Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Organisasi Islam menolak frasa tanpa persetujuan korban dalam aturan mencegah kekerasan seksual di kampus.
Muhammadiyah dan PKS khawatir frasa itu melegalkan zina.
Ribut setelah aturan disahkan setelah melalui uji publik.
KOMPLEKS Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta terlihat ramai pada Kamis, 11 November lalu. Para pengurus Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah, berkumpul menyambut kedatangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadiem, yang memakai baju batik lengan panjang warna biru dan abu-abu, hari itu datang untuk menemui Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini. Ia hendak menjelaskan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 yang ditandatanganinya pada awal September lalu karena Muhammadiyah menolak mendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul aturan itu adalah “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”. “Kami menjelaskan bahwa peraturan ini sama sekali tidak memiliki intensi untuk melegalkan pergaulan bebas di kampus,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam kepada Tempo pada Jumat, 21 November lalu. "Kami mohon masukan untuk menyempurnakan peraturan ini.”
Persis kata Nizam, Muhammadiyah mengesampingkan judul aturan ini dan menyoal frasa “tanpa persetujuan korban” di pasal 5 ayat 2 huruf b yang menerangkan definisi kekerasan seksual. Menurut pasal ini, kekerasan seksual, salah satunya, adalah “memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Menurut Muhammadiyah, tiga kata terakhir itu bermakna kekerasan seksual menjadi sah jika mendapat persetujuan korban.
Pertemuan Nadiem dengan Siti Noordjannah berlangsung tertutup dan terbatas. “Pengurus lain ikut menemani setelah dialog rampung,” kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP ‘Aisyiyah, Atiyatul Ulya. Dalam pertemuan itu, kata Atiyatul, Noordjannah menyampaikan bahwa Muhammadiyah sudah lama berkomitmen melawan pelecehan seksual di kampus.
Noordjannah menunjukkan bahwa 166 perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia sudah menerapkan pencegahan kekerasan seksual. Masalahnya, ujar Atiyatul, Muhammadiyah tetap pada sikap semula terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. “Sikap Muhammadiyah sangat jelas,” tuturnya. “Aturan itu tidak cukup hanya menekankan pada aspek persetujuan, tapi juga aturan-aturan agama.”
Dua hari sebelum Nadiem menemui Noordjannah, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Lincolin Arsyad mengkritik proses pembuatan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang disebutnya tidak transparan. “Pihak-pihak terkait dengan materi peraturan itu tidak dilibatkan secara luas dan utuh. Setiap tahap pembentukannya juga minim informasi,” ujarnya melalui keterangan resmi ke media. Arsyad mengatakan makna “tanpa persetujuan korban” adalah legalisasi zina.
Penolakan juga datang dari Partai Keadilan Sejahtera. Menurut Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih, frasa itu bisa bermakna hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka. “Ini bertentangan dengan norma hukum, di mana perzinaan adalah perilaku asusila dan diancam pidana,” ucapnya.
Gencarnya penolakan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu membuat Nadiem mendekati kelompok-kelompok Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. “Kami dalam beberapa bulan ke depan pasti akan datang, sowan ke berbagai macam pihak,” ujar Nadiem dalam sosialisasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 secara daring, Jumat, 12 November lalu.
Nadiem sudah mendekati sejumlah organisasi Islam sebelum peraturan ini ramai ditulis media massa. Pada 4 November lalu, misalnya, ia menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj.
Mendikbudristek Nadiem Makarim ( kiri) dan Ketua PBNU Said Aqil Siradj saat bertemu 3 November 2021/Dok. Kemendikbudristek
Belakangan, PBNU ikut mengomentari polemik Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Di sela-sela acara peresmian Masjid Al-Karim di kampus Institut Agama Islam Tribakti, Kediri, Jawa Timur, pada Kamis, 18 November lalu, Said Aqil mengatakan peraturan itu membutuhkan sejumlah perbaikan.
Dia tidak merinci pasal yang perlu diperbaiki. Said akan menyampaikan hal itu secara langsung saat bertemu dengan Nadiem. “Mas Nadiem akan bertemu saya,” ucapnya. Akan halnya Muhammadiyah, Nadiem baru bertemu organisasi sayapnya.
Salah seorang petinggi Muhammadiyah mengatakan Kementerian Pendidikan sudah mengajukan permintaan kunjungan ke Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, tapi belum dijawab. “Menteri Pendidikan beberapa kali menghubungi, tapi Ketua Umum belum memberikan jadwal. Saat ini, PP ‘Aisyiah sudah cukup mewakili Muhammadiyah. Selain itu, Menteri sudah menyatakan akan memperbaiki aturan itu,” ujarnya.
Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Muhammadiyah, Muhammad Sayuti, enggan mengomentari rencana pertemuan Nadiem dan Haedar Nashir. Menurut dia, sikap Muhammadiyah sama dengan PP ‘Aisyiah. “Kami tidak resistan terhadap semangat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, tapi kami berharap aturan tersebut bisa membangun relasi laki-laki perempuan yang beradab, bermartabat, dan dalam kerangka halal untuk semua agama,” katanya.
Nadiem sebenarnya sudah menemui sejumlah petinggi organisasi Islam sebelum peraturan tersebut disahkan. Dia juga menemui lembaga lain untuk meminta pertimbangan, salah satunya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa, mengatakan lembaganya terlibat dalam perumusan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sejak satu setengah tahun lalu. “Sejak awal kami memang mendorong adanya aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus,” tuturnya.
Penyusunan aturan tersebut juga telah melalui uji publik di tiga kota. Maria ikut dalam uji publik di Yogyakarta pada akhir 2020. Uji publik itu, menurut Maria, melibatkan banyak pihak, terutama dari kalangan akademikus, untuk memberikan masukan terhadap rancangan peraturan menteri tersebut.
Ketika rancangan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hampir rampung pada Agustus lalu, Kementerian Pendidikan kembali mengundang berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan untuk memberikan masukan. “Ada perwakilan dari Nahdlatul Ulama, PP ‘Aisyiyah, yayasan perguruan tinggi, serta sejumlah kampus. Saat itu masih berupa draf, belum ada nomornya,” kata Maria.
Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia Badriyah Fayumi mengatakan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah bukti hadirnya negara untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual di perguruan tinggi. “Jika ada frasa atau diksi yang multitafsir, mari dibicarakan dan dicari solusinya tanpa menghilangkan semangat pemberantasan kekerasan seksual di perguruan tinggi kita.”
RIKI FERDIANTO, FRISKI RIANA, DEWI NURITA, DIKO OKTARA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo