerbitkan surat keputusan yang mengubah alokasi taruna dari 401 menjadi 449. Akbar pun, yang sempat dicoret karena usianya kurang dua bulan dari 17 tahun 9 bulan, masuk akademi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setengah tahun setelah ribut-ribut itu, Dudung baru membuka duduk soal yang sebenarnya. Kepada Tempo pada Senin, 15 Mei lalu, ia menunjukkan foto anaknya. Dengan tinggi 178 sentimeter, Akbar terlihat menjulang di sebelah ayahnya. Karena itu, Dudung mengatakan alasan tinggi badan yang membuat anaknya dicoret tak masuk akal.
Dia mengungkapkan, penerimaan taruna di Akademi Militer menjadi salah satu yang dia benahi sejak menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pada November 2021. Dia juga memberlakukan kembali seleksi ketat bagi anggota TNI yang akan masuk Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Selain itu, dia menyerahkan werving atau pengarahan dan penerimaan personel TNI bagi bintara dan tamtama kepada Panglima Komando Daerah Militer.
TNI selalu menjadi sasaran kritik tiap kali membicarakan Papua karena pemerintah memakai pendekatan keamanan. Kini TNI kembali masuk sorotan ketika pemerintah mengajukan revisi Undang-Undang TNI. Banyak yang mengkritik rancangan undang-undang baru ini akan mengembalikan TNI seperti di masa Orde Baru yang punya kekuatan politik, yang sebelumnya dihilangkan sebagai tuntutan Reformasi 1998.
Duduk soal anak Anda yang tak lolos seleksi Akademi Militer itu bagaimana?
Ini anak saya. Foto saya di sini. Tempo juga keliru memberitakan. Seharusnya berikan informasi yang akurat, bukan memojokkan saya. Rekrutmen taruna, tamtama, bintara, itu kewenangan saya. Mau tambah, mau mengurangi, terserah saya. Kalau, misalnya, mau tambah, saya mengajukan permohonannya ke Menteri Pertahanan. Makanya, dalam rekrutmen taruna, Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan diundang. Bisa saja dalam proses pemilihan banyak yang bagus. Alokasi kami 450, tapi masih ada 10 orang yang bagus. Saya akan tanya, “Dirjen, bisa atau enggak menambah?” “Bisa, Pak. Saya laporkan Menhan dulu. Konsekuensinya, tahun depan Bapak akan mengurangi 10.”
Kewenangan Panglima TNI di mana?
Tidak ada. Itu kewenangan KSAD. Setelah disetujui, keluar surat keputusan Menteri Pertahanan.
Soal tinggi badan anak Anda, bagaimana penyelesaiannya?
Anak saya werfing-nya terbaik. Dia dari SMA Taruna Nusantara. Nilai psikologi dan akademik kan tidak bisa dicuri. Memang usia anak saya kurang dua bulan. Sekarang, begini. Dulu, di 2020, waktu saya masih Gubernur Akademi Militer, ada yang umurnya kurang lima bulan diluluskan. Pada 2021 juga begitu. Angkatan saya saja, yang sekarang ini jadi jenderal bintang satu, waktu mendaftar usianya kurang enam bulan. Angkatan 1987 pernah ada yang kurang umur enam bulan. Jadi dari tahun-tahun sebelumnya banyak yang usianya kurang. Apalagi anak sekarang kan banyak (kelas) akselerasi sehingga toleransi (usia) tergantung pada KSAD.
Jadi apa di balik keriuhan ini?
Saya tidak paham. Kepada anak, saya bilang, “Kamu enggak lulus, tidak masalah.” (Bagaimana) kalau terjadi pada orang lain, misalnya. Kewenangan saya ini, lho, sebagai KSAD. Alokasi penyediaan prajurit TNI didasarkan pada keputusan Menteri Pertahanan. Menteri yang tanda tangan, bukan Panglima TNI.
Ihwal personel TNI AD, apakah jumlahnya sudah ideal?
Dari segi kekuatan, kami masih 76 persen. Sekarang jumlahnya 400 ribuan. Idealnya hampir 500 ribu. Tapi yang ideal itu harus sebanding dengan anggaran. Sebab, anggaran masih banyak untuk belanja pegawai, biaya rutin. Kalau lihat semua batalion, komando daerah militer, kami masih terbatas, kurang. Alutsista (alat utama sistem persenjataan) juga sama. Kami menyesuaikan dengan anggaran.
Apa yang Anda lakukan?
Saya mengembalikan TNI Angkatan Darat pada trahnya. Memang ada perubahan-perubahan signifikan sebelum (periode) saya. Di sini kan ada ketentuannya, ada aturannya.
Apa saja yang kebijakan yang dikembalikan?
Penerimaan Seskoad harus melalui proses seleksi dan ketat, karena itu berpengaruh pada pola pembinaan.
Apakah sebelumnya tidak ada seleksi?
Sebelum saya memimpin, tidak ada seleksi sehingga begitu mudahnya (orang masuk Seskoad). Akhirnya, mereka (lulusan Seskoad) mengajukan tuntutan, dong. “Saya sudah sekolah, saya minta (pangkat) kolonel, jabatan.” Kalau sebelumnya, seperti zaman Pak Mulyono (KSAD 2015-2018), ada seleksi.
Kebijakan lain?
Werving tamtama, bintara, saya beri kepercayaan kepada Panglima Komando Daerah Militer. Kalau untuk taruna kan kewenangannya di KSAD.
Apa dampak kebijakan sebelum Anda itu?
Banyak sekali. Di situlah akhirnya orang-orang yang betul-betul menjalani seleksi Seskoad waktu itu merasa dulu melaksanakan tes tidak mudah. Persiapannya meliputi fisik dan jasmani, kemudian kesehatan, akademik, dan psikologi. Persiapan untuk ke Seskoad tidak saat seseorang berpangkat mayor. Saya saja dari letnan satu sudah mempersiapkan akan ke Seskoad saat nanti berpangkat mayor. Kemudian nanti di Seskoad, peserta didik sudah berpangkat letnan kolonel senior, kemudian (masuk) tanpa tes. Tiba-tiba, setelah di Seskoad, peserta didik kemudian menduduki jabatan kolonel. Ini yang akhirnya menyulitkan kami.
Bagaimana mengenai kebijakan penerimaan taruna di Akademi Militer?
Sama. Kami (Markas Besar TNI AD) kan melaksanakan pembinaan, Panglima TNI penggunaan, Menteri Pertahanan pengembangan. Merekrut adalah kewenangan kami.
Soal jumlahnya?
Sesuai dengan kebutuhan. Makanya kenapa dalam hal personel ataupun kebutuhannya, kami mengajukan permohonannya ke Kementerian Pertahanan. Tidak pernah kami mengajukan permohonan ke Mabes TNI. Itu belum pernah terjadi. Kebutuhan alutsista saya ajukan permohonannya ke Mabes TNI, belum pernah terjadi.
Pasti ke Kementerian Pertahanan?
Karena Kementerian yang punya anggaran. Sebagai contoh, pada 2023 (kami) memerlukan 6.000 tamtama, 4.000 bintara, dan 450 taruna. Kami mengajukan permohonan ke Kementerian Pertahanan. Tidak pernah kami ajukan permohonan ke Panglima TNI.
Itu sesuai dengan kewenangannya?
Memang kewenangannya seperti itu. Kan, yang punya anggaran Kementerian. Urusan personel ditangani Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan. Itu yang atur dia. Kalau anggaran alutsista ke Direktur Jenderal Anggaran Pertahanan.
Panglima TNI mendapatkan laporan pengajuan?
Panglima juga memohon anggaran untuk kebutuhan mereka (ke Kementerian Pertahanan).
Tidak ada kewajiban koordinasi?
Hanya koordinasi. KSAD dilantik presiden. Panglima TNI dilantik presiden. Kami (KSAD) tidak dilantik Panglima TNI.
Kondisi alutsista kita seperti apa?
Sekitar 60 persen untuk Angkatan Darat. Tapi itu pun tidak terlalu banyak.
Mengenai situasi Papua, mengapa kekerasan di sana tidak berhenti?
Papua itu bukan masalah TNI dan Polri saja. Masalah bangsa. Saya pernah bicara dengan Wakil Presiden. “Pak, ini semuanya harus terlibat. Kalau seperti ini terus, akhirnya akan ada dendam kesumat antara TNI-Polri dan KKB (kelompok kriminal bersenjata). KKB mati sekian, nanti TNI-Polri mati sekian. Terus begitu berulang-ulang. Mereka mati, pasti juga ada yang sedih. Mungkin keluarganya. Kita juga sama.” Tapi Papua bukan hanya itu. Sekarang, misalnya, KKB habis semua. Selesai atau enggak persoalannya? Belum tentu. Makanya kami ada operasi intelijen, operasi teritorial, ada operasi tempur. Operasi teritorial kami terjunkan ke kampung-kampung. Anggota kami datang, bertanya, “Bagaimana, Mama? Sehat?” Dijawab, “Sehat, Bapak. Lapar, Pak.” Lha, itu. Seharusnya Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Sosial, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Pertanian terlibat. Semuanya terlibat. Yang terjadi, anak buah kami berangkat bawa bibit tanaman dan mainan anak-anak sendiri, juga membeli buku dan pulpen sebagai sarana kontak (dengan masyarakat). Padahal anggaran untuk itu kami tidak punya.
Jadi seharusnya Papua dilihat sebagai masalah bersama?
Ini bukan masalah TNI-Polri saja. Bukan masalah keamanan, kok.
KKB kan masalah keamanan?
KKB-nya, iya. Mereka kan kriminal sebenarnya. Hanya cari makan sebetulnya. Saya jamin kegiatan politik mereka juga terbatas, pihak luar juga tidak merespons. Nah, sekarang mereka mulai belajar mencari respons dari luar. Salah satunya dengan penyanderaan.
Kalau pendekatan keamanan apakah sudah maksimal?
Sudah bagus pendekatannya.
Apa peran KSAD dalam persoalan Papua ini?
Ini perlu digarisbawahi. Yang beroperasi di sana mayoritas personel Angkatan Darat. Angkatan Udara dan Angkatan Laut juga ada yang ikut operasi. Bukan berarti saat ada anggota Angkatan Darat yang gugur berarti KSAD enggak bekerja. Contoh, Panglima TNI minta disiapkan pasukan empat batalion. Saya akan tanya ke asisten operasi, batalion mana yang sudah pernah melaksanakan tugas ke sana? Harus di-rolling, jangan yang kemarin baru pulang ditugaskan lagi. Pasukan yang hendak bertugas mesti disiapkan. Kami latih di AD. Setelah itu, kami laporkan kepada Panglima TNI, yang mau menggunakan. Nanti di Mabes TNI ada latihan pratugas. Perlengkapannya juga Panglima TNI yang menyiapkan, bukan KSAD. Setelah itu, mereka diberangkatkan dengan upacara pemberangkatan oleh Panglima TNI, bukan KSAD.
Kalau strategi menghadapi KKB?
Termasuk strategi (di tangan Panglima TNI). Saya tidak boleh mengendalikan. “Pangdam, kamu coba begini, bergerak ke sini.” Enggak boleh. Salah besar.
Anda sudah berapa kali ke Papua?
Tiga kali. Yang pertama kunjungan pembinaan ke komando daerah militer. Tapi, kalau ke daerah operasi, saya kan dengan Panglima TNI. Saya diajak Panglima.
Lalu bagaimana menangani KKB ini?
Masyarakat Papua, menurut saya, hampir di atas 90 persen sebetulnya cinta NKRI. KKB ini kan kriminal. KKB antara lain berjanji memberi dana desa, dana kecamatan, dan dana otonomi khusus. Itulah yang mereka manfaatkan. Padahal mereka tidak bekerja. Setiap ada proyek, kalau kontraktor proyek enggak nyetor, dihajar sama mereka. Kalau nyetor aman. Makanya yang harus dikedepankan adalah kepolisian. Tapi di lapangan kami juga yang di depan. Ini yang terjadi.
Sebenarnya sesulit apa melumpuhkan KKB?
Demografi, geografi. Dia (KKB) lebih menguasai medan. Mereka ini di wilayah didukung juga oleh masyarakat pendukung mereka.
Jadi faktor terbesar KKB tak mudah diatasi itu apa?
Kalau mau menghabisi gampang. Tapi kan mereka banyak menghindar, membaur dengan masyarakat, dengan anak-anak kecil. Kami hajar, malah berisiko. Jangan sampai ada rakyat yang tidak berdosa jadi korban. Itu yang kami cegah. Kalau kami mau hantam, kekuatan mereka berapa, sih? Tidak sampai 200. Kami berapa ribu?
Salah satu yang membuat Anda menjadi sorotan adalah saat bersikap keras terhadap Front Pembela Islam. Apa pertimbangannya?
Setiap apa yang saya lakukan pasti dilaporkan kepada pimpinan. Kemudian fenomena itu saya lihat. Saya pelajari video-video YouTube mereka. Saya lihat mereka mendiskreditkan pimpinan nasional, pemerintah, kemudian memprovokasi. Begitu juga dengan baliho-balihonya. Ini kan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Baliho-baliho itu kan seenaknya sendiri dipasang. Pemasangan baliho kan ada aturannya.
Waktu itu saya dengan Gubernur DKI (Anies Baswedan), Kepala Polda Metro Jaya, dan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Kata Kepala Polda, ini sudah meresahkan. Pak Anies juga menyampaikan, ini sudah meresahkan dan sulit diatur. Saya bilang, “Kalau mau minta bantuan kepada TNI, polisi, harus ada surat.” Prosedur itu dilakukan. Rupanya, saat Satpol PP menurunkan (baliho) dapat perlawanan (massa) yang membawa senjata parang dan segala macam. Saya bilang, “Kok kita takut sama dia?” Ya, sudah. Akhirnya kami lakukan tindakan tegas kepada mereka.
Di tahun politik ini, apa ancamannya?
Saya sudah tekankan kepada anak buah untuk netral, jangan memihak siapa pun, kelompok mana pun. Karena kami nanti pada saat pemilu harus mengamankan. Kalau TNI sudah berpihak pada salah satu kelompok, ini bahaya.
Bagaimana menjamin netralitas TNI kalau nanti ada calon presiden, misalnya, yang mantan tentara?
Kami tegas saja. Kalau, misalnya, pada saat kampanye ada anggota kami mendukung salah satu calon, sekalipun mantan (TNI), kemudian memanfaatkan anak buah kami dengan jabatannya, dengan fasilitasnya, saya ganti. Harus tegas.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdurachman (tengah) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 8 Mei 2023. Antara/Abriawan Abhe
Ada rencana revisi Undang-Undang TNI. Seberapa mendesak revisi itu?
Dulu pernah diubah. Tapi perpanjangan usia juga tidak panjang. Hanya setahun waktu itu untuk jabatan Panglima TNI.
Yang jadi polemik kan soal penambahan lembaga penempatan personel TNI di jabatan sipil.
Ada tambahan enam (posisi) kalau tidak salah.
Seberapa penting TNI di jabatan itu?
Mungkin karena tugas.
Bukankah ini mirip Orde Baru?
Itu kan sesuai dengan permintaan kementerian. Bukan tawaran kami. Juga bukan karena kami kelebihan personel.
Ada kekhawatiran juga TNI akan kembali ke politik seperti pada masa Orde Baru.
Enggak. Politik TNI itu politik negara. Jadi tidak ada kami kemudian masuk ke beberapa elemen, karena nantinya akan mempengaruhi politik.
Dudung Abdurachman
Tempat dan tanggal lahir:
Bandung, 19 November 1965
Pendidikan:
• Akademi Militer, 1988
• Kursus Dasar Kecabangan Infanteri, 1988
• Kursus Lanjutan Perwira I/Infanteri, 1993
• Pendidikan Lanjutan Perwira II/Infanteri, 1998
• Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 2022
• Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2014
Karier:
• Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat, 2016-2017
• Wakil Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat, 2017-2018
• Gubernur Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, 2018-2020
• Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta, 2020-2021
• Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat, 2021
• Kepala Staf TNI Angkatan Darat, 2021-sekarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Catatan: Artikel ini diperbarui pada Senin, 22 Mei 2023.