Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Universitas Indonesia tercatat sebagai kampus yang memiliki kasus kekerasan seksual tertinggi.
Belum ada pelaku yang dihukum.
Selain mahasiswa, dosen perempuan juga turut menjadi korban.
MEMBACA berita perundungan seksual yang dialami seorang mahasiswa Universitas Riau membuat Ritika terkenang kembali akan peristiwa serupa pada 2019. Sama seperti mahasiswa Riau itu, perempuan 27 tahun ini pernah mendapat kekerasan seksual oleh dosen pembimbingnya sewaktu mengambil program magister ilmu politik di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. “Saya paham penderitaan mahasiswa itu,” katanya, lirih, Jumat, 19 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emosi Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, menjadi tak stabil setelah peristiwa dua tahun lalu tersebut. Dia menjadi mudah marah setiap kali membaca berita tentang kekerasan seksual. Ritika menyebut Burhan Djabir Magenda, guru besar etika dan filsafat politik UI, yang merundungnya secara seksual di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian susulan pada akhir Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal cerita Ritika, Tempo menelusuri kemungkinan korban lain Burhan Magenda. Kami bertemu Gayatri, juga bukan nama sebenarnya. Dia mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI angkatan 1999 yang dibimbing Burhan ketika menyusun skripsi pada 2004. Gayatri kini sudah menikah dan punya tiga anak. Tapi perundungan seksual di ruang kerja Burhan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat masih membekas dalam ingatannya.
Selain mengajar di UI, Burhan pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Laki-laki yang kini 75 tahun itu menyandang predikat guru besar ilmu politik.
HopeHelps UI saat memberikan penyuluhan tentang Kekerasan Seksual di FISIP UI November 2019/dok. HopeHelps UI
Tiga tahun setelah lulus dari UI, Gayatri bertemu Burhan dalam acara pertemuan alumnus di Pusat Studi Jepang, UI. Jantungnya berdegup dan dia lari ke toilet untuk menenangkan diri. “Hampir sejam saya ngumpet di toilet,” tuturnya. Sejak saat itu emosinya kerap tak stabil setiap kali mengingat kejadian tersebut, bahkan jika membaca atau mendengar berita tentang perundungan seksual.
Dari Gayatri, kami mendapat cerita bahwa korban Burhan lain bahkan kini bertitel profesor di UI. Menurut dosen ini, Burhan juga melecehkan asistennya sendiri hingga dia mengundurkan diri dari UI karena tak tahan atas perilakunya. “Jadi dia seperti itu sudah 30 tahun dan tak pernah dihukum,” ucap dosen ini.
Burhan Magenda membantah segala cerita mantan mahasiswanya itu. “Itu fitnah,” katanya. Dia balik menuding ada upaya sistematis membunuh karakternya. Burhan mengklaim tuduhan kekerasan seksual dibuat oleh mahasiswa yang pernah menaksirnya lalu dia tolak. “Silakan lapor ke polisi seperti mahasiswa Riau itu,” ujarnya. (Cerita lengkapnya ada di artikel ini)
•••
MENTERI Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini lahir selepas Kementerian menggelar penelitian di 79 kampus pada 2020.
Hasil penelitian mengungkap sebanyak 77 persen dosen menyatakan pernah terjadi perundungan seksual di kampus masing-masing. Ironisnya, 63 persen kasus tak pernah dilaporkan. “Mayoritas korban adalah mahasiswa,” kata pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam.
Dengan data itu, Nadiem Makarim menyebutkan kekerasan seksual di kampus sudah dalam tahap gawat-darurat. Dia mengatakan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 disahkan untuk mencegah makin banyaknya korban kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia. “Kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es,” tuturnya. Maksudnya, yang tampak hanya sedikit, sementara yang tak diketahui jauh lebih banyak.
Peraturan Menteri Nadiem itu mendapat momentumnya ketika mahasiswa Universitas Riau membongkar perilaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Syafri Harto yang merundungnya secara seksual. Dia melaporkan Syafri ke polisi. Polisi sudah menetapkannya sebagai tersangka kendati balik melaporkan mahasiswa itu dengan tuduhan mencemarkan nama.
Para pembela korban kekerasan seksual memuji keberanian mahasiswa Riau tersebut dalam membuka kasus perundungan seksual yang dialaminya kepada polisi. Menurut Nizam, umumnya para korban memilih menyimpan masalahnya sendiri karena tak yakin kasusnya akan diusut jika melapor. “Pimpinan kampus gamang bertindak karena tidak ada payung hukum dalam menangani pelecehan seksual,” ujar Nizam.
Itu pula yang terjadi di UI. Baru belakangan ada yang berani melapor bahkan membuat petisi agar kampus menindak Burhan Magenda dan predator seks lain pada Maret 2020. Menurut seorang penanda tangan petisi, Burhan acap memaksa pertemuan tatap muka untuk mengajar dan bimbingan tesis di masa pandemi Covid-19.
Kepala Departemen Ilmu Politik UI Julian Aldrin Pasha tak merespons permintaan wawancara Tempo tentang berbagai kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen hingga Sabtu, 20 November lalu. Namun seorang dosen FISIP UI, Nur Iman Subono, membenarkan bahwa petisi dibuat oleh mahasiswa yang mengungkap ulah Burhan. “Memang pernah ada petisi itu,” tuturnya.
Kekerasan seksual di UI tak hanya menimpa mahasiswa. Salah satu korban adalah dosen FISIP. Hurriyah jatuh sakit pada 2012 ketika suaminya menerima foto dirinya yang dikirim koleganya di FISIP, Cecep Hidayat. Suami Hurriyah pada tahun itu sedang sekolah di Sumatera Selatan.
Rupanya Cecep menyimpan foto Hurriyah yang diduga diambilnya dari komputer pribadi. Pada 2012, Cecep menjabat Kepala Program Studi Ilmu Politik dan Hurriyah menjabat sekretaris. Dia tahu fotonya disimpan Cecep ketika istrinya menuduh mereka berselingkuh. Cecep menyimpan foto Hurriyah selama tujuh tahun.
Hurriyah melaporkan kejadian itu ke UI karena merasa Cecep merundungnya secara seksual dan mengganggunya secara psikologis. Namun penanganannya tak jelas. Menurut Nur Iman Subono, UI sempat membentuk komite etik untuk mengusut kasus ini. Dia menjadi anggotanya. “Masalah selesai ketika komite merekomendasikan sanksi larangan mengajar untuk sementara waktu kepada terlapor,” ujarnya.
Poster penolakan terhadap kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM)/Antara/Andreas Fitri Atmoko
Cecep tak membalas pesan permintaan wawancara yang dikirim ke nomor teleponnya. Dia juga tak menemui Tempo yang mendatangi rumahnya di Depok pada Jumat, 19 November lalu. Tak satu pun penghuni rumah muncul membukakan pintu.
Banyaknya kasus kekerasan seksual di UI mendorong dua mahasiswa Fakultas Hukum, Putri Salsa (angkatan 2014) dan Irena Lucy (angkatan 2013), mendirikan pos pengaduan HopeHelps pada 2017. Pada 2019-2020, ada 47 aduan perundungan seksual yang mereka terima. “Tahun ini jumlah laporan naik,” kata Direktur HopeHelps Dewi Wulandari. “Sampai Oktober 2021 sudah ada 31 laporan.”
HopeHelps kini memiliki perwakilan di 15 kampus negeri di Jawa dan Bali. Mereka berada di bawah bendera HopeHelps Network. “Lembaga ini berdiri untuk merespons dua kasus kekerasan seksual awal yang mencuat di UI beberapa tahun lalu,” ujar Direktur HopeHelps Network Joce Timothy Pardosi.
Dua kasus perundungan seksual mahasiswa UI itu melibatkan pemain teater dan penyair Sunarto—yang beken dengan nama panggung Sitok Srengenge—serta dosen Fakultas Hukum, Teuku Nasrullah. Meski sempat diproses, polisi menyatakan tuduhan kepada dua dosen tersebut tak terbukti karena penyidik menganggap hubungan mereka atas dasar suka sama suka.
Para ahli hukum menganggap pandangan polisi itu keliru karena ada relasi kuasa yang timpang dalam hubungan dosen dan mahasiswa. Ketimpangan relasi kuasa itu, sehingga posisi mahasiswa lebih rendah dan rentan, membuat hubungan seksual tergolong kekerasan. “Korban tidak menyetujui meskipun diam,” kata Sulistyowati Irianto, guru besar antropologi hukum UI.
Dalam berbagai kesempatan, Sitok dan pengacaranya membantah kabar bahwa Sitok telah memperkosa mahasiswa UI hingga hamil dan melahirkan. Teuku Nasrullah juga menilai tuduhan itu tak berdasar. Dia mengaku pernah memacari mahasiswa yang menjadi korbannya, tapi tidak melakukan kekerasan seksual. “Saya sudah lama melupakan masalah itu, tolong jangan diungkit-ungkit lagi. Bagi saya itu fitnah. Polisi tak menemukan unsur pidana di situ,” ucapnya.
Shanty Dewi, pengacara mahasiswa yang melaporkan Teuku Nasrullah, menilai hubungan pacar tak meniadakan peristiwa pemerkosaan. Shanty tak melanjutkan pendampingan karena korban meninggal pada Juni lalu akibat terinfeksi Covid-19. Namun ia meyakini Nasrullah tetap bersalah. “Buktinya ada sanksi etik dari kampus,” ujarnya.
Sekretaris UI Agustin Kusumayati mengatakan rektorat belum mendalami laporan kekerasan seksual yang dirilis HopeHelps UI. Ia juga belum menelaah laporan kekerasan seksual yang dialami mahasiswa Burhan Djabir Magenda dan Hurriyah.
Menurut dia, setiap laporan kekerasan seksual akan ditangani UI dengan menjaga dan menghormati hak korban ataupun pelaku. “Apabila dalam penyelesaian ada hal yang belum memuaskan, UI selalu terbuka untuk komunikasi lebih lanjut,” tuturnya.
•••
APA yang terjadi di UI dan temuan survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga sama dengan data yang dikumpulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Komisi ini mencatat angka kasus kekerasan seksual di kampus lebih tinggi dari lembaga pendidikan lain, yakni 14 kasus selama beberapa tahun belakangan.
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa, mengatakan kasus yang terjadi di lapangan berpotensi lebih banyak karena banyak korban yang tak melaporkannya. “Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya payung hukum yang bisa melindungi korban di kampus,” katanya.
Direktur HopeHelps Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Filza Hanifah mengatakan kampusnya sudah memiliki Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020 sebagai dasar hukum dalam menangani kekerasan seksual. Meski begitu, aturan itu tak otomatis membuat kekerasan seksual di UGM punah. “Sepanjang 2021 saja ada 12 laporan yang masuk ke HopeHelps,” ucap Filza.
Salah satu kasus perundungan seksual menimpa mahasiswa Program Studi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM pada Juni lalu. Lima mahasiswa mengaku menjadi korban pelecehan seksual Christian Budiman, dosen Fakultas Ilmu Budaya. Seorang teman korban mengatakan Christian mengirimkan gambar perempuan saat mengajar kelas daring.
Menurut para korban, Christian juga pernah membicarakan ukuran alat kelamin laki-laki. Mahasiswa lain mengaku pernah dirangkul saat menjalani bimbingan tesis. UGM menskor Christian akibat laporan itu. “Seharusnya sanksinya dipecat,” ucap teman korban Christian itu.
Christian Budiman/https://kbm.pasca.ugm.ac.id/
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol UGM Iva Ariani mengatakan UGM telah menjatuhkan sanksi kepada Christian dengan tidak memperpanjang kontrak mengajar. Surat keputusan pemutusan kerja sama dikeluarkan pada Oktober lalu. “Ia menjalani sidang komite etik sebelum rektor menjatuhkan sanksi,” ujar Iva.
Iva mengkonfirmasi data yang dirilis Hopehelps UGM. Menurut dia, pelaku pelecehan seksual adalah dosen dan mahasiswa. Kampus sudah menerapkan sanksi yang berbeda-beda bergantung pada tingkat kesalahan dari hasil rekomendasi komite etik yang bekerja selama tiga bulan. Sanksinya dari penundaan kelulusan jika pelakunya mahasiswa hingga pemutusan kontrak mengajar bagi pelaku dosen.
Selain menjadi dosen, Christian Budiman seorang kritikus sastra. Dia menolak menjelaskan tuduhan melakukan kekerasan seksual kepada para mahasiswanya. Dia pun membantah kabar adanya sanksi Rektor UGM yang menghentikan kontrak mengajarnya. “Tidak begitu. Saya masih di UGM,” kata Christian.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Ralat:
Pada Jumat, 26 November 2021 pukul 08.54 WIB, terdapat koreksi di alinea ke-15. Suami Hurriyah berkuliah di Sumatera Selatan, bukan Inggris.
Artikel lain laporan utama Wabah Predator Seks:
- Mengapa Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual Ditolak
- Latar Belakangan Aturan Pencegahan Pelecehan Seksual di Kampus
- Guru Besar UI yang Dituduh Melakukan Pelecehan Seksual
- Wawancara Guru Besar UI yang Dituduh Melakukan Pelecehan Seksual
- Kolom: Relasi Kuasa dalam Pelecehan Seksual
- Kolom: Mengapa Kita Perlu Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual
- Opini: Agar Kampus Bebas Pelecehan Seksual
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo