Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di bangku sambil menjulurkan lidahnya, Achim von Postdam memandangi papan tulis. Tak lama berselang, ia menggonggong 13 kali ke arah tuannya. Anjing herder itu menjawab pertanyaan berhitung: 19-6.
Sang majikan, Ernest François Eugène Douwes Dekker, gembira sekaligus bangga. Sebaliknya, Sekretaris Asosiasi Anjing Gembala Jerman Hindia (Indische Schaaperdershond Vereeniging/ISV) P.Ph.P. Westerloo kecut wajahnya lantaran harus kehilangan uang 1.000 gulden. Douwes Dekker menang taruhan.
Peristiwa pada 15 Juni 1926 itu membuktikan DD—begitu Douwes Dekker biasa disapa—piawai melatih anjing. Komunitas dan lomba ketangkasan anjing ras sedang menjamur di Hindia pada 1920-an. Perlombaan pertama digelar di Malang, Jawa Timur. Tiga peliharaan DD, yakni Achim, Greta von Utrecht, serta Braco, sering menjadi juara dan mengharumkan nama tempat pembiakan Kreshna en Indra Kennels.
Perkumpulan penggemar anjing bermunculan, antara lain Nederlansch Indische Kinologi Vereeniging (NIKV) di Sukabumi, Jawa Barat. NIKV merupakan cikal-bakal Perkin alias Perkumpulan Kinologi Indonesia, yang masih eksis hingga kini.
Douwes Dekker, yang tinggal di Bandung, bergabung dengan ISV, yang berkantor di Kebonjati. Perkumpulan ini mempunyai kantor cabang di Semarang, Surabaya, Tegal, dan Jember.
Tokoh pergerakan ini melakoni profesi sebagai pelatih anjing setelah meninggalkan dunia jurnalistik. Ia baru pulang dari pengasingan di Belanda pada 1922 setelah mendirikan Indische Partij.
Setiba di Tanah Air, DD mengajar di Bandung. Pada November 1924, ia mendirikan sekolah di bawah yayasan Ksatrian Instituut. Istrinya, Johanna Petronella Mossel, membantunya di tempat pembiakan anjing di tengah pekerjaannya yang menumpuk sebagai guru di Ksatrian.
Johanna tekun mencatat kelahiran, kematian, serta induk anjing. "Setiap hari saya menghabiskan waktu untuk mengurus sekolah, mengajar, mengurus peternakan anjing dan rumah, serta kursus menjadi guru kepala," kata Johanna, seperti dikutip Tashadi dalam buku Dr. D.D. Setiabudhi.
Melalui ISV, Douwes Dekker seolah-olah mempunyai wadah menyalurkan jiwa dan pemikirannya yang radikal. Merasa sudah ahli, pada 1927 ia berpendapat bahwa Achim dan kawan-kawannya tidak bisa dididik dengan cara militer seperti yang dikembangkan Asosiasi Anjing Gembala Jerman (Verein für Deutsche Schäferhunde/SV).
"Berlari berjam-jam akan menekan naluri alami sebagai anjiing penjaga," ujarnya dalam buku The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker (2006) karya Paul W. van der Veur. Douwes Dekker ingin sistem pembiakan diubah serta melenyapkan suasana mencekam selama pelatihan. Ia yakin, demiliterisasi bakal membuat anjing kembali ke karakter aslinya: berlari, menyerang, dan menangkap dengan anggun.
Ahli kinologi ternama, Dr R. Schame, mendukung pendapat Dekker. Dia ingin ada yang menghapus kesalahan fatal dalam pelatihan anjing. Erwin Schlicht, Sekretaris SV, menilai kritik Dekker bersifat membangun. Namun pemimpin SV, Max E.F. von Stephanitz, tak suka. Stephanitz malah mempersoalkan ISV yang dianggapnya mendompleng ketenaran SV, sengaja memilih nama mirip SV untuk menyesatkan publik. Hingga kepemimpinnya di SV habis pada 1935, Stephanitz tidak pernah mengakui keberadaan ISV.
Mungkin perseteruan ini yang membuat ISV tidak tercatat dalam sejarah Indonesia German Shepherd Club (IGSC), perkumpulan pencinta anjing gembala Jerman yang terafiliasi dengan SV. "Saya tidak pernah tahu ada perkumpulan itu (ISV) pada zaman Belanda," ucap Kepala Biro Latihan IGSC Ridwan Kuswara.
Pendapat Douwes Dekker itu diadopsi oleh para pencinta anjing. Pada 1999, mulai muncul keraguan atas teori pelatihan ala militer. Tak ada alasan ilmiah di balik metode itu. Metode versi Stephanitz dianggap benar hanya karena ia berhasil mengembangbiakkan herder di Hindia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo