Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATU Kalinyamat mendapat gelar pahlawan nasional pada 10 November 2023. Prinsip antikolonialisme yang dia miliki membuatnya pantas menerima anugerah itu. Di tengah kekacauan politik Demak, dia tampil sebagai penjaga stabilitas politik dan ekonomi kerajaan. Di kancah regional, dia melihat kedatangan Portugis di Malaka, sejak 1511, menciptakan aura eksklusivitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang Jawa tidak lagi mudah berlayar ke Malaka, demikian pula sebaliknya. Pajak yang tinggi membuat ia sadar Portugis ingin menerapkan monopoli perdagangan di Selat Malaka. Portugis ingin menerapkan sistem laut tertutup (mare clausum). Hal itulah yang membuat Ratu Kalinyamat tergerak untuk melawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak banyak literatur dan sumber sejarah yang tersedia tentang perjuangan Ratu Kalinyamat. Beruntung, Portugis sebagai rival Ratu Kalinyamat mengguratkan upaya Sang Ratu dalam membebaskan Malaka dan Nusantara. Pada 24 November 1551, seorang Yesuit bernama Francisco Peres menulis surat kepada Raja mengenai keadaan geopolitik di Nusantara.
Saat itu Malaka diserang dan dikepung oleh pasukan Melayu dan Jawa. Besar kemungkinan pasukan yang dimaksud ialah pasukan dari Johor dan Jepara, seperti yang diungkapkan oleh arsiparis Portugal di Goa, Diogo do Couto, dalam kroniknya yang berjudul Decada da Asia Tomo VI (1586) dan penulis kronik lain, yakni Manuel de Faria e Sousa, dalam karyanya yang berjudul Asia Portuguesa Tomo III (1666). Portugis berhasil keluar dari kepungan musuh-musuhnya setelah Gil Fernandes dan armadanya dapat menyelamatkan Malaka. Hal itu dikisahkan surat Dom Afonso de Noronha, Gubernur Cochin, pada 27 Januari 1552.
Baik surat Francisco Peres (1551) maupun surat Dom Afonso de Noronha (1552) hingga kini masih tersimpan rapi. Surat pertama dapat kita jumpai di Biblioteca da Ajuda, Lisabon, Portugal. Dulu Distrik Ajuda memiliki kastil tempat tinggal para bangsawan. Kini kastil itu difungsikan sebagai museum dan galeri. Selain itu, Kastil Ajuda tidak hanya berfungsi sebagai hunian, tapi juga sebagai perpustakaan sekaligus penyimpan arsip. Akses arsip di sana tidak semudah yang saya bayangkan. Mereka masih sangat konvensional dan terkadang belum dibuka sesuai dengan jadwal.
Saya sering menunggu perpustakaan dibuka sambil meminum meia de leite (kopi susu). Selepas masuk pintu perpustakaan yang seperti pintu masuk istana, saya diminta meletakkan barang dan ditanyai apa koleksi yang saya perlukan. Para pegawai di sana tidak mau merespons percakapan dalam bahasa Inggris. Walhasil, saya terus mengingat apa koleksi yang ingin saya akses dalam bahasa Portugis. Setelah mendapatkan apa yang ingin saya baca, saya harus segera membaca dan merangkum informasi yang telah dibaca. Mereka tidak menyediakan fasilitas reproduksi arsip. Namun, ketika Covid-19 melanda, mereka memperbolehkan saya memotret beberapa arsip karena waktu kunjung yang disediakan terbatas. Di Biblioteca da Ajuda itulah saya mengakses surat dari Francisco Peres.
Keadaan berbeda ketika saya mengakses arsip di Arquivo Nacional Torre do Tombo di Lisabon. Arsip Nasional itu terletak di dekat Universidade de Lisboa. Ketika pertama kali mendaratkan kaki di Lisabon, saya menghabiskan waktu seharian untuk mencari literatur di Perpustakaan Sastra Universidade de Lisboa pada awal medio 2018. Di sana, saya membaca skripsi Luis Felipe Thomaz Reiz yang berjudul “Os Portugueses em Malaca” (1962). Kelak skripsi itulah yang menjadi kompas pencarian sumber mengenai serangan Kalinyamat ke Malaka 1551 dan 1574.
Arsip Nasional mulai beroperasi pada 1378. Selama 12 abad, Arsip Nasional menjadi penjaga dan pelestari sejarah Portugal. Bahkan berbagai dokumen sebelum Kerajaan Portugis berdiri juga terdapat di sana. Di antara beragam koleksi penting di Arsip Nasional itu, saya sangat tertarik mengakses berbagai arsip yang berkaitan dengan ekspansi Portugis di Asia. Corpo Cronológico, kumpulan manuskrip penemuan Portugis, masuk Daftar Memori Dunia UNESCO pada 2007 sebagai pengakuan atas nilai sejarahnya untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah politik, diplomatik, militer, ekonomi, dan agama dari banyak negara pada masa ekspansi Portugis.
Di Arsip Nasional, saya harus mendaftar lebih dahulu untuk mendapatkan kartu pembaca sekaligus memesan arsip yang ingin saya baca. Fasilitas di sana sangat mengagumkan serta para arsiparisnya sangat ramah. Saya tidak terlalu sungkan meminta bantuan, termasuk meminta ruangan baca secara privat. Mereka menyediakan arsip yang dapat dibaca secara langsung serta arsip digital. Sayangnya, ada beberapa arsip yang tidak didigitisasi. Surat Noronha untungnya dapat diakses dalam versi teks dan digital.
Selain dari kedua tempat itu, kita juga memperoleh informasi lain dari Biblioteca Nacional Portuguesa (Perpustakaan Nasional Portugis) di Lisabon. Perpustakaan itu terletak di Campo Grande, salah satu distrik terpadat di sana. Akses menuju perpustakaan sangat mudah. Terdapat beberapa sarana transportasi umum, seperti bus kota, trem, metro, dan mobil Uber. Perpustakaan itu mulai beroperasi pada 1796. Misi utama perpustakaan itu ialah mengajak khalayak umum mengakses koleksi kerajaan, yang saat itu hanya ditujukan bagi peneliti. Koleksi kerajaan yang terus bertambah hingga kini meliputi harta karun, manuskrip, lukisan, dan buku sumbangan dari keluarga kerajaan. Dengan kemudahan akses itu, saya mulai menggali berbagai literatur di sana.
Ketika masuk perpustakaan itu, saya diminta meninggalkan semua barang di tempat yang telah disiapkan. Setelah kartu pembaca saya diperiksa, saya mulai memesan secara online berbagai literatur yang saya butuhkan di ruang pemesanan. Ruangan itu berdekatan dengan galeri pameran sejarah Portugal dengan tema yang selalu berganti serta toko buku yang menjual banyak sekali buku mengenai Asia. Selesai memesan, saya segera mencari tempat untuk duduk dan tinggal menunggu literatur yang saya pesan datang. Sebagai informasi tambahan, di ruang baca itu juga terdapat ruang untuk penggandaan dan pemindaian. Saya sering menggunakan fasilitas itu untuk melanjutkan membaca literatur ketika pulang ke Porto.
Saya sangat familier untuk menggali literatur di Perpustakaan Nasional Portugis selama 2018-2021. Di sana, saya menemukan kronik berjudul A Residencia das Moluccas. Kronik itu memiliki 100 bab dan beberapa bab mengisahkan bantuan Ratu Kalinyamat kepada Ternate dan Ambon-Hitu untuk mengusir Portugis dari Kepulauan Rempah-rempah pada 1563-1564.
Di perpustakaan yang sama ternyata juga tersimpan surat kuno. Salah satu surat yang menarik ialah surat yang ditulis Raja Sebastian kepada Gubernur Noronha pada 14 Maret 1565. Sang Raja meminta para abdinya segera membangun benteng di Ambon. Benteng itu akan sangat bermanfaat untuk melindungi Portugis dari serangan musuh. Kelak benteng itu mulai dibangun pada 1575 dengan nama Nossa Senhora da Anunciada.
Ada satu kronik yang sangat menarik dan masih tersimpan di Perpustakaan Nasional di Lisabon. Kronik itu berjudul Os Cercos de Malaca dan ditulis oleh Jorge de Lemos pada 1585. Dia menuliskan kembali kisahnya ketika berada di Malaka pada 1570-an.
Ketika itu Malaka dikepung oleh Aceh dan Jepara secara simultan. Ratu Kalinyamat berupaya mengepung Malaka pada 1574. Sayangnya, upaya Sang Ratu berujung kegagalan. Upaya mewujudkan visi kesejahteraan bersama seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Memang Sang Ratu telah berpulang, tapi visinya tetap membara hingga kini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ratu Kalinyamat dalam Narasi Portugis"