Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tiga Kali Bertemu Kakek

Cucu kandung Douwes Dekker tinggal di Den Haag bersama dua anaknya. Anak dan cucu Harumi, yang menyandang nama Jawa Douwes Dekker, Setiabudi, berdiam di California.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NADA panggil terdengar.

  • "Halo, bisa bicara dengan O.J. Roemer?"
    "Olave Joan Roemer itu saya," satu suara lembut bergetar dari seberang.
  • "Yang cucunya Douwes Dekker?"
    "Benar. Saya cucu Ernest Douwes Dekker."

    Percakapan telepon ini terjadi dua pekan lalu. Tempo mendapatkan kontak Olave dari buku telepon online. Hanya satu O.J. Roemer di sana. Beberapa hari kemudian dia mempersilakan Tempo bertamu ke rumahnya di Laan van Meerdervort, Den Haag. Terbentang dari barat ke timur sepanjang 8,5 kilometer, inilah jalan terpanjang di Belanda.

    Olave Joan Roemer, terlahir Olave Joan Ranneft, lahir pada 30 Januari 1934 di Den Haag. Dia putri pertama Sieglinde Ragna Sigrid dan G.J. Ranneft. Sieglinde adalah anak Ernest Douwes Dekker dari istri pertamanya, Clara Charlotte Deije. Bersama Clara, Douwes Dekker dikaruniai dua anak laki-laki dan tiga perempuan. Tapi kedua putranya meninggal saat bayi. Eduard Clarence Edwin meninggal di usia satu setengah tahun karena malaria tropika, dan Sigmund Ragnar Sigurd baru berumur 3 minggu tatkala radang usus kecil (enteritis) memutuskan nyawanya.

    Sieglinde adalah putri Douwes Dekker paling kecil. Kakak perempuan Sieglinde yang pertama Louisa Erna Adeline, dipanggil Erna, dan yang kedua Hedwig Olga Hildegard atau Hilde. Erna berwajah Indonesia. Rambutnya hitam. Hilde seperti gadis Irlandia. Linde berambut pirang gelap kecokelatan.

    "Saya hanya dua kali bertemu dengan Kakek. Saya juga tidak kenal betul," kata Olave, menyambut Tempo di kediamannya, bersama seekor Scottish terrier hitam. Apartemen itu tidak terlalu besar. Di balik pintu bercat putih ada lorong berbentuk L, khas apartemen di Eropa Barat, biasanya di lorong itu ditempatkan rak dan gantungan jaket.

    Sambil duduk di sofa kesayangannya, Olave Joan menceritakan pengalamannya dengan Douwes Dekker. Menurut Olave, dia lebih dekat dan bicara dengan Guido, saudara Douwes Dekker. "Ini tiga bersaudara. Ernest, kakek saya; Julius; dan Guido," katanya, sambil menunjuk foto di halaman 12 buku The Lion and the Gadfly, yang merupakan cerita tentang sepak terjang Douwes Dekker.

    "Ketika Jepang menyerang pada 1942 dan sewaktu saya dan orang tua tinggal di Bandung, setiap akhir pekan kami berkunjung ke perkebunan Kakek Guido. Kakek Ernest punya anjing herder dan Guido punya anjing boxer. Anak-anak, saya, dan adik laki-laki saya, bermain dengan anjing di rerumputan. Kami berguling-guling dengan anjing di hala­man rumah," katanya.

    Dulu dia punya banyak foto kenangan kakeknya, tapi sekarang entah di mana. Olave lupa di mana dia menyimpan foto-foto tersebut, setelah dipinjam Paul van de Veur, penulis buku The Lion.

    Ketika kedua orang tuanya berlibur di Belanda, Olave Joan tinggal di Indonesia hingga usia 12 tahun. Setelah itu, mereka pindah ke Belanda selama dua tahun—Olave lahir di Den Haag—lalu kembali ke Indonesia. "Waktu itu ada peristiwa meninggalnya Jenderal Spoor di Batavia. Saya ingat, saya bersepeda dengan teman saya ke pemakamannya," katanya. Saat dia berusia 16 tahun, keluarganya mulai menetap di Belanda.

    Olave terakhir bertemu Douwes Dekker ketika dia berumur 12 tahun. Dia ingat, kala itu kakeknya terlibat pembicaraan serius dengan ibunya. Keduanya duduk di dalam gelap, ibunya tampak tegang. Dia mengaku tak mendengar apa yang mereka bicarakan. "Satu setengah tahun kemudian saya dengar Kakek meninggal."

    Ayah kandung Olave, Ranneft, dan ibunya bercerai ketika adik laki-lakinya, Robbert, masih bayi. Robbert lahir pada 1935 dan meninggal di Australia pada 2002. Dia tak punya anak. Sepeninggal Ranneft, ibunya menikah lagi dengan seorang bernama Henniger. "Dia ayah saya yang saya kenal," kata Olave.

    Menikah dengan Hendri Roemer, Olave­ melahirkan dua anak, Erica, 51 tahun, dan Reinoud, 48 tahun. Erica guru sekolah menengah atas di Den Haag, memiliki spesialisasi pendidikan anak autis. Bersama putrinya, Floortje, 22 tahun, yang baru menyelesaikan studi di bidang terapi bicara, Erica tinggal di gedung yang sama dengan Olave. Reinoud menjadi jurnalis di kantor berita Algemeen Netherlands Persbureau. Dia mempunyai tiga anak: Fréderique, 19 tahun, Myrthe (16), dan Casper (13). Istrinya, Lisette, juga berdarah Indonesia.

    Erica dan Reinoud menemani Olave siang itu. Suatu ketika, di tengah percakapan, Erica menyela, menawarkan lemper. "Saya punya tiga, nanti kita bagi untuk makan bersama," katanya. Menurut dia, Joan selalu memberi mereka lemper kalau ia berulang tahun. Makan lemper sudah menjadi tradisi keluarga.

    Kata Olave, bibinya, Hilde, tak memiliki anak. Bibinya, Erna, seperti ibunya, cuma punya dua anak: Johannes T. de Meijer atau Hans dan anak perempuan yang dipanggil Else.

    "Ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1941, Hans dan Robbert dipaksa tinggal dalam kamp anak laki-laki. Saya dan Else tinggal di kamp perempuan," kata Olave mengenang. Mereka tinggal di kamp kerja paksa Jepang selama dua tahun.

    Else kini tinggal bersama suaminya di Bussum. Mereka punya toko buku di Rotterdam. Tapi Hans telah meninggal.

    Meski beristri tiga, Douwes Dekker tak punya banyak keturunan. Bersama Joana dan Harumi, dia tak memiliki anak. Dia dan Joana mengangkat seorang anak, Usep Ranawijaya. Ketika Partai Nasional Indonesia pecah pada 1965, Usep bersama Osa Maliki memimpin faksi PNI Osa-Usep. Ahli hukum ini meninggal dalam usia 85 tahun pada 2010.

    Harumi punya dua anak yang menyandang nama Jawa pendiri Indische Partij itu, Setiabudi. Tapi keduanya bukan darah daging Douwes Dekker. Setelah Douwes Dekker meninggal, pada 1963 Harumi menikah dengan Wayne D. Evans, bekas pilot Angkatan Udara Amerika Serikat, yang kemudian memboyong istri dan kedua anak tirinya—Danudirja Setiabudi dan Kesworo Setiabudi—ke Los Angeles, lalu ke San Jose, California.

    Tempo berhasil menjumpai Mohammad Rizky Setiabudi atau Kiki, anak Kesworo, di apartemennya bulan lalu. Kesworo, yang semula bernama Keesje, adalah anak Harumi dari suami pertamanya, Cornelis Adolf Geertzema.

    Kiki lahir di Salinas, California, pada 27 Januari 1987. Dia anak tunggal Kesworo dan istrinya, Isje. Dia tinggal di kompleks apartemen yang tertutup dan berpagar dengan fasilitas seperti taman bermain dan arena olahraga di dalamnya. Di rumah itu ada dua kamar tidur dan kamar keluarga. Pekarangan depan dan belakangnya cukup lega. Dia bercerita, ayahnya dulu manajer toko farmasi Payless Drugstore. Selama tinggal di Salinas, Kiki sering bertemu dengan neneknya, Harumi, dan suaminya Mayor Evans. "Ketika saya tujuh tahun, kami kembali ke Bogor," katanya. Di Bogor, Kesworo membuka perusahaan makanan ringan.

    Pada 2004, saat Kiki baru lulus dari SMAN 7 Bogor, ibunya meninggal. Tujuh tahun kemudian, setelah ayahnya juga meninggal akibat kanker, Kiki kembali ke Amerika. Kini dia bekerja di perwakilan Malaysian Airlines, di Bandara Internasional Los Angeles, LAX.

    Lahir jauh sesudah Douwes Dekker meninggal, Kiki mengaku hanya mengenal "kakek" dari literatur. "Saya dan Ayah jarang sekali bicara tentang dia. Dulu Ayah sering bercerita mengenai Douwes Dekker kepada media, tapi saya tidak menyimak dengan baik," katanya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus