Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jurus Kementerian Ketenagakerjaan mengegolkan peraturan baru tentang JHT,
Regulasi lama bermasalah akibat ulah pemeritah.
Motif pemerintah menahan pembayaran dana JHT dipertanyakan.
AKHIR tahun lalu, tepatnya 16 Desember 2021, Subiyanto menghadiri rapat virtual. Tuan rumahnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tapi presentasi materi utama yang akan dibahas pada Kamis itu datang dari perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Isinya: rancangan revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paparan kelar, Subiyanto, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dari perwakilan pekerja, bertanya singkat. “Ini sudah dibahas dengan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional belum?” tanya Subianto, yang juga Wakil Presiden IV Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial. Dia menceritakan isi pertemuan tersebut kepada Tempo di Tangerang, Banten, Kamis, 17 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat, Subiyanto mengingatkan bahwa peraturan level menteri kudu dibahas dulu dengan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, lembaga bentukan presiden yang berisi wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Kepala Biro Hukum Kemenaker Reni Mursidayanti dan Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Retna Pratiwi, tutur Subiyanto, menjawab pertanyaannya dengan kompak: sudah. “Saya berbaik sangka saja dengan Kemenaker bahwa itu sudah dibahas dengan Tripartit Nasional,” ujar Subiyanto.
Belakangan, regulasi baru itu, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), terbit. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menandatanganinya pada 2 Februari 2022. Kementerian Hukum dan HAM mengundangkannya dua hari kemudian.
Antrean peserta di Kantor BP Jamsostek Cabang Sudirman, Jakarta, 15 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Dua pekan terakhir, gelombang protes buruh tak sudah-sudah mendesak Menteri Ida Fauziyah membatalkan kebijakannya itu. Peraturan baru menghapus ketentuan yang selama ini menjadi wahana bagi buruh yang berhenti kerja, baik yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun mengundurkan diri, untuk menerima pembayaran manfaat JHT lebih awal. Kini dana manfaat JHT, baik bagi peserta yang pensiun maupun berhenti kerja, dibayarkan ketika peserta telah berusia 56 tahun.
Regulasi baru itu mencabut peraturan serupa yang dibikin Kementerian Ketenagakerjaan di era Menteri Hanif Dhakiri. Dalam aturan lawas, pekerja yang berhenti kerja karena dipecat, undur diri, atau pergi dari Indonesia untuk selamanya bisa mencairkan dana JHT secara tunai, tanpa harus menunggu usia pensiun. Masa tunggu pembayarannya cuma sebulan, tanpa disertai batas minimal masa kepesertaan.
Ketika protes berdatangan, Kemenaker punya jurus yang sama. Dalih “pembahasan dengan LKS Tripartit Nasional” kembali menjadi kartu joker. Lewat akun Twitter, Kamis, 17 Februari lalu, Kemenaker menyatakan beleid itu merupakan hasil pokok-pokok pikiran Badan Pekerja LKS Tripartit Nasional pada 18 November 2021.
Klaim Kemenaker ihwal pertemuan 18 November 2021 dengan LKS Tripartit itu menyebar, menjadi kasak-kusuk di kalangan buruh. Gunjingan meruncing ke pertanyaan tunggal. “Jadi perwakilan buruh yang ada di LKS Tripartit Nasional telah menyetujui revisi Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 ini, ya?” kata Muhammad Sidarta, Ketua Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin (FSP LEM) Jawa Barat, Kamis, 17 Februari lalu, menirukan pertanyaan sejumlah anggota serikatnya.
Sidarta menjadi bulan-bulanan anggota organisasinya sendiri. Dia anggota LKS Tripartit Nasional.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Jawa Barat Muhammad Sidarta. Instagram Kemnaker
Sidarta membenarkan kabar bahwa Kementerian Ketenagakerjaan mengajak Badan Pekerja LKS Tripartit membahas rencana revisi peraturan JHT. Namun dia membantah jika forum itu disebut telah menghasilkan pokok-pokok pikiran yang menjadi landasan isi perubahan regulasi. “Faktanya, pertemuan 18 November 2021 itu hanya diskusi gagasan bagaimana mengembalikan filosofi JHT sebagai tabungan hari tua,” ucap Sidarta. “Namanya pembahasan di Badan Pekerja, ya belum matang. Perlu pleno, seperti rapat paripurna kalau di parlemen.”
Kamis pekan lalu, 17 Februari 2022, Sidarta akhirnya bertemu dengan Menteri Ida Fauziyah. Menteri Ida menerima perwakilan buruh FSP LEM yang seharian mendemonya. Sidarta langsung mengeluarkan unek-uneknya. Ia mengaku telah di-bully teman-temannya sendiri karena dianggap menyetujui Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 lewat LKS Tripartit Nasional. “Saya keberatan karena isi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 belum diplenokan di Badan Pekerja LKS Tripartit,” ujar Sidarta.
Dia mengungkapkan, Menteri Ida tidak menjawab keberatannya. Ida, kata Sidarta, hanya menjelaskan bahwa pekerja kini sudah punya pengganti JHT jika dipecat, yaitu program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
•••
MENTERI Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menggunakan trik yang sama ketika kritik mulai berdatangan dari Senayan. Akun Twitter Kementerian Ketenagakerjaan menyebarkan pernyataannya bahwa peraturan baru tentang Jaminan Hari Tua adalah buah aspirasi banyak pemangku kepentingan. Salah satu rekomendasi, seperti disebutkan dalam cuitan itu, datang dari rapat dengar pendapat tertanggal 28 September 2021 antara Kemenaker dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, dan kependudukan.
Dalam rapat itu, Ida mengutus Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Di sana, Indah menjelaskan bahwa filosofi JHT telah bergeser, dari semestinya sebagai tabungan hari tua pekerja menjadi dana darurat. Pekerja yang terkena pemecatan atau mengundurkan diri bisa langsung mencairkan dana JHT.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (kanan) berdialog dengan pimpinan serikat pekerja terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua, di Jakarta, 17 Februari 2022. kemnaker.go.id
Indah pun mengabarkan bahwa Kemenaker sedang merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015, yang dianggap sebagai penyebab bergesernya fungsi JHT. “JHT kami kembalikan kepada filosofinya, yaitu tabungan masa tua, sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional,” kata Indah saat itu.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memang tak pernah mengatur pembayaran manfaat JHT bagi peserta yang kehilangan pekerjaan. Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang mengaturnya terbit di tengah situasi mendesak.
Tahun itu, perekonomian dunia melambat, dampak gejolak pasar merespons pengetatan kebijakan moneter The Federal Reserve pada 2013. Nilai tukar rupiah jeblok, menghantam industri padat karya yang bergantung pada bahan baku dari luar negeri. Harga komoditas juga anjlok. Walhasil, gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana.
Di saat bersamaan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT. Regulasi ini sudah ditunggu selama 11 tahun sebagai aturan pelaksana Undang-Undang SJSN. Namun peraturan ini menyatakan dana akumulasi iuran dan hasil pengembangan JHT tidak bisa dicairkan sampai pekerja memasuki usia pensiun.
PROGRAM UTAMA TERLUNTA-LUNTA
SELAMA bertahun-tahun, program Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi sumber terbesar pendapatan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek. Pembayaran iuran peserta JHT juga menjadi kontributor utama sumber dana investasi triliunan rupiah BP Jamsostek, yang sebagian besar ditempatkan di surat berharga negara untuk menopang anggaran pemerintah. Ironisnya, pengaturan pemanfaatannya bagi buruh pembayar iuran justru compang-camping.
Tak hanya itu, skema pembayaran sebagian dana JHT bagi pekerja yang telah sepuluh tahun menjadi peserta program—sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SJSN—juga dibatasi porsi dan penggunaannya. Peserta bisa mengambil maksimal 30 persen dari saldo JHT untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10 persen buat keperluan lain sesuai dengan persiapan masa pensiun.
Pangkal masalahnya saat itu, pemerintah belum meratifikasi Konvensi Jaminan Sosial Nomor 102 Tahun 1952 Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang mewajibkan negara menyediakan jaminan kehilangan pekerjaan (unemployment benefit) bagi pekerja. Selain pesangon, satu-satunya program jaminan yang dapat dimanfaatkan lebih dini adalah JHT.
Gelombang demonstrasi akhirnya meletus di mana-mana. Digempur buruh, pemerintah akhirnya mengendur. Pemerintah menggelar rapat dengan serikat buruh.
Subiyanto, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari perwakilan buruh, ikut dalam rapat-rapat yang digelar pada pertengahan 2015 tersebut. Dia ingat, kesepakatannya saat itu adalah PP Nomor 46 Tahun 2015 akan segera direvisi. Adapun ketentuan pencairan JHT akan dikembalikan seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993. Regulasi lawas ini menginduk ke Undang-Undang Nomor 93 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Intinya, buruh yang berhenti kerja sebelum pensiun dapat mencairkan dana JHT jika masa kepesertaannya sudah lima tahun.
Nasabah mengecek aplikasi untuk melihat dana Jaminan Hari Tua di Kantor BP Jamsostek cabang Sudirman, Jakarta, 14 Februari 2022. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Namun regulasi baru hasil revisi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015, malah membikin masalah baru. Presiden Joko Widodo, dalam peraturan pemerintah tersebut, mendelegasikan pengaturan tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT kepada Menteri Ketenagakerjaan.
Inilah yang menjadi landasan Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan saat itu, mengeluarkan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. “Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus. Sambil menunggu adanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan, JHT boleh diambil buat pekerja yang kena pecat dan undur diri,” ujar Indra Budi Sumantoro, anggota DJSN dari unsur ahli, pada Selasa, 15 Februari lalu. “Walaupun pada praktiknya lebih banyak pekerja resign yang ambil JHT.”
Tempo menghubungi Hanif Dhakiri pada Rabu, 16 Februari lalu, untuk menanyakan latar belakang penerbitan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Namun politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu enggan menjawab.
Pendelegasian pengaturan ke level menteri itu ternyata malah mencetak masalah baru. Selain tak punya cantolan hukum, skema pembayaran manfaat JHT untuk peserta yang berhenti kerja menyebabkan program ini beralih sebagai dana darurat bagi pekerja yang terkena PHK dan mengundurkan diri. Sejak 2017, kata Subiyanto, DJSN pun mengusulkan peraturan tersebut direvisi.
Kementerian Keuangan ikut rongseng. Lapangan Banteng, kawasan markas kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati itu, membahasnya agak dalam karena berhubungan langsung dengan optimasi pengelolaan aset jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketika membahas rencana revisi PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, menurut Subiyanto, Kementerian Keuangan mengeluhkan skema manfaat JHT yang bisa ditarik dalam jangka pendek.
Skema pencairan dana JHT untuk peserta yang berhenti kerja dituding sebagai penyebab tak optimalnya pengembangan dana iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek. Karena harus siap ditarik cepat bila pekerja mengklaim, dana investasi JHT banyak ditanam ke instrumen jangka pendek berbunga standar, seperti deposito. Padahal ada instrumen lain dengan iming-iming bunga lebih tinggi, termasuk Surat Berharga Negara yang berisiko rendah karena dijamin negara.
Persoalan ini memuncak ketika Covid-19 mewabah. Banyak pekerja dipecat. Tak sedikit pula yang mengundurkan diri. Jumlah klaim pembayaran manfaat yang diterima BP Jamsostek melejit.
Pada 2020, jumlah klaim JHT mencapai 2,5 juta, naik 13 persen dari sebelumnya. Sebanyak 75,70 persen klaim tersebut diajukan pekerja yang mengundurkan diri. Adapun 19,15 persen klaim diajukan pekerja yang terkena PHK. Pemohon manfaat JHT yang benar-benar pensiun cuma 2,1 persen. Mayoritas pemohon juga masih berada di kelompok usia produktif, yakni 20-50 tahun.
Di mata Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo, data itu menggambarkan program JHT berpotensi tak dapat dinikmati pekerja kelak di hari tua sehingga perlu dikembalikan ke fungsi semula. “Kabar baiknya, rata-rata klaim JHT per bulan di 2021 sudah menurun,” tutur Anggoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR pada 15 November 2021.
•••
BERTAHUN-TAHUN mentok, upaya merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 akhirnya mendapat jalan keluar ketika Undang-Undang Cipta Kerja mengubah sebagian isi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Program baru diperkenalkan: Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Program JKP sudah bisa bergulir pada 2 Februari 2022, setelah pada Februari dan Juli 2021 pemerintah menerbitkan aturan pelaksananya. Besaran iuran JKP adalah 0,46 persen dari upah sebulan—batas atas upah pertama kali ditetapkan Rp 5 juta. Pemerintah menanggung iurannya sebesar 0,22 persen. Sedangkan sisa 0,24 persen diambil dari iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang dipotong dari gaji buruh sebelumnya.
Pekerja yang dipecat bisa mencairkan manfaat JKP jika telah menjadi peserta minimal selama 12 bulan—terhitung mulai 2 Februari 2021—dan membayar iuran paling sedikit selama enam bulan tanpa putus. Manfaat uang tunai buat buruh yang berhenti kerja hanya diperoleh selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama, manfaat yang dibayarkan sebesar 45 persen dari upah. Tiga bulan berikutnya 25 persen dari upah. Selain menyediakan uang tunai, JKP memberikan akses pekerjaan dan pelatihan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Keberadaan JKP ini yang kemudian menjadi alasan bagi Kementerian Ketenagakerjaan untuk meniadakan pembayaran manfaat JHT bagi peserta yang berhenti kerja. Setelah regulasi diselaraskan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, akhir tahun lalu, Kemenaker kembali mengundang Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional untuk mengikuti diskusi dengan tema “Pengembalian Filosofi JHT untuk Hari Tua Pekerja yang Sejahtera” di Hotel Gran Meliá Jakarta pada Jumat, 21 Januari lalu. Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Retna Pratiwi menjadi sahibulbait.
Muhammad Sidarta, anggota LKS Tripartit Nasional yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin Jawa Barat, mengikuti acara itu secara virtual. Dia ingat, acara yang semula hendak digelar pada pukul 09.00 tertunda dua jam. “Jadinya singkat banget, mepet dengan salat Jumat,” kata Sidarta. Dia berkukuh menyebutkan acara itu hanya dialog. “Bukan ambil keputusan.”
Sidarta mengakui Kemenaker memang tak membutuhkan persetujuan LKS Tripartit Nasional untuk menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Aturan itu tetap sah. “Tapi tidak legitimate,” ujarnya.
Selain itu, meski sudah ada program JKP, Sidarta menilai ketentuan menahan pembayaran JHT hingga peserta berusia 56 tahun sebagai kebijakan yang tak pas. “Momentumnya belum tepat,” tuturnya. Gelombang pemecatan masih bisa terjadi di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan tingginya ketidakpastian ekonomi. Lagi pula, JKP yang dijanjikan belum riil.
Syak wasangka pun mengular. Kebijakan baru itu dianggap tak semata-mata bertujuan mengembalikan fungsi JHT, tapi juga ditengarai didorong oleh kepentingan pemerintah untuk membiayai anggaran negara. “Dari sisi politik anggaran, pemerintah tampaknya ingin JHT ini tidak lagi diklaim terus sehingga bisa dialihkan ke surat utang negara,” ucap Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar pada Selasa, 15 Februari lalu.
Dibanding program BP Jamsostek lain, JHT memang menjadi primadona. Hingga Desember 2021, dana program JHT mencapai Rp 372,5 triliun. Sebanyak 65 persen dana kelolaan diinvestasikan ke instrumen obligasi—92 persen di antaranya ke Surat Berharga Negara (SBN). Penempatan dana itu menjadikan BP Jamsostek salah satu investor lokal terbesar bagi obligasi pemerintah—yang diperlukan untuk menutup defisit anggaran.
Tempo sudah meminta penjelasan lengkap tentang polemik aturan baru JHT ini kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Namun rencana wawancara, yang sempat dijanjikan, urung terlaksana.
Adapun anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menegaskan bahwa pemerintah tak punya motif mengincar dana jumbo BP Jamsostek lewat kebijakan terbaru tentang JHT. Ihwal kewajiban investasi di SBN, Prastowo mengatakan hal itu bukan kebijakan pemerintah. “Itu kebijakan Otoritas Jasa Keuangan,” ujar Prastowo pada Jumat, 18 Februari lalu. “Kebijakan itu justru melindungi nasabah (peserta) agar Jamsostek berinvestasi dengan aman.”
Regulasi yang dimaksud Yustinus adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Peraturan ini menyatakan paling sedikit separuh dari seluruh jumlah investasi dana jaminan sosial ketenagakerjaan kudu ditempatkan di SBN. Tujuannya: penempatan investasi lembaga keuangan nonbank aman, berjangka panjang, dan berperan membiayai pembangunan nasional.
Ada benarnya, sepanjang buruh tak justru dirugikan.
AGUNG SEDAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo